Malam pun tiba. Aku yang sedari tadi membaca Grimoire milikku, tak tersadar akan waktu yang telah berlalu. Aku melihat pria itu tertidur di sofaku. Aku berdiri untuk memasangkan selimut di atasnya, dan tanpa sengaja aku melihat sebuah tato di belakang kuping kanannya. Bentuknya benar-benar aneh dan rumit dalam ukuran yang hanya sebesar uang koin. Saat aku ingin menyentuhnya, tato itu mengeluarkan sinar berwarna biru langit. Yang anehnya sama dengan warna sihirku. Aku buru-buru menarik tanganku dan bersiap-siap untuk berlatih bersama Edie.
Setelah berganti baju, aku menatap pria itu sebentar sebelum akhirnya aku keluar dari kamarku. Aku melihat sekeliling memastikan tak ada siapapun yang melihat.
"Claude ostium" aku mengucap mantra pengunci pintu untuk berjaga-jaga.
Cahaya biru yang keluar dari tanganku, merambat ke gagang pintuku dan menyelimuti seluruh pintuku lalu menghilang. Aku memutar gagang pintuku untuk memastikan apakah benar-benar terkunci dengan sempurna. Pintuku masih tertutup rapat.
Aku pun keluar dari gedung asrama dan berjalan perlahan ke arah hutan. Hutan sudah benar-benar gelap dan aku sulit untuk melihat apa yang ada di depanku.
"Lux" aku menjulurkan tanganku kedepan dan membuka telapak tanganku sembari merapalkan mantra.
Cahaya biru yang keluar dari tanganku mulai berputar dan saling mengkaitkan satu sama lain lalu membentuk bola. Bola cahaya itu menerangi jalanku.
Setelah berjalan selama 10 menit, aku berhenti di dekat sebuah rumah kaca. Jika dilihat dari luar, rumah kaca itu terlihat normal dan dipenuhi oleh tanaman. Padahal sebenarnya rumah kaca itu adalah tempat latihan rahasiaku dengan Edie. Ayah kami menunjukan rumah kaca ini di hari pertama kami masuk sekolah. Semasa ayah sekolah, ayah dan saudara perempuan ayah yang telah tiada sebelum kami lahir juga menjadikan rumah kaca itu sebagai tempat latihan rahasia mereka. Dan tentunya selama mereka berlatih, mereka membuat pertahanan tambahan pada rumah kaca itu. Yang paling menarik adalah, hanya keluarga kamilah yang bisa menemukan letak rumah kaca ini. Dan itu berkat mantra yang saudara perempuan ayah kami buat.
Aku berjalan ke arah pintu rumah kaca itu. Bola cahaya yang sedari tadi mengikutiku, aku ambil dengan tanganku dan kulemparkan ke pintu rumah kaca itu. Pintu rumah kaca itu pun terbuka. Aku berjalan masuk dan langsung menemukan Edie yang masih menghindari bola cahayaku. Aku tertawa senang melihat pemandangan itu.
"Mortuus est" kataku menghilangkan bola cahaya itu.
"Dari sekian banyak cara untuk membuka pintu rumah kaca ini, kau pasti selalu memilih untuk melemparkan Lux milikmu" protes Edie tak setuju dengan caraku.
"Aku malas untuk merapalkan mantra lain" kataku santai duduk di kursi di samping Edie.
"Jadi, kita akan latihan mantra apa kali ini?" tanyaku penuh penasaran.
"Apa harus aku yang menyarankan terlebih dahulu? Apa kau tak memiliki mantra yang ingin kau pelajari?" tanya Edie.
"Eum.. Aku tak ingin belajar mantra yang sudah ada dalam Grimoire-ku. Aku ingin belajar sesuatu yang menarik" kataku sembari berpikir.
"Lalu? Mantra menarik macam apa yang ingin kau pelajari?" tanya Edie.
"Vi et obfirmatis sera?" tanyaku ragu.
"Apa?" tanyanya terlihat terkejut.
"Pengunci kekuatan" ulangku.
"Kau tau dari mana mantra itu?" tanya Edie.
"Aku tak sengaja melihatnya di dalam Grimoire milikmu" kataku sedikit bingung dengan tingkah Edie yang tak seperti biasa.
"Apa itu mantra terlarang?" tanyaku takut.
"Tidak. Mantra itu adalah mantra tingkat tinggi yang bahkan belum pernah kucoba" kata Edie termenung.
"Kalau begitu lupakan saja. Kita pelajari mantra lain" kataku takut dengan sikap aneh Edie.
"Apa kau hapal isi mantranya?" tanya Edie.
"O-terra-caelum-mare-in-montibus-et-in-ventum. Cum-omni-robore-gutta-sanguinis-flatu-spiritus-tollere-vocem-cordis-non-potest-esse-in-toto-corpore-et-anima" aku mengucapkan dengan nada sedatar mungkin sembari menggenggam kedua tanganku erat agar apa yang kuucapkan tak menjadi mantra.
Edie terdiam mendengar isi mantra yang kuucapkan.
"Edie?" tanyaku.
"Ya?" tanya Edie masih terbengong.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Bukan apa-apa" kata Edie.
'ROARGH' terdengar auman hewan buas dari kejauhan.
"Suara apa itu?" tanyaku ketakutan.
"Ayo. Kita harus kembali ke asrama" kata Edie menarikku berlari kembali ke asrama.
Semakin kami mendekat ke arah asrama kami, banyak murid berlarian keluar dari asrama. Aku dan Edie berhenti di dekat pintu masuk asrama.
'ROARGH!!' terdengar auman yang sangat keras.
Seluruh tubuhku merinding. Penyebabnya bukanlah suara auman itu. Tetapi karena bersamaan dengan suara auman itu aku mendengar suara yang aneh.
"Apa kau juga mendengarnya?" tanyaku kepada Edie.
"Mendengar apa? Suara auman keras itu?" tanya Edie.
"Bukan.." jawabku membeku.
"Suara seseorang meminta tolong.." kataku.