Acara bebas adalah acara yang mungkin paling ditunggu - tunggu oleh para peserta karyawisata karena semua peserta karyawisata diberi waktu selama dua jam untuk mengeksplor taman safari tanpa harus mengikuti rombongan. Itu artinya mereka bebas melakukan kegiatan apa saja selama dua jam tersebut. Dimulai dari berburu oleh - oleh, menaiki wahana - wahana yang ada di taman safari, mengunjungi satwa yang belum dikunjungi sebelumnya atau menghabiskan waktu dengan hanya duduk santai hingga waktu habis. Wajah - wajah senang para orangtua terlihat begitu aku memberi pengumuman dan sedikit pengarahan.
"Bapak, Ibu, semuanya kita kembali berkumpul di sini jam empat sore ya !" Aku berseru lantang dengan bantuan pengeras suara untuk menutup pengarahan siang itu.
"Baik Miss."
Beberapa orang langsung bergegas meninggalkan titik kumpul begitu pengarahan selesai. Hanya tinggal beberapa anak yang memang tetap harus mengikuti guru pendamping karena tidak didampingi oleh orangtua.
"Sir, ajak kemana kek tuh anak - anak ! Kasihan kalau cuman duduk bengong di sini." Aku menoleh menatap pria yang berdiri di sebelah kananku itu sejenak lalu kembali memperhatikan Kevin dan dua anak lainnya yang sedang asik bercanda dengan Miss Dina. Andai tubuhku tidak meronta ingin diistirahatkan, aku akan mengajak anak - anak itu bersamaku atau Miss Dina dan Sir Junsen.
"Ajak kemana Miss ?" tanya pria itu tanpa melihat ke arahku. Meski demikian aku dapat melihat bahwa ia sempat melirik dari ekor matanya.
Aku tersenyum kecut. Sebegitu tidak kreatifnya kah pria ini hingga tak tau harus membawa anak - anak ke mana ? Taman safari begitu luas. Ada begitu banyak tempat yang bisa dikunjungi. Dan menurutku tidak cukup waktu hanya satu hari untuk bisa mengeksplore setiap sudut tempat wisata ini.
"Kemana aja kek. Kan banyak wahana yang cocok buat anak - anak di sini." Jawabku dengan bibir mencebik. Bahkan aku sempat melayangkan tatapan sinis dari sudut mataku.
"Oh ya udah. Eh...tapi bareng Miss Vina juga kan?" Pria tersebut menoleh menatapku dengan mata memicing. Entah kenapa aku merasa ada kecemasan di matanya saat menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.
"Hmm. Sir Junsen sama Miss Dina aja ya ?" Aku menatapnya cemas. Takut kalau - kalau reaksi pria ini tak seperti yang diharapkan.
Dan benar saja. Pria itu langsung terlihat kesal. Hal itu ditunjukkan oleh raut wajahnya yang ditekuk dan nada suaranya yang sama sekali tidak santai ketika mengucapkan kalimat berikut. "Lah kok cuman saya sama Miss Dina? Miss Vina juga ikut dong?"
"Hehehe..." Aku tersenyum kecil sembari mengusap tengkukku. "Saya boleh nunggu di sini aja gak, Sir? Kaki saya pegal banget, dada saya juga sedikit sesak. Saya pengen istirahat dulu bentar. Boleh ya, Sir?"
Aku menatapnya dengan tatapan memohon berharap pria itu mengerti bahwa aku benar - benar membutuhkan istirahat sekarang. Sedari pagi, aku hanya bisa istirahat pada saat makan siang tadi. Itu pun hanya beberapa menit saja karena setelah itu kepala sekolah langsung memanggilku untuk mengikuti breafing.
"Kalau gitu saya di sini aja sama Miss Vina. Biar Miss Dina aja yang bawa tuh anak - anak jalan. Kasihan kan Miss Vina juga lagi gak sesak. Kalau Miss Vina kenapa - napa gimana?"
"Sir tega sama Miss Dina?" Aku mendelik kesal tak percaya pria itu malah memilih membiarkan Miss Dina kerepotan sendiri mengurus ketiga bocah laki - laki itu sementara dia duduk bersantai. Andai kakiku tidak terasa kram dan dadaku yang sedikit tidak nyaman karena penyakit asma yang kuderita, aku tentu lebih memilih menghabiskan waktuku dengan anak - anak itu untuk mengeksplore wahana - wahana yang ada di taman safari.
"Gak usah khawatir saya Sir! Tenang aja saya bisa jaga diri kok."
"Huffft..." Helaan nafas berat dari pria itu menunjukkan bahwa ia merasa keberatan melakukan apa yang aku minta.
"Kalau gak mau gak usah dipaksaian Sir." ucapku pelan tapi sarat penuh makna.
"Eh gak. Siapa yang gak mau?" Pria itu menyela dengan cepat dan terkesan panik.
"Saya itu bukan gak mau Miss Vina. Saya pikir kalau Miss Vina ikut kan lebih seru. Tapi kalau Miss Vina merasa gak enak badan, ya udah deh biar saya dan Miss Dina yang bawa itu bocah - bocah."
