Chereads / WOLFY (Humankeeper) / Chapter 6 - PART 6

Chapter 6 - PART 6

Emma tak pernah merasa segugup ini, bahkan ketegangan dan kegugupan saat menghadapi ujian tak bisa dibandingkan dengan kegugupannya saat ini. Ia berdiri canggung di ruang tengah apartemen Wolfy. Wolfy menatap Emma dengan tatapan cueknya.

Wolfy: "Masukkan barangmu ke dalam kamar. Kamu ambil kamar besar di ujung sana. Aku sudah pindahkan barang-barangku ke kamar kecil." Wolfy menunjukkan arah menuju ke kamar di ujung lorong. Ada 2 kamar kecil di kanan lorong dan 1 kamar mandi di kiri lorong.

Emma: "Ah ya.. Tapi, aku di kamar kecil aja. Barangku nggak banyak kok."

Wolfy: "Kamu mau merepotkanku pindah-pindahin barang lagi?" Wolfy menatap Emma dengan pandangan kesal. Emma menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kegugupannya.

Ia berjalan pelan membawa koper besarnya ke kamar di ujung lorong. 'Bagaimana caranya menenangkan jantungku?! Aku lelah karna dentuman jantung ini nggak mau reda daritadi! Oh my God, aku tinggal sama Wolfy! Aku bisa liat wajahnya saat sedang tidur, dan bisa liat kesehariannya. Kalau... kalau dia keluar dari kamar mandi telanjang dada gimanaa... kyaa~' Emma memegang pipinya dengan kedua tangannya, wajahnya terasa panas karena pikiran-pikirannya liarnya. Emma berusaha unpacking secepat yang ia bisa dengan pikiran liar yang masih terus bermunculan di dalam otaknya.

Wolfy: "For God's sake, ada apa sih dengan jantungmu?!" Wolfy membuka pintu kamar Emma dan menemukan Emma yang terkejut, memegang dada kirinya seakan-akan mencoba menenangkan dentuman jantungnya yang tak terkendali. Wolfy menatapnya, menundukkan kepala dan menghela nafas frustasi.

Wolfy: "Dan sekarang semakin kencang." Ia tampak kesal. Wolfy akan menutup pintu kamar itu, namun ia menahannya dan kembali memandang ke arah Emma.

Wolfy: "Aku pergi dulu. Ada kawanan werewolf yang harus kutemui." Kemudian ia menutup pintu kamar Emma.

Dengan rekomendasi dari Bram, Wolfy menemui kawanan manusia serigala. Menurut Bram, akan lebih baik jika Wolfy bergabung dengan kawanan werewolf untuk belajar mengontrol kekuatannya dan akan membuatnya semakin kuat dengan belajar bagaimana cara werewolf bertarung. Mereka bertemu di sebuah rumah kosong yang tampak seperti rumah hantu dari luar, gelap dan tak terurus.

Di dalam, ia melihat 5 orang dalam bentuk manusia, namun mata mereka menyala kuning, menunjukkan taring dan cakar mereka seolah-olah siap menerkam. Wolfy tampak tak peduli dengan sikap siap siaga itu, ia tetap dengan wujud manusianya, berdiri tegap menatap dalam diam ke arah kawanan itu.

Luna: "Halo Wolfy. Aku Alpha di kawanan ini. Kudengar kau new born yang belum bisa mengontrol kekuatanmu?" Seorang wanita berambut hitam lurus melangkah maju mendekati Wolfy. Tubuhnya kurus tapi tampak sangat bugar. Ia menyentuh dagu Wolfy dengan jari telunjuknya, mengamati Wolfy dengan seksama.

Wolfy: "Ya. Bram bilang, akan lebih baik jika aku belajar di dalam kawanan ini."

Luna: "Apa kau sudah pernah bertarung melawan demon?" Wolfy menjawab dengan gelengan.

Luna: "Kau boleh masuk dalam kawanan ini dan berlatih dengan anggota kawanan. Kami selalu bergantian menjaga hutan di utara. Kau boleh ikut, dan kau akan belajar bertarung menghadapi animal demon di hutan bersama kami. Satu hal yang perlu kau ikuti adalah, perintahku. Perintahku adalah mutlak."

Wolfy tak menjawab Luna, ia hanya menatap Luna dengan tatapannya yang tajam. Ia tak menyukai gagasan bahwa ia harus mengikuti apapun yang diperintahkan Luna. Namun ia perlu belajar agar bisa mengontrol kekuatannya. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam kawanan itu.

--------------------------------------------------------------------------------------

Emma berusaha fokus dengan skripsinya, ia menatap laptopnya dengan tatapan kosong. Ia tak bisa fokus karna ingatannya tentang beberapa malam tinggal bersama Wolfy. Ia bekerja di perpustaaan hingga malam, namun Wolfy tak pernah ada di rumah saat ia pulang. Tengah malam, Wolfy baru akan pulang, dengan pakaiannya yang penuh bekas lumpur, wajah dan tubuhnya yang penuh goresan. Namun goresan itu segera hilang keesokan harinya.

