Nafas Emma terengah-engah, jantungnya berdegup sangat kencang.
Emma: "Please don't eat me." ia mengulang kata-katanya berulang kali.
Serigala itu tampak siap menerkamnya, namun tatapan tajamnya yang seperti penuh dengan kemarahan perlahan-lahan melunak dan ia berhenti menggeram. Serigala melangkah mundur pelan-pelan dan berlari meninggalkan Emma yang masih terlentang di tanah lembab yang dipenuhi dedaunan yang sudah mengering.
Dengan nafas berat, Emma berusaha bangun, mengambil handphonenya yang terjatuh dan segera belari ke luar hutan. Ia berlari sekencang yang ia bisa sampai ke bibir hutan. Lututnya lemas hingga ia terjatuh tepat setelah ia keluar dari hutan. Ia memegang dadanya, berusaha menenangkan degup jantungnya.
'Gila aku hampir mati tadi!' teriaknya dalam hati sambil memandang ke arah hutan lagi. Ia segera berusaha bangun dan berjalan cepat menjauhi hutan. Ia tau ia tak bisa menceritakan ini kepada siapapun, serigala itu, lebih besar daripada serigala pada umumnya. Emma tau, pasti itu bukan serigala biasa. Tak mungkin serigala biasa memiliki ukuran tubuh sebesar itu, dan tatapan serigala itu yang tiba-tiba melunak, pergi begitu saja meninggalkannya? Tidak mungkin! Kalau itu hanya serigala biasa, Emma yakin ia pasti sudah mati saat ini. Ia berusaha menenangkan diri dan kembali ke dalam tenda.
-----------------------------------------------------
Teman-teman Emma mengalami kulit terbakar karena camping. Emma dan teman-teman konsumsi tidak terbakar sama sekali karena mereka lebih sering berada di tenda. Beberapa minggu ini ia lewati seperti biasa, masih melirik Wolfy saat Wolfy ada didekatnya.
Emma dan ketiga temannya sedang mengerjakan tugas seperti biasa di hall C. Wolfy berada beberapa meter di depan Emma, Wolfy memakai kaos coklat dan kemeja kotak-kotak berwarna merah gelap. Angin berhembus kencang, langit sudah mendung sejak siang tadi.
Emma memandang Wolfy sekilas seperti biasa, namun ada sesuatu yang membuatnya menoleh lagi ke arah Wolfy. Punggung tangannya, berbulu cokelat kekuningan yang tadinya tidak ada sebelum angin berhembus. Bulu itu tiba-tiba saja muncul di punggung tangan Wolfy dan membuat Emma terbelalak melihatnya.
Wolfy mencoba menutupinya dengan memasukkan tangannya ke saku celana jins Saat itulah matanya bertemu dengan mata Emma. Ia tampak sangat kaget, sedangkan Emma masih tak percaya dengan apa yang dilihat tadi, masih menatap ke arah Wolfy dengan wajah shock.
Wolfy memalingkan wajahnya, rahangnya mengeras dan ia terlihat tegang. Emma tersadar dari rasa terkejutnya dan segera menundukkan kepala, masih shock dengan apa yang dilihat. " Emm, lu kenapa?" Emma memandang teman-temannya yang terlihat cemas melihat wajahnya yang pucat. Ia hanya menggeleng dan memberi senyum singkat.
Pikiran Emma masih tertuju pada apa yang baru saja dilihat sampai akhirnya teman-temannya selesai mengerjakan tugas. Wolfy sudah tak terlihat saat Emma sudah berani memandang ke sekitar, sejak tadi ia hanya menunduk atau pura-pura memandangi laptop.
Ia menghela nafas panjang, berharap itu bisa membuat perasaannya lebih lega. Mungkin tadi mataku salah melihat, mungkin aku sedang nggak enak badan jadi penglihatanku kacau. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang ia lihat salah. Ia beranjak untuk pulang ke kos-an nya yang tidak jauh dari kampus. Ia sedang menuruni tangga di pintu keluar saat tiba-tiba ditarik oleh seseorang dengan kuat. Ia tak sempat berteriak kesakitan karena gerakan yang sangat cepat.
