Cieee....cie yang abis dilamar dan seminggu lagi tunangan.
Kalimat itu terus mengusik pikiranku sejak beberapa menit yang lalu. Membuatku tidak fokus memeriksa tugas - tugas siswa kelas 1C yang belum sempat kuperiksa. Beberapa menit yang lalu sebuah pesan singkat masuk dari salah satu aplikasi ponselku. Pesan yang dikirimkan salah satu rekan kerjaku selama masih bekerja di rumah sakit swasta di kota kelahiranku. Kota Medan.
Dilamar ? Siapa yang habis dilamar, Ra ?
Setelah berpikir beberapa saat aku mengirimkan pesan balasan kepada rekan kerjaku yang bernama lengkap Arabela Dumaria dan akrab dipanggil Ara.
O tahe inang sarge. Kau ini ya, belum tua pun udah pikun. Cemana pulanya si ibu dokter cantik ini ?
Aku tersenyum geli membayangkan Ara mengucapkan kalimat tersebut dengan logat Medan yang begitu khas. Meski wanita itu sudah melanglang buana mencari ilmu ke benua Eropa hingga mendapat gelar dokter spesialis anak tapi logat Medannya tak bisa hilang.
Apanya yang cemana, Ra ? Lagian siapa juga yang habis lamaran ? Gak jelas kau ini.
Aku mengirimkan pesan balasan dengan gaya bahasa yang biasa aku gunakan jika sedang berbicara dengan Ara atau pun teman - temanku yang lain selama masih tinggal di Kota Medan.
Ting...
Dalam hitungan detik ponselku kembali berbunyi dan di layar muncul nama Ara sebagai pengirim pesan.
Ya ampun ibu dokter yang satu ini, belaga pikun atau pikun beneran ?Siapa lagi yang abis dilamar kalau bukan dirimu ? Seantero rumah sakit juga tahu kalau si babang dokter bedah itu habis ngelamar ceweknya kemarin. Udahlah Vin gak usah rahasia - rahasiaan. Kita semua sudah pada tahu kok kalau minggu depan kalian tunangan. So congratulation ya. Jangan lupa undangan makan gratisnya! 😃
Dilamar. Tunangan. Dua kata yang menimbulkan tanda tanya besar bagiku. Dokter bedah yang dimaksud oleh Ara itu Bang Arie bukan ? Kalau ia...
Mendadak aku menjadi gelisah. Pikiran - pikiran negatif mulai menyerangku.
"Tidak...Tidak...Ini tidak mungkin terjadi. Bang Arie tidak mungkin menghianatiku bukan ?" Berulangkali aku menggeleng - gelengkan kepalaku.
"Tapi tadi kata Ara, Bang Arie habis lamar ceweknya. Lah kan ceweknya aku ? Tidak... Tidak. Itu pasti Arie yang lain." Kembali aku meyakinkan diriku meski keraguan itu semakin lama semakin besar.
"Ya, ini tidak mungkin. Selama ini Arie begitu mencintaiku. Mungkin Ara hanya salah orang ?" Aku berusaha mensugesti otakku untuk berpikiran positif.
"Tidak...Tidak aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku harus pastikan semuanya sebelum terlambat." Salah satu sisi diriku mulai berbicara. Membuat keyakinanku kembali goyah. Beberapa bulan menjalin hubungan jarak jauh membuat hubungan kami sedikit berjarak. Intensitas komunikasi kami pun mulai jarang. Tapi itu bukan berarti hubungan kami bermasalah bukan ?
"Mana nomor Bang Arie ?" Bak orang gila aku berbicara sendiri. Bergerak panik mencari nomor kontak pria yang berstatus kekasihku itu. Beruntung saat ini aku hanya sendiri di dalam ruangan kelas karena anak - anak sudah pulang dari sejam yang lalu. Kalau tidak bisa jadi orang - orang menyangka aku sudah sedikit mengalami gangguan jiwa.
"Waduh mana sih kok gak ketemu ?"
Rasa panik membuatku tak dapat berpikir jernih hingga susah menemukan kontak Bang Arie.