'Kenapa dia mempersulit perasaanku dengan tampil begitu kereeeen?! Oh tidak... aku bisa mimisan kalau terus-terusan mengingat penampilannya yang lakik banget itu!' Darah Emma panas, membuat wajahnya memerah. Emma menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha membuang ingatannya tentang Wolfy.

Ia menutup laptopnya, gagal menepis ingatannya terhadap Wolfy. Ia beranjak dari mejanya dan berjalan ke arah area membaca di perpustakaan, membereskan buku-buku di meja yang tidak dikembalikan lagi oleh para mahasiswa yang meminjam dan membacanya. Emma mengembalikan buku-buku itu ke rak nya masing-masing. Ia mendengar langkah-langkah kaki berlari mendekat ke arahnya. Dahinya berkerut, ia menoleh ke arah langkah kaki itu mendekat.

Emma berjalan ke rak berikutnya, mengintip ke arah lorong rak besar di depannya. 'Itu Bram dan yang lainnya. ada apa?' pikirnya sambil terus berjalan mendekat perlahan-lahan. Saat ia semakin dekat dengan mereka, ia merasa kepalanya pusing dan ia mulai merasa lemas, pandangannya kabur. Emma merasakan sakit yang luar biasa di bagian jantungnya namun tak bisa meneriakkannya. Bibirnya kaku dan pucat, nafasnya tercekat.

Gaia: "Emma!!"

Bram: " Invisigo! Gaia segera!"

Gaia mengarahkan kedua tangannya ke makhluk besar yang berusaha memakan jiwa Emma, ia berusaha memanipulasi pikiran si makhluk dengan kekuatannya. Cyclop mengeluarkan sinar berkekuatann tinggi dari matanya dan mengarahkannya ke makhluk besar berkaki gurita yang mulai terlihat kesakitan dan ketakutan setelah dimanipulasi oleh Gaia.

Cyclop: "Bram, Hole!"

Bram merapalkan mantra dan membuka sebuah lubang menuju dimensi lain tepat di atas kepala makhluk besar yang sekarang tampak kesakitan dan terbakar. Kemudian Satyr menendangnya masuk ke dalam lubang tersebut, dan Bram segera menutup lubang tersebut.

Gaia berlari mendekati Emma yang sudah terjatuh lemas di lantai.

Gaia: "Emma? Emma! Bram, potion. dia butuh potion untuk recovery segera."

Satyr: "Biar aku saja, kakiku lebih cepat. Aku ambil di lemarimu ya Bram!" Satyr langsung berlari kencang ke ruangan Bram untuk mengambil ramuan.

Wolfy: "Apa yang terjadi?" Wolfy datang dengan nafas yang memburu karna ia berlari secepat mungkin ke perpustakaan, setelah mendengar percakapan mereka saat ia berada di dalam kelas.

Wolfy: "Emma!"

Wolfy mendekat, berlutut dan menarik tubuh Emma dari pangkuan Gaia. Wajahnya tampak panik, ia menepuk-nepuk pipi Emma pelan, seakan itu bisa membangunkan Emma. Gaia dan Bram saling berpandangan, menyadari kepanikan Wolfy yang berlebihan.

Satyr: "Ini potion nya!"

Bram mengecek ramuan yang di ambil Satyr, setelah memastikan ramuan yang diambil Satyr sudah benar, Bram menuangkan isi botol kecil itu kedalam mulut Emma. Setelah beberapa saat, Emma mulai bergerak pelan, mengerutkan keningnya dan mencoba membuka matanya pelan-pelan. Semua menghembus nafas lega dan tersenyum menatap Emma, kecuali Wolfy. Wajah Wolfy tegang, masih menatap Emma yang masih tampak lemah. Perlahan Emma mulai dapat membuka kedua mata.

Emma: "Wolfy? Aku.. kenapa?"

Wolfy mendekatkan keningnya ke kening Emma. Mata Emma membelalak terkejut dengan kedekatan yang tak terduga itu. Wolfy menutup matanya dan menghembus nafas lega. Tak lama, Ia kemudian membuka mata dan wajahnya berubah kesal. Wolfy mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Bram dan yang lain.

Wolfy: "Apa yang kalian lakukan?! Kalian hampir mencelakakan manusia!"

Cyclop: "Kami tidak tau Emma berada di dekat sini, kami baru saja datang setelah mendapat alert. Baru saja mau action, Emma sudah collapse." Gaia tersenyum melihat ketegangan Wolfy yang berlebihan.

Gaia: "Sudah, yang penting Emma sudah fine. Kau harus segera bawa dia pulang, biarkan dia recovery dulu. Dia perlu istirahat."

Wolfy: "Kamu bisa bangun? Ayo kuantar pulang." Wolfy membantu Emma berdiri, memegang kedua lengan Emma. Ia tak sadar, apa yang ia lakukan -berdiri terlalu dekat dan merangkul Emma- membuat suhu tubuh Emma meningkat drastis. Ia terlalu panik untuk menyadari degup jantung Emma yang mulai tak karuan. Gaia menyembunyikan senyum gelinya dengan jari-jarinya, menyadari Emma yang salah tingkah.