Wolfy menarik Emma ke pinggir kolam yang letaknya terpencil. Biasanya tempat ini menjadi tempat berkumpul anak-anak teknik yang arogan. Dia mendorong Emma ke dinding dan mengurung Emma diantara kedua tangannya.
Matanya lebih menyeramkan daripada biasanya, nafasnya membabi buta dan kepalan tangannya sangat kuat. Emma menatap Wolfy ketakutan.
Wolfy: " Apa yang kau lihat tadi?" Hanya kata-kata itu yang akhirnya muncul dari bibirnya yang tipis kemerahan. Emma hanya melirik ke arah punggung tangan Wolfy yang tadi muncul bulu cokelat kekuningan yang sekarang sudah menghilang. Lirikan ke arah pungung tangan itu berarti jawaban bagi Wolfy. Ia menggeram kesal. Emma ketakutan dan memejamkan mata erat-erat.
Wolfy: " Pura-pura nggak melihatnya akan lebih baik." Emma membuka mata pelan-pelan. Emma mengangguk dan Wolfy langsung pergi meninggalkannya. Emma menatap punggungnya yang menjauh. Ia merasakan adrenalinnya yang naik, jantungnya masih berdegup kencang.
Makhluk apa dia? Emma berjalan pulang sambil berpikir keras tentang apa yang terjadi tadi. Apakah, manusia serigala sungguh ada?
Esoknya saat Emma bertemu Wolfy, Wolfy menatapnya tajam seakan-akan mengingatkannya agar tak menceritakan tentang apa yang ia lihat kemarin ke orang lain. Emma terus menatapnya, begitu juga dengan Wolfy.
Nia, Phanie dan Tasya masih berceloteh tentang kalung baru yang mereka beli kemarin. Tugas mereka sejak tadi belum tersentuh dan belum dibahas. Emma mendengarkan lagu dari handphonenya dan pura-pura sibuk dengan tugas yang belum dibahas itu, sesekali masih melirik Wolfy yang juga membalas tatapannya dengan tatapan yang mengancam.
Wolfy tidur dilantai hall C, ia tampak kelelahan dan banyak luka goresan kecil di tangannya. Seorang gadis mendekatinya dan membangunkannya dengan lembut. Wolfy terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum pada gadis itu dan memeluknya. Emma terbelalak menyaksikan kejadian itu. Dengan mata mengantuk, Wolfy menyangga kepalanya dengan tangan kiri, tangan kanannya mengucek matanya yang merah sambil bicara dengan gadis itu.
Wolfy tersenyum lagi, kali ini ia tak sengaja melihat ke arah Emma. Mereka bertatapan cukup lama sampai gadis itu menoleh dan ikut memandang ke arah Emma. Emma mengalihkan pandangan dari Wolfy dan menarik nafas dengan susah payah. Rasanya tiba-tiba sesak nafas dan matanya panas menahan air mata kekesalan.
'Sudah cukup lama aku memperhatikan Wolfy, kenapa gadis itu sampai luput dari perhatianku? Wolfy sudah punya kekasih. Apakah manusia serigala juga bisa punya pacar?' pikirannya kalut dan berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang muncul dikepalanya.
Emma semakin sering melihat Wolfy dengan gadis itu. Gadis itu jarang muncul di hall C, tapi Emma sering menemuinya sedang bersama dengan Wolfy di sporthall saat pertandingan basket.
Tiga hari berturut-turut, Emma ikut menonton pertandingan basket antar angkatan bersama dengan teman-temannya. Disanalah ia terus bertemu dengan Wolfy dan gadis itu. Hatinya tercabik-cabik melihat Wolfy bersama gadis lain, tapi ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Wolfy.
Hari ini hari terakhir pertandingan. Emma menonton sampai selesai.Teman-temannya sudah banyak yang pulang tadi. Emma, Dika dan Felix berjalan keluar dari sporthall dan Emma berpamitan pada mereka, ia berjalan ke arah pintu belakang kampus.
Wolfy: " Kamu nggak crita apa-apa kan ke temen-temen kamu?" Emma terlonjak saat mendengar suara di dekat telinga kirinya. Ia menoleh ke arah suara itu muncul dan tak heran setelah tau siapa yang ada disampingnya. Wolfy mengikutinya yang berjalan pelan.
Emma hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Tapi Wolfy menatapnya seperti tak percaya dengan jawabannya.
