Matahari terus merangkak naik. Panasnya mulai begitu terasa menyengat menyapa kulit. Namun, hal itu sama sekali tak menyurutkan semangat para peserta karyawisata SD Mutiara untuk mengeksplore Taman Safari. Selain beragamnya satwa yang dapat dilihat, keindahan alam yang begitu memanjakan mata menjadi daya tarik tempat wisata ini. Tak sedikit orangtua yang berseru heboh mengabadikan lokasi yang menurut mereka cantik untuk mengabadikan momen bersama anggota keluarganya. Meminta putera - puteri mereka untuk membuat pose sebagus mungkin agar menghasilkan sebuah foto yang menarik.
Seperti saat ini, seorang pria sedang sibuk mengarahkan pose yang tepat untuk putera semata wayangnya.
"Geser ke kanan dikit, Sayang ! Ya, berdiri di situ !" serunya lantang memberi perintah.
"Senyumnya yang lebar dong, jangan cemberut begitu !" Bak kerbau yang di cucuk hidungnya, bocah laki - laki itu pun langsung memberikan senyuman lebar mengikuti arahan sang ayah.
"Ok, bagus Boy !" Pria itu berseru riang melihat hasil jepretannya di sebuah kamera yang bisa kutebak harganya sekitar puluhan juta. Sepertinya dia cukup puas dengan sebuah foto berlatar pinggir tebing istana panda Taman safari tersebut. Hal itu terlihat dari senyumnya yang merekah sempurna.
"Miss, boleh foto bareng, gak?" Aku yang sedari tadi sibuk mengamati interaksi ayah dan anak itu pun sontak menoleh. Melihat wajah penuh harap dari pria yang merupakan rekan kerjaku itu, aku pun tak kuasa menolak. Sebuah anggukan yang diiringi dengan sebuah senyuman kecil di wajahku menjadi pertanda bahwa aku menyanggupi permintaannya.
"Mau foto dimana?"
"Di depan bangunan itu." Jawabnya cepat dengan telunjuk mengarah ke sebuah bangunan bergaya Tiongkok. Pemilihan lokasi yang tepat menurutku karena sejak awal aku juga begitu tertarik mengabadikan foto di depan bangunan yang diberi nama istana panda itu.
"Ya udah, ayo!" Kami pun berjalan beriringan menuju salah satu spot yang banyak digandrungi para pengunjung untuk mengabadikan foto.
"Miss !"
Seruan lantang di belakang sana menghentikan langkahku. Kerutan - kerutan samar di dahiku muncul saat berbalik, aku menemukan seorang bocah bertubuh tambun berlari ke arahku. Bukan hanya itu. Tak jauh dari tempat bocah itu berada, seorang pria melangkah cepat ke arahku. Sepertinya pria itu sedang berusaha menipiskan jarak antara dia dan bocah tambun itu.
"Mau apa anak itu?" tanya Junsen terdengar tidak suka.
Aku menggedikkan bahu acuh menjawab pertanyaan Junsen yang juga turut membalik tubuhnya menghadap ke arah bocah tersebut.
"Miss, mau kemana? Kok Randy gak diajak?" Dengan nafas tersengal anak itu memberondongiku dengan pertanyaan sesaat setelah ia berdiri di depanku.
"Miss mau ke sana bentar buat foto." Aku menunjuk bangunan bergaya Tiongkok itu dengan kepalaku.
"Randy kan tadi sibuk foto sama papi, Nak ?"
Sejujurnya aku bingung dengan bocah ini, sejak terbangun dari tidurnya di bus tadi, dia tak henti - hentinya menempeliku. Bocah itu akan mencariku setiap kali aku hilang dari pandangannya.
"Randy, udah Papi bilang jangan lari - lari ! Bahaya !" Pria itu menatap tajam puteranya dengan muka merah padam menahan amarah.
"Siapa suruh Papi nyuruh Randy foto mulu? Randy kan jadi ditinggalin Miss Vina." Rasanya aku ingin tertawa melihat wajah syok pria itu ketika Randy membalas perkataan pria itu dengan begitu santainya.
"Randy mau sama Miss Vina. Gak mau sama Papi." sambung bocah itu lalu langsung bergelayut manja di lenganku.
"Ck." Decakan keluar dari bibir pria di sampingku itu membuatku yakin bahwa Junsen sedang merasa terusik dengan kehadiran ayah dan anak itu. Mengapa tidak ? Niat hati untuk berswafoto terpaksa tertunda akibat ulah dua orang tersebut. Aku hanya bisa tersenyum canggung melihat wajah kesal yang sama sekali tidak ia tutup - tutupi.
"Randy, Miss Vina itu lagi kerja. Gak boleh diganggu!" seru pria itu kembali memberi peringatan yang sama sekali tidak digubris oleh bocah itu.
Dengan santainya bocah bertubuh tambun itu menjawab. "Gak sih. Miss kan cuman mau foto sama Sir Junsen bukan lagi kerja, Pi." Jawab Randy tak mau disalahkan.
