Sejak kejadian malam itu, jarak di antara mereka mulai menipis. Kedua kubu sepakat untuk menurunkan senjata, mencoba membentuk aliansi dengan pertimbangan mereka tengah berlayar dalam kapal yang sama. Atau istilah bakunya, senasib.
Dan kalau boleh jujur, meski mulut tetap diam, tetapi hati berteriak lelah. Daripada mengisi waktu dengan peperangan, akan jauh lebih mudah jika berjalan dengan santai hingga ketika hari itu akhirnya datang, mereka bisa mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman.
Pukul enam pagi. Rafael dan Runa berdiri berhadapan di dapur, saling menatap dengan posisi yang senada—kedua tangan dilipat di depan dada.
Di antara mereka--di atas meja kayu--ada dua kotak bekal yang terbuka, beberapa mangkuk kosong, sebilah pisau, dan sepotong ayam goreng.
"Lo tahu kan, kenapa gue manggil lo ke dapur?" Runa menajamkan tatapannya, menghunus Rafael. "Ini saatnya kita nyelesain masalah kita."