Emma: " Sungguh, aku nggak crita ke siapa-siapa."
Wolfy: "Bagus." Ia mengangguk senang, masih mengikuti langkah Emma sampai anak tangga terakhir di pintu keluar.
Tiba-tiba Emma terpikir pertanyaan yang langsung saja meluncur dari bibirnya.
Emma: " Apa yang akan kau lakukan kalo aku cerita ke orang lain?". Wolfy menoleh dan menatap Emma dengan pandangan marah. Emma berhenti melangkah, menunggu jawabannya.
Wolfy: " Nggak ada yang akan percaya. Paling-paling kau dikira sudah gila."
Emma menatapnya geram.
Emma: " Ok, aku coba critakan ke temenku. Aku ingin liat bagaimana tanggapannya. " Emma melangkahkan kaki ke anak tangga terakhir.
Wolfy: "Jangan!" Wolfy menarik lengan Emma dengan sangat keras hingga terasa sangat menyakitkan. Emma yang merasa kesakitan menatap lengannya yang masih digenggam erat oleh Wolfy. Emma terkejut melihat jari-jari Wolfy berubah, kukunya panjang dan tajam menusuk kulitnya. Emma menatap ngeri pada perubahan tangan Wolfy.
Wolfy: "Jangan menambah penderitaanku, please."
Emma mengalihkan pandangannya dari tangan menyeramkan itu ke mata Wolfy, menatap bola mata Wolfy yang memohon. Ia menggelengkan kepalanya pelan.
Emma: " Aku cuma bercanda. Nggak akan critakan hal aneh itu ke orang lain. Pasti semua akan mengira aku gila, seperti yang kamu bilang."
Wolfy melonggarkan genggaman tangannya hingga Emma bisa menarik kembali lengannya dan pergi.
Matanya yang hitam pekat sangat menggoda. Saat ia marah, matanya lebih mempesona. Postur tubuhnya sangat pas, bibirnya yang kemerahan cocok dengan warna kulitnya yang putih kecoklatan. Bahkan baju lengan panjang kotak-kotaknya juga sangat menggoda hanya karna baju itu dipakai olehnya. Emma menggelengkan kepalanya sekali lagi untuk mengusir pikirannya.
Emma menoleh ke belakang, menatap sosok Wolfy sekali lagi. Ia masih berdiri di anak tangga, memandang ke arah Emma, tapi tatapannya tak dapat dimengerti. Emma berbalik dan mulai berjalan pergi.
Beberapa hari setelahnya, Emma melewati hari-hari dengan murung. Ia sudah mulai bosan dengan kegiatan rutinnya -mengerjakan tugas di hall C- hampir setiap hari. Emma melihat perubahan yang terjadi pada Wolfy, ia sudah jarang terlihat tertawa bersama teman-temannya. Ia terlihat lebih pendiam, semakin tak mempedulikan sekitarnya, ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri di dalam pikirannya.
Matanya semakin gelap dan terlihat kelam, lingkar matanya pun semakin terlihat. kulitnya semakin pucat, dan keanehan lainnya adalah, setiap Emma melihatnya, Wolfy selalu sedang makan. Dan Emma tak pernah melihat gadis itu lagi. Satu-satunya yang membuat hari-harinya lebih bersinar dan lebih indah hanyalah Wolfy, tanpa gadis sialan itu.
Phanie: " Udah slese. Gila malem banget ya kita baru kelar! uda gelap gini."
Tasya: "Gue mau ke senat dulu ya. Bye..."
Phanie dan Nia melambaikan tangan, Emma hanya tersenyum singkat dengan wajah murung.
Phanie: " Gue sama Nia pulang dulu ya Emm. Bye..." Emma mengangguk.
Emma: " Bye..."
Ia membereskan barang-barang di meja dan beranjak dari kursi. Emma berjalan pelan ke arah pintu belakang kampus, tiba-tiba ia berbelok ke arah sporthall, berpikir siapa tau ia bisa menemukan Wolfy disana. Emma berjalan mengelilingi sporthall, tempat itu sudah kosong karna hari sudah gelap.
'Nggak ada, dia nggak ada. Dasar bodoh! segitu desperatenya sampe nyari dia begini?!'