Bocah itu lalu mendongak menatapku meminta pembelaan. "Randy benar kan Miss?" Aku pun mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Oh ya udah. Tapi kalau nanti Miss lagi kerja, Randy gak boleh ganggu ya ! Randy harus ikut Papi !" Anak itu pun mengangguk cepat dengan senyum yang langsung mengembang.
"Ayo Miss, jadi foto gak?"
"Eh, saya ikutan foto dong!" Belum sempat aku menjawab, pria yang merupakan ayah dari bocah bertubuh tambun itu langsung menyela.
Pria itu kemudian menghampiri Randy yang berada di sisiku lalu mengamit salah satu tangan bocah itu.
"Ayo, Miss !" seru Randy.
Aku menarik nafas dalam kala tangan yang sudah bergelayut di lenganku itu mulai terayun. Melirik Junsen sejenak lalu mengucap kata maaf tanpa bersuara sebelum ikut berjalan beriringan bersama ayah dan anak itu. Raut kekesalan kentara terlihat di wajah pria berdarah Tionghoa itu meski ia coba tutupi dengan senyuman. Dan meski enggan, pria itu turut mengikuti langkah kami bertiga dari belakang.
***
Lega rasanya saat aku akhirnya punya waktu duduk bersantai menikmati santap siang setelah hampir setengah hari berkeliling Taman Safari. Banyak tempat sudah kami kunjungi membuat kakiku rasanya hampir remuk.
"Ouhh nikmatnya." seruku riang mulai memasukkan sesuap nasi lengkap dengan sesuir ayam goreng ke mulutku. Makanan ini terasa lebih nikmat karena dinikmati saat lapar melanda.
"Lapar, Miss?" Aku mengangguk cepat sambil memasukkan kembali nasi dan lauk ke dalam mulutku.
"Randy kok gak dimakan nasinya? Kamu gak suka menunya?" Dahiku mengerut melihat bocah itu justru asik melihatku mengunyah makananku. Bocah itu pun menggeleng pelan dengan tangan bertopang di dagu.
"Nungguin Papi, Miss."
"Loh kenapa harus nungguin Papi ? Papinya kan lagi ke toilet, Sayang ?"
"Randy mau disuapin Papi, Miss."
Aku meletakkan kotak makananku lalu menatap anak itu lekat.
"Kenapa harus disuapin papi, Nak ? Bukannya Randy bisa sendiri ?"
"Susah Miss. Biasanya Randy disuapin suster kalau lagi di rumah."
Seketika aku tersadar. Pantas saja selama ini anak itu tidak pernah membawa bekal makanan berat. Biasanya ia hanya membawa makanan kecil dan sekotak susu rasa coklat. Hal itu ternyata dikarenakan ketidakmampuan Randy untuk menyiapkan makanannya sendiri.
"Randy tau gak kalau anak yang baik itu adalah anak yang mandiri?" Bocah itu menggeleng.
"Mandiri itu makan sendiri ya, Miss ?" Aku pun mengangguk meski dalam hati aku menertawakan kepolosan Randy dalam mengartikan maksudku.
"Kalau Randy mandiri, Miss senang, gak ?" Aku mengangguk cepat dengan senyum mengembang di wajahku.
"Ya udah, mulai sekarang Randy mau makan sendiri deh. Gak mau disuapin suster sama Papi lagi biar Miss senang." seru anak itu riang dengan senyuman lebar menampilkan gigi ompongnya. Dia mulai membuka kotak makanan itu lalu dengan sedikit berantakan ia mulai memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Miss udah senang belum ?"
Aku pun mengangguk cepat sembari mengelus kepalanya dengan tangan kiriku.
"Miss..."
"Ya..." Aku menatap Randy yang terlihat ragu saat ingin membuka mulutnya.
"Ini kan gak disekolah. Em..." Randy menggaruk kepalanya sembari menatapku malu - malu. "Boleh gak Randy manggil Miss, Ma..Mi?" ucapnya sedikit berbisik. Mungkin ia takut apa yang ia katakan didengar orang lain. Aku yang ditanya seperti itu hanya diam membisu menatap Randy dengan lekat.
"Wah...Wah anak Papi udah bisa makan sendiri ternyata. Pasti Bu guru cantik ini kan yang ngajarin ?" Aku menolehkan kepalaku melihat pria yang dengan entengnya langsung duduk di sebelahku. Baru kali ini aku begitu senang akan kehadiran orang ini karena telah menyelamatkanku dari pertanyaan Randy.
"Cantik, pintar, keibuan pula. Paket lengkap. Papi suka yang begini, Randy." ujar pria itu seakan - akan berbicara kepada Randy padahal bola matanya tak lepas dari wajahku. Menatapku lekat dengan tatapan lembut seperti biasa. Tatapan yang selalu membuat jantungku berdetak tak karuan.
***