Hari sudah siang. Baik guru maupun orangtua murid satu persatu sudah mulai meninggalkan area sekolah. Semuanya pulang dengan membawa beragam kesan akan acara yang baru pertama kali diadakan di sekolah itu.
Penampilan kelas 1C menjadi salah satu penampilan yang sukses menjadi topik perbincangan hangat di kalangan orangtua maupun guru - guru Sekolah Dasar Mutiara. Tak sedikit dari orangtua maupun guru dengan terang - terangan memberikan pujian akan keberhasilan anak - anak kelas 1C dalam menampilkan sesuatu berbeda. Pujian tersebut tidak hanya ditujukan kepada anak - anak kelas 1C tetapi juga kepadaku yang notabene adalah walikelas yang telah melatih anak - anak itu. Tidak hanya itu, banyak orang tua dan guru yang memuji kemampuanku dalam berolah vokal maupun dalam memainkan alat musik.
Di samping pujian, aku selaku walikelas juga mendapatkan beberapa ucapan terimakasih dari orangtua murid. Salah satunya adalah orangtua Elyn. Entah bagaimana sepasang suami isteri itu menyadari bahwa tulisan yang berisikan 'Mama, Papa jangan paksa aku mendapatkan nilai bagus' adalah tulisan puterinya Elyn. Mereka mengaku telah bersikap terlalu keras kepada puterinya itu hanya karena keinginan mereka yang terlalu tinggi. Hal yang membuatku senang adalah sepasang suami isteri itu berjanji di hadapanku dan puterinya untuk tidak menekan Elyn terlalu keras.
Tadinya aku mengira orangtua akan merasa tersinggung dengan beberapa hal yang ditampilkan dalam pementasan itu. Nyatanya ketakutanku tidak menjadi kenyataan. Beberapa orangtua justru mengapresiasi pementasan itu dengan mengucapkan terimakasih karena telah diingatkan kembali akan peran mereka sebagai orangtua yang tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari - hari seperti makan, pakaian atau sekolah. Beberapa orangtua justru mengakui kesalahannya karena tidak mempunyai waktu luang untuk sekedar berbincang dengan putera puterinya karena kesibukannya di dunia kerja.
"Belum kelar ?" Aku yang sibuk merapikan kostum dan properti yang digunakan murid - muridku pada saat pementasan terkejut saat seseorang menepuk pundakku.
"Eh, As. Belum nih." Aku menoleh sebentar kemudian melanjutkan pekerjaanku merapikan kostum dan properti itu. Memasukkannya ke dalam kantong berukuran besar yang sudah kupersiapkan dari jauh - jauh hari.
"Ya udah lanjutkan ! Gue ke toilet bentar." Aku menganggukkan kepalaku.
"Miss Vina..." Pekerjaanku kembali terhenti. Aku yang mendengar suara nyaring dari seorang anak laki - laki sontak menoleh. Senyumku mengembang melihat anak itu berlari ke hadapanku. Merentangkan tanganku menyambutnya dalam dekapanku.
"Good boy." Aku memeluknya dengan erat.
"Randy tadi keren ya, Miss ?" Randy mengurai dekapannya lalu mendongakkan kepalanya menatap wajahku.
"Hebat." Aku tersenyum lebar lalu mengulurkan tanganku mengelus puncak kepalanya. "Miss bangga sama Randy."
"Berarti Mami di surga juga bangga sama Randy, Miss ?" Aku tersenyum haru menganggukan kepalaku dengan yakin membuat bocah itu melompat kegirangan.
"Selamat siang Miss Vina ?" Seorang pria yang baru saja masuk ke dalam aula datang menghampiriku dan Randy dengan senyum yang begitu lebar.
"Siang Pak." Aku membalasnya dengan senyum tak kalah lebar.
"Terimakasih buat hari ini, Miss."
"Eh..." Aku tersenyum kikuk kala pria itu menyodorkan sebuket bunga tulip aneka warna ke arahku.