Saat ia sedang memarahi dirinya sendiri, terdengar suara berisik dari arah open space workshop di dekat sporthall. Emma berjalan pelan-pelan ke arah pintu workshop yang letaknya diujung. Ia mengintip ke dalam, banyak barang-barang yang menumpuk menggunung di dalamnya. Meja kursi yang tak terpakai menumpuk di pojok area workshop. Mesin-mesin yang masih dalam proses pengerjaan berada di tengah area workshop, mesin-mesin rusak di dinding sebelah kanan.
Emma berjongkok di dekat mesin yang rusak, mengintip apa yang terjadi di belakang mesin bubut dan mesin gerinda yang berada di tengah. Hanya ada lampu kuning di pojok ruangan yang masih menyala, mata Emma masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya remang-remang di area itu.
Emma melihat seseorang membungkuk, bunyi gemeretak tulang terdengar begitu jelas di telinganya saat pelan-pelan sosok lelaki itu tampak membesar. Emma melihat bayangan Lelaki di tengah itu berubah, bahunya membesar, tangannya berubah memiliki cakar besar, rambutnya berubah menjadi bulu-bulu panjang berwarna abu-abu gelap. Lelaki itu menggeram keras, meregangkan cakarnya sambil menatap ke atas.
"It's full moon! Dia belum bisa mengontrol kekuatannya! cepat tahan dia!" Seorang lelaki berjubah hitam dan membawa tongkat masuk, berteriak kepada beberapa orang yang ikut berlari di belakangnya. Emma membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Mereka bukan manusia biasa. Mereka berbeda. Lelaki berjubah hitam itu berambut panjang berwarna putih dan berjanggut. Umurnya seperti sudah hampir seratus tahun. Lelaki lainnya berkaki seperti kaki kambing dan bertanduk, di belakangnya berdiri seorang wanita berbadan besar dan kulitnya berwarna biru berkerlip, Ia melancarkan sihir dan cahaya terang muncul dari kedua tangannya mengarah ke manusia serigala di tengah. Kemudian seorang makhluk besar bermata satu berlari menubruk si serigala dan berusaha menguncinya di atas rerumputan.
Serigala itu, mengamuk dan berusaha melepaskan diri dari segala serangan yang dilancarkan kepadanya. Penyihir berjubah hitam merapalkan sesuatu sambil mengarahkan tongkatnya ke atas, "Invisigo." Rapalnya, dan seketika tampak kabut putih transparan mengelilingi area tersebut.
"Wolfy Calm down!" Teriak makhluk berkaki kambing sambil menekan leher serigala itu ke tanah berumput di bawahnya. " Gaia! cepat tenangkan pikirannya!" Ia berteriak lagi kepada wanita berkulit biru.
Setelah beberapa saat, manusia serigala itu, pelan-pelan berubah menjadi manusia kembali. Mereka menghela nafas lega, melepas genggaman erat mereka pada Wolfy. " Kau harus segera mengontrol ini dude. " Kata makhluk bermata satu sambil sedikit tertawa lega.
Penyihir: "Tunggu. Ada manusia disini." Katanya setelah merasakan kehadiran Emma disana.
Mereka semua yang berada disana terkejut dan melihat ke sekeliling mencari sosok manusia yang dibicarakan, dan mata mereka membelalak saat melihat Emma yang berjongkok di pojok dekat mesin-mesin yang rusak. Tubuh Emma bergetar karena ia begitu terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Raut wajahnya masih shock, berusaha berdiri dengan pandangan yang tak bisa lepas dari Wolfy. Ia tak percaya ia baru saja melihat Wolfy berubah menjadi makhluk yang mengerikan.
Setelah melihat Emma, sosok mereka semua berubah menjadi sosok manusia biasa. Si penyihir terlihat seperti kakek tua dengan tongkat untuk berjalan, Gaia menjadi wanita biasa dengan ukuran normal, rambutnya panjang dan bergelombang. Si mata satu dan si kaki kambing pun tampak seperti manusia normal.
Satyr: "Bukankah kau sudah merapalkan mantra agar tak ada manusia yang bisa lihat kita disini?!"
Penyihir: " Aku merapalkan mantra, agar area ini tampak kosong dimata manusia di luar area ini, tidak di dalam area ini." Jawab lelaki tua, ia masih menatap Emma dengan waspada.