Chereads / Vasavi Cross: Remnants / Chapter 9 - Bab VII - Hutan Talaari

Chapter 9 - Bab VII - Hutan Talaari

Besar itu relatif.

Nagga adalah makhluk besar bagi manusia walaupun rata-rata tinggi mereka hanya sekitar satu setengah sampai dua kali manusia. Bagi Nagga, tinggi macam ini adalah hal normal. Namun, Sarvati cukup yakin jika ada satu hal yang bisa disetujui kedua ras ini adalah arti kata raksasa.

Contohnya, Hutan Talaari yang berada di perbatasan antara Kekaisaran Naga dan Kerajaan Manusia Andralus. Pepohonan di tempat ini begitu besar. Tingginya bagai mencakar langit, mungkin ada sekitar dua puluh atau tiga puluh kali tinggi Sarvati. Memang ada beberapa bagian hutan yang pohonnya relatif lebih kecil, walaupun sebenarnya ukuran mereka tetap cukup raksasa. Semakin jauh dari Kekaisaran Naga, ukuran mereka semakin mengecil.

Sarvati berandai jika mungkin ukuran pepohonan di hutan ini terpengaruh dari ukuran para naga sejati dahulu.

Bertolak belakang dengan ukuran hutan, hewan hewan di sini berukuran cukup normal. Hewan paling besar yang berhabitat di sini hanyalah rusa gajah yang biasanya tidak pernah berkeliaran di daerah hutan dengan besar pohon yang cukup "normal". Hal lucu lainnya, tampaknya hutan raksasa ini cukup efektif mencegah gesekan antara manusia dan naga. Mungkin mereka sama-sama takut tertimpa batang pohon jika melakukan kerusuhan di sini.

Rusa gajah adalah hewan yang paling pertama diburu Vayyu begitu mereka memasuki hutan. Kadal biru itu juga yang paling rakus memakan daging dua ekor rusa gajah sendirian. Seumur hidup, Sarvati belum pernah lihat ada makhluk yang begitu besar nafsu makannya.

Sarvati sendiri hanya makan sedikit dan menyimpan sisa daging hasil buruannya ke dalam kantung bekal. Dia lebih suka makan sedikit-sedikit tapi sering daripada sekali makan langsung banyak.

Bukan karena dia merasa itu lebih efektif, tetapi karena pengaruh separuh darahnya.

Vayyu langsung terlelap setelah makan. Anehnya naga biru itu tidur sambil bersila di akar pohon sebuah pohon yang sangat besar. Sarvati tidak yakin posisi tidur macam itu tidak membuatnya pegal. Namun, mengingat betapa lamanya Vayyu disegel, mungkin tidur bersila tidak terlalu parah bagi otot-ototnya.

Sarvati memandang kesal pada Vayyu. Sejujurnya, dia masih merasa ditipu akibat kejadian kemarin. Terbang cepat dalam kecepatan tinggi menghabiskan begitu banyak tenaga, untungnya Sarvati memang kelebihan tenaga akibat sinar mentari.

Walau pada akhirnya suhu tubuh Sarvati yang sempat naik menjadi turun drastis, akan tetapi dia merasa sangat lapar di akhir pengejaran itu karena dia lupa makan sepanjang pengejaran.

Vayyu sendiri tidak pernah menjelaskan motifnya melakukan kegilaan macam kemarin. Kalau mau Sarvati mau berpikir baik, Vayyu mungkin berusaha membantu Sarvati. Masalahnya, cara membantu macam apa itu? Apa dia tidak bisa bicara baik-baik?

Mungkin sebenarnya Vayyu memang berniat kabur tetapi pura-pura baik karena sudah kehabisan tenaga. Oleh karena itu Sarvati terus menatap tajam pada Vayyu. Tidur posisi bersila mungkin hanya pengalihan perhatian lagi agar Sarvati lengah.

Namun, pada akhirnya Sarvati lengah dan terlelap meringkuk di samping api unggun. Karena begitu lelah, dia tidak bermimpi sama sekali. Begitu tenang dan damai. Suatu berkah yang bertahun-tahun tidak dia rasakan.

Kedamaian itu berhenti ketika Sarvati merasakan getaran langkah kaki yang begitu berat mendekat. Sarvati membuka matanya sedikit untuk mengintip.