"Ini buat Miss sebagai ucapan terimakasih saya akan jerih payah Miss dalam melatih anak - anak kelas 1C." Pria itu kembali menyodorkan buket bunga itu yang langsung kuterima dengan senang hati.
"Kartu ucapannya jangan lupa di baca ya, Miss ! Tapi bacanya nanti di rumah aja !" Pria itu tersenyum jahil membuatku penasaran setengah mati akan sebuah kertas kecil berwarna biru langit yang terselip di dalam buket itu. Bukan apa - apa. Aku hanya merasa aneh saja akan permintaannya. Jika tidak ada sesuatu yang aneh mengapa ia tidak menyuruhku membacanya saat itu juga.
"Oh. Ok. Terimakasih Pak." Aku tersenyum canggung.
"Miss sini ! Randy mau ceritain sesuatu. "
Aku berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan tubuh Randy lalu bocah itu mendekatkan mulutnya ke telingaku.
"Tadi Papi bilang sama Randy, Miss Vina cantik calon masa depannya Papi. Maksudnya apa ya, Miss ?" Ucapnya dengan berbisik.
"Eh, kamu ngomong apa sama Miss Vina sampe mukanya merah gitu, Ran ?"
Aku tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutanku akan penuturan Randy. Mungkin kini wajahku sudah semerah tomat sebab aku merasakan rasa panas menjalar di pipiku. Meski mungkin bocah itu tak paham akan kalimat yang ia ucapkan tapi tetap saja membuatku kelimpungan untuk menjawabnya. Belum lagi tersangka yang mungkin entah dengan maksud apa mengucapkan kalimat seperti itu ke seorang anak kecil sedang menatapku dan Randy dengan penuh tanda tanya.
"Wah, ada Randy nih ?" Aku menghembuskan nafas lega. Belum pernah aku sesenang ini mendengar suara Asni. Kedatangannya menyelamatkanku dari pertanyaan maut itu. "Eh, ada papinya juga. Selamat siang Pak."
"Siang Miss Asni." Jawab keduanya serempak.
"Maaf Miss Vina, apakah kita bisa pulang sekarang ?"
"Eh, Miss Vina sama Miss Asni udah mau pulang ? Kalau gitu bareng kita aja. Ia kan Randy ?" Bocah laki - laki itu langsung mengangguk penuh semangat.
"Terimakasih atas tawarannya, Pak. Tapi maaf kita bawa kendaraan kok. Kalau tidak ada lagi yang mau di sampaikan saya dan Miss Asni mohon pamit undur diri." Selaku cepat sebelum otak Asni korslet. Terkadang temanku itu tak bisa diajak kompromi.
"Yaah, Miss Vina gak mau pulang bareng Randy ?" Wajah bocah itu berubah muram.
"Lain kali aja ya, Nak. Hari ini Miss Vina dan Miss Asni bawa kendaraan. Kalau Miss Vina dan Miss Asni ikut Randy, terus motornya Miss Asni gak ada yang bawa dong." Aku berusaha memberikan pengertian yang untungnya bocah itu langgsung mengangguk paham.
"Motornya biar supir saya aja yang bawa, Miss."
"Oh gak usah Pak. Terimakasih." Aku lagi - lagi harus berterima kasih pada Asni karena hari ini ia peka akan keinginanku.
"Ya udah kalau gitu, sampai ketemu besok Miss Vina, Miss Asni. Randy salim sama Miss !"
"Sampai ketemu besok Miss." Randy menyambut telapak tanganku lalu mencium punggung tanganku. Setelah itu ia melakukan hal yang sama dengan Asni.
Setelah ayah dan anak itu berlalu pergi, aku segera mengambil tasku lalu bergegas menuju ke parkiran yang dikhususkan untuk karyawan bersama Asni.
"Ngobrolin apaan tadi kok seru banget ?" Asni yang sudah mulai menjalankan sepeda motornya bertanya padaku tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Biasa cuman say hello doang."
"Ganteng ya papinya Randy, sayang duda."