Seketika tubuhku membeku akan senyuman manisnya. Belum lagi tatapan lembut dan dalam yang sarat akan makna sehingga membuat bibirku kelu tak mampu berkata - kata.
"Hati - hati di sini ya Miss !" serunya sebelum pergi menghampiri Miss Dina, Kevin dan kedua anak lainnya yang hanya kujawab dengan senyuman kecil dan anggukan kepala.
"Eh ?"
Dahiku mengernyit heran melihat pria itu berhenti melangkah. Kerutan di dahiku semakin bertambah kala pria itu berbalik badan lalu melangkah ke arahku. Yang lebih mengherankan adalah saat pria itu sudah berdiri di depanku ia hanya berdiam diri untuk beberapa saat menatapku lekat lalu berkata.
"Aku pergi hanya demi kamu."
________________________________
Baru dua puluh menit aku duduk di tempat ini tapi rasanya sudah seperti berjam - jam. Rasa bosan mulai menyerah karena tak ada aktifitas berarti yang dapat kulakukan selain menyaksikan kumpulan pengunjung yang sedang asik berinteraksi dengan gajah dengan cara memberi makanan dan juga menaikinya. Di saat seperti ini aku jadi merindukan bocah bertubuh tambun itu. Setelah pengarahan tadi ayah dan anak itu berpamitan untuk mengunjungi salah satu wahana yang ada di taman safari. Dan entah dimana keduanya sekarang aku tak tahu.
Untuk mengusir kebosanan, aku memutuskan untuk mengambil ponselku. Memeriksa beberapa pesan masuk atau mungkin memeriksa beberapa akun sosial media milikku sepertinya adalah pekerjaan yang tepat kulakukan saat ini.
Hanya ada beberapa pesan masuk. Diantaranya dari sahabatku Asni yang menanyakan posisiku sekarang. Mommy yang menanyakan kabar sekaligus memberi info bahwa ia sangat merindukanku. Dan satu lagi. Eh ? Dengan sedikit terburu - buru aku langsung menekan tombol hijau kala melihat nama yang tertera di layar sedang melakukan panggilan.
"Hai, Sayang..."
Senyumku selalu terbit setiap kali mendengar suara lembut itu menyapaku. Suara yang selalu berhasil mengusik kegundahan dalam hatiku. Entah kenapa meski ia begitu sering mengabaikanku, ia selalu berhasil membuatku luluh hanya dengan suara lembutnya. Katakan aku bodoh maka aku harus mengakui itu.
"Hai..." Jawabku dengan senyum malu - malu bak anak remaja yang sedang kasmaran.
"Miss you so badly, Darl."
Wajahku merona hanya karena ungkapan rindu dari kekasihku itu. Seakan aku lupa bahwa pria ini adalah pria yang sama yang membuatku kelimpungan beberapa waktu yang lalu hanya karena gosip murahan yang kudengar dan nomornya yang mendadak tidak aktif.
"Sory ya, Abang udah lama gak ngabarin kamu. Abang kemarin ada baksos di pelosok jadi gak bisa hubungin kamu. Susah sinyal."
Aku menghela nafas lega. Ternyata alasan pria yang merupakan tambatan hatiku ini susah dihubungi adalah karena pada saat itu ia sedang berada di daerah pelosok yang sudah mendapat sinyal. Meski demikian rasa curigaku kepadanya sama sekali tidak luntur.
"Ya gak papa. Tapi lain kali jangan tiba - tiba menghilang tanpa kabar begini ya ! Bikin aku negatif thinking aja. Belum lagi gosip - gosip aneh yang aku dengar dari anak - anak rumah sakit bikin aku gak bisa gak berpikir aneh - aneh ke kamu." Gerutuku yang dijawab kekehan olehnya.
"Ok Sayang. Eh, wait ! Kamu dengar gosip apa emangnya ?"
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar demikian adanya, aku merasa ada kecemasan yang tersirat di dalam suaranya.
"Katanya kamu habis ngelamar cewek. Padahal kan pacarmu aku tapi aku gak merasa habis dilamar sama kamu. Atau ?"
"Atau apa ? Jangan mikir aneh - aneh deh !" selanya cepat dengan suara tegas.
"Kamu gak lagi mikir aku ngelamar cewek lain kan, Sayang ?" Nada bicaranya mendadak terdengar sangat cemas.
"Hmm...Enggak sih." Jawabku ragu.
"Syukurlah." Ujarnya yang disertai dengan hembusan nafas lega.
"Sayang..." ujarku sembari tersenyum lebar melihat bocah tambun yang sedang berlari menghampiriku dengan membawa sebuah boneka lumba - lumba berwarna biru. Bocah itu melambai - lambaikan boneka itu seraya menggerak - gerakkan mulutnya seakan mengatakan sesuatu yang entah apa itu aku tak tahu. Konsentrasiku yang terbagi antara bocah bertubuh tambun itu dan seseorang nan jauh di sana membuatku kesulitan mengerti apa yang hendak disampaikan bocah itu.
"Hmm..."
"Kalau seandainya kamu udah bosan sama aku dan berniat mencari yang lain, tolong langsung ngomong aja ! Aku gak akan marah dan berusaha ikhlasin kamu. Ya, meski sulit. Itu lebih baik daripada kamu diam - diam duain aku." Ujarku dengan menahan gemuruh di dadaku. Mana ada seorang kekasih yang merelakan kekasihnya mencari wanita lain.
"Kamu gak lagi nuduh aku selingkuh kan, Vin ?"
"Biasa aja ngomongnya gak usah ngegas kali Bang !" sahutku memberikan peringatan kepada pria di sebrang sana saat menyadari nada suaranya naik beberapa oktaf.
"Sory. Habisnya omongan kamu itu bikin orang sewot. Apa coba maksud kamu ngomong gitu?"
"Eh, udah dulu ya, nanti kita sambung lagi ! Aku mau kerja lagi nih. Love you Bang Arie. Baik - baik di sana ya ! Jaga kesehatan ! Bye."
Aku bukan pengecut yang berusaha menghindar ketika ada masalah. Hanya saja situasinya tidak pas untuk melanjutkan obrolan yang menurutku sudah sedikit memanas. Agak aneh rasanya jika aku ribut - ribut dengan pacarku di depan murid dan juga orangtuanya. Ya... saat ini Randy dan papinya sudah berdiri di depanku. Sama seperti sebelumnya pria tampan yang merupakan ayah dari bocah itu sedang menatap galak Randy sambil tak berhenti mengoceh. Apalagi alasannya kalau bukan Randy yang tak mengindahkan peringatan darinya.
Aku tahu setelah ini Bang Arie pasti akan merasa kesal yang berujung marah dan menerorku dengan berbagai pesan dan panggilan. Hal itu terbukti dengan ponselku yang tidak berhenti bergetar sedari tadi serta layar yang menunjukkan bahwa pria itu tak berhenti menghubungiku. Biarlah urusanku dengan Bang Arie diselesaikan nanti saja karena ada urusan lain yang lebih mendesak. Apalagi kalau bukan Randy. Entah kenapa anak ini selalu berhasil menyita perhatianku.
"Miss, tadi Randy beli ini buat Miss."
"Buat Miss ?" Dahiku mengernyit menatap Randy, kemudian pria yang berdiri di sampingnya itu bergantian lalu memperhatikan boneka lumba - lumba yang sedari tadi berada di pelukan bocah itu.
"Ia ini buat Miss Vina. Diterima ya, Miss !"
Aku melirik pria yang merupakan ayah dari bocah laki - laki itu untuk mencari jawaban yang dijawab dengan senyuman serta anggukan kecil.
"Terimakasih. Miss Vina suka." Aku menerima boneka itu lalu memeluk dan mencium boneka itu gemas.
"Miss, Randy juga beli ini." Bocah itu dengan antusias mengambil paperbag dari tangan ayahnya lalu mengeluarkan beberapa kaos berwarna putih dari dalamnya.
"Ini buat Randy, ini buat Papi, ini buat Miss." ujar Randy seraya membagi - bagikan kaos yang masih terbungkus plastik itu kepada kami.
"Buat Miss ? Lagi ?" Aku menatapnya tak percaya.
"Iya. Nanti kapan - kapan dipakai ya, Miss !" Aku mengangguk lalu membuka kaos tersebut.
Tidak ada yang aneh. Ukurannya sepertinya pas ditubuhku. Tapi tunggu dulu ! Sontak mulutku menganga melihat satu kata yang tertulis di bagian dada kaos tersebut. Mama. Satu kata yang ditulis dengan huruf kapital bercetak tebal warna hitam. Satu kata yang membuat bibirku bergetar saat membacanya.
Untuk kesekian kalinya aku menatap Randy dengan mata berkaca - kaca. Namun kemudian pandanganku membidik pria yang kini tersenyum ke arahku. Senyum yang menyiratkan sejuta makna. Pria itu terlihat santai meski mataku memicing tajam menatapnya penuh kecurigaan.
"Itu Randy yang milih Miss. Anak ini ngotot mau beli yang kayak Elyn. Nih lihat !" Mataku kembali melotot begitu pria itu membuka pembungkus plastik lalu melebarkan kaos tersebut.
"Papa ?" Aku menatap tak percaya tulisan yang ada di kaos yang ditunjukkan oleh pria itu.
"Kids !" seru Randy sambil melebarkan kaos yang ia pegang. Seruan yang membuatku tak mampu berkata - kata lagi.
"Mama, papa, kids. We are Family." Ujar Randy girang menunjuk kami bergantian.
"Miss kan bilang kalau Randy boleh anggap Miss maminya Randy. Nah karena ini di luar sekolah boleh gak Randy manggilnya bukan Miss tapi Mami ?"
Sumpah. Otak cerdasku mendadak tumpul saat itu juga. Untuk beberapa waktu aku hanya terdiam dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Semoga saja tidak ada lalat yang masuk ke dalamnya. Dan semoga saja air liurku juga tidak ikut menetes saking lamanya mulut itu menganga. Aku tak pernah mau membayangkan betapa konyolnya wajahku saat ini.
***