"Akhirnya."
Aku tersenyum lega melihat sebuah kontak yang tertera di layarku. Babang pacar. Begitu aku menamai pria yang sudah beberapa tahun menjalin tali kasih denganku di dalam daftar kontak.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silahkan hubungi beberapa saat lagi !
Aku mengusap wajahku kasar kala yang terdengar adalah suara operator. Namun, rasa penasaran membuatku kembali mencoba peruntungan. Semoga saja kali ini panggilan dapat tersambung.
Nomor yang anda tuju...
Aku mendengus kesal dan dengan cepat aku menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan. Entah kenapa suara operator seluler tersebut terdengar seperti sedang meledekku.
Brukk....
"Woi sibuk amat neng." Mataku membeliak menyaksikan tingkah barbar Asni dalam membuka pintu. Sungguh tak pantas ditiru. Bersyukur tak ada yang menyaksikan tingkahnya barusan. Kalau tidak kredibilitasnya sebagai seorang guru yang digugu dan ditiru perlu dipertanyakan.
"Apasih ? Ganggu aja." Aku menatapnya tajam lalu kembali menekan tombol memanggil di ponselku. Namun, lagi - lagi hanya suara operator yang menjawab.
"Kenapa sih neng ? Kok kayaknya galau banget." Asni menarik salah satu kursi siswa lalu duduk di dekatku. Wanita itu mendekatkan wajahnya ke arahku dengan tatapan menyelidik.
Huffft...
Aku menghembuskan nafas kasar. Mengambil ponselku lalu membuka salah satu aplikasi kemudian menyodorkannya pada Asni.
Aku tersenyum kecut kala melihat matanya membeliak dengan mulut menganga. Wanita itu bahkan berulangkali melihat wajahku lalu kembali membaca isi chat tersebut.
"Lo kok bilang - bilang habis dilamar sama si babang dokter ? Pakai acara mau tunangan segala lagi. Wah parah Lo, Vin. Gue gak nyangka..."
"Eh, apasih ? Siapa yang habis dilamar ?" Selaku cepat sebelum mulut lemes Asni itu mengeluarkan kalimat - kalimat yang membuat mood ku semakin hancur.
"Lo tuh ya kebiasaan, kalau ngomong gak dipikir dulu. Mana ada orang habis dilamar sekacau ini ?" Aku mengambil ponselku dari tangan Asni.
"Jadi ?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Entahlah. Nomor Bang Arie juga gak bisa dihubungi."
***
Tugu Monas. Salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi jika berkunjung ke daerah Ibukota DKI Jakarta. Kalau kata Asni "Belum sah judulnya berkunjung ke Jakarta kalau belum main ke Monas." Dengan alasan itu Asni memaksaku untuk mengunjungi salah satu ikon kota Jakarta itu. Padahal aku tahu benar tujuan dari Asni mengajakku keluar malam ini adalah agar aku tidak terlalu stres memikirkan gosip tentang Arie yang belum ada kejelasan hingga saat ini. Sejak dua hari yang lalu nomor Bang Arie sama sekali tidak bisa dihubungi. Hal itu membuatku semakin gelisah. Belum lagi fakta baru yang kudapatkan dari teman dekat Arie yang mengatakan bahwa kekasihku itu sedang berada di daerah khusus ibukota Jakarta untuk sebuah urusan. Urusan apa ? Apakah Arie ingin memberikan surprise untukku ? Berkunjung tanpa memberikan kabar lalu tiba - tiba datang melamar ? Ooh manisnya pacarku itu.
Di sinilah kami sekarang. Bersama ratusan orang yang sebagian besar merupakan kaula muda duduk beralaskan rumput di bawah tugu Monas menatap indahnya langit Jakarta.
"Vin, lihat arah jam dua belas !"
Aku yang masih fokus menatap langit yang malam ini terlihat indah dengan hamparan bintang yang jarang sekali kutemukan selama tinggal di Tangerang mulai melirik ke arah yang ditunjukkan oleh Asni. Aku tersenyum