Aku menganggukkan kepalaku. Aku menyetujui perkataan Asni. Meski sudah berstatus duda pesona pria itu tak kalah dari pria yang berstatus perjaka. Wajahnya yang mumpuni membuatku yakin bahwa pria itu akan mudah menaklukkan wanita jika ia mau.
"Boleh tuh As, Lo pepet aja mumpung doi masih belum bawa gandengan." Aku tertawa kecil melihat reaksi Asni yang langsung mendengus. Meski aku tidak dapat melihat ekspresinya tapi aku dapat mendengar dengusannya.
"Gila kali lah. Gue gak tertarik. Lo aja Vin. Menurut penerawangan gue nih ya, tuh doi naksir sama Lo."
Plakk...
Tanganku mendarat di punggung Asni. Mungkin karena tepukanku yang sedikit keras membuat gadis itu meringis kesakitan. Aku sungguh heran entah setan apa yang merasuki sahabatku itu sehingga bisa menarik kesimpulan seperti itu.
"Lo gak tau sih tatapannya pas natap lo tadi. Uhhh... Itu tatapan orang yang jatuh cinta. Apalagi waktu dia ngasih lo bunga."
"Kau tadi ngintipin kita ?" selaku cepat. Setahuku saat itu Asni sedang pergi ke toilet lalu bagaimana ia bisa mengetahui semua itu kalau tidak menguntit.
"Kurang kerjaan kali gue. Gue gak segabut itu sampai ngintipin kalian. Tadi itu pas abis dari toilet gue gak sengaja lihat. Gue mau nyamperin takut ngerusak suasana. Secara tatapan doi waktu nyerahin bunga ke lo sweet banget bikin melting."
Di tempat lain seorang pria paruh baya sedang duduk di belakang meja kerjanya sambil memandangi foto putri bungsunya itu. Sejak menemukan diary milik putrinya itu, Runggu tidak berhenti mencari tahu apa yang dituliskan Vina di dalam buku bersampul warna biru itu.
Pria itu tak berhenti merutuki kebodohannya yang telah menyakiti Vina dengan sengaja selama bertahun tahun membuat luka di dalam hati gadis itu semakin lama semakin besar. Luka yang akhirnya berujung sebuah pemberontakan.
"Mengapa obsesiku memiliki anak laki - laki membutakanku ? Mengapa aku tidak pernah sadar mempunyai putri bungsu yang tidak hanya cantik tapi juga pintar dan baik. Maafin Daddy sayang. Daddy memang ayah yang buruk."
"Vina, kamu dimana sayang ? Pulanglah ! Daddy janji tidak akan memaksamu kali ini. Beri Daddy kesempatan untuk menebus semua kesalahan Daddy !"
Pria berbicara dengan suara lirih sambil memukul - mukul dadanya pelan. Kali ini dia tidak lagi menahan rasa sesak itu. Ia justru melampiaskannya dengan menangis sambil mendekap foto puteri bungsunya itu. Tanpa ia sadari seseorang telah berdiri di balik pintu lagi - lagi menjadi saksi betapa menyesalnya seorang Runggu. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah wanita berdarah Jepang yang bernama Kazumi. Kazumi hanya bisa menarik nafas dalam - dalam lalu menghembuskannya kasar. Sungguh apa yang dia lihat hari ini adalah pemandangan langka. Runggu yang berprofesi sebagai pengacara terkenal sebagai laki - laki yang tegas dan juga keras sampai menangis sesenggukan seperti itu.
Sejujurnya Kazumi merasa iba terhadap suaminya itu. Ia ingin memberitahu di mana keberadaan Vina tapi diurungkannya. Ia berpikir ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Ia perlu meyakinkan dirinya bahwa saat ia memberitahu di mana Vina berada suaminya itu akan tersenyum bahagia. Bahagia bukan karena ia bisa melanjutkan perjodohan tapi bahagia karena dapat berkumpul kembali bersama puterinya itu dalam hubungan yang tentunya jauh lebih baik.
***