Mentari sudah terbit, Vayyu masih bersila, api unggun telah padam, dan sesosok golem batu dua kali besar Vayyu berjalan ke arah mereka. Sarvati bangun dan langsung melesat sambil menebaskan pedangnya.

Golem batu menangkis dengan tangannya. Berbeda dengan golem tanah liat, golem ini lebih keras sehingga tangannya tidak tertebas. Sang golem mengayunkan tangan kiri untuk mementalkan Sarvati lalu melanjutkan serangannya dengan tinju kanan.

Sembari mendarat ke belakang, Sarvati mendesis sini pada Vayyu, "Kalau kau sudah selesai bertapa."

Dia terdengar ingin melanjutkan, tetapi kata-katanya terpotong karena harus menghindari pukulan dari sang golem.

"Kau bisa membantu di sini?" lanjut Sarvati datar sambil mendarat.

Kerikil kembali beterbangan ditemani suara keras saat tinju sang raksasa menghantam tanah. Sarvati berhasil menghindar dan mendarat di punggung tangan golem batu. Dengan cepat, dia pun melayang tepat ke kepala sang raksasanya dan membelahnya. Golem batu berhenti bergerak, bebatuan yang membentuk tubuhnya pun berjatuhan ke tanah.

"Itu yang kau bilang perlu bantuan?" tanya Vayyu sambil memiringkan kepala. Masih bersila tentunya.

Sarvati melayang di udara dan menatap jijik pada Vayyu, "Kau tidak tampak seperti ingin menolong."

Vayyu berdiri dari posisi bersilanya dan membalas, "Kau sendiri tidak tampak seperti perlu bantuan."

"Ya untuk kali ini kau benar," gerutu Sarvati sambil memeriksa sisa-sisa batuan dari raksasa tersebut.

"Apa yang kau lakukan? Aku baru tahu kau suka batu."

Sarvati tidak menghiraukan komentar Vayyu dan terus memeriksa bebatuan itu. Bau dan rupa mereka sama sekali tidak mirip dengan bebatuan di tempat ini.

Kebanyakan bebatuan di Hutan Talaari, walau tidak terlalu banyak, berwarna abu-abu. Sementara itu raksasa ini berwarna kecoklatan. Seperti datang dari tempat yang begitu kering.

"Kau sedang apa, sih?" tanya Vayyu lagi.

Sarvati menyerah dan menjawab, "Tampaknya kau memang dikurung terlalu lama. Raksasa batu, terutama dari batu jenis ini, bukan makhluk yang biasa muncul di Hutan Talaari."

Sembari bergerak mendekati sisa golem batu, Vayyu berkata, "Wah, kau pintar, ya, Vermillion?"

Vermillion? Dia memanggil Sarvati dengan nama belakang? Dasar tidak sopan. Tanpa pikir panjang, Sarvati melontarkan Aggni pada Vayyu. Sayangnya dia berhasil menghindar.

"Lidahmu lancang, kriminal," desis Sarvati.

"Memangnya ada yang salah dengan itu?" Vayyu menggeram heran.

"Tidak sopan."

"Ya, tentu saja, kau mengharapkan naga yang terkurung di segel kristal selama dua puluh tujuh tahun masih ingat tata cara kesopanan dari berbagai ras?" gerutu Vayyu sambil membolak-balikkan sebuah bongkahan batu. "Lagipula baumu seperti manusia."

"Kau…" Sarvati tersentak. Berbagai rasa berkecamuk mendadak dalam dirinya. " … mana mungkin kau…?"

"Mungkin apa?" Vayyu bertanya heran. "Kau sakit?"

Sarvati masih menatap Vayyu dengan heran beberapa saat sebelum menggeleng, "Lupakan."

Sambil terus memeriksa bebatuan, sesekali Sarvati melirik pada Vayyu. Gerak-geriknya aneh. Nagga biru itu menutup mata sambil menggengam sebongkah batu sisa-sisa golem. Lalu dia mendadak membelalak menatap langit.

"Mundur," bisik Vayyu sambil melompat ke belakang dan melepaskan batu dio tangannya.

Seketika itu tanah kembali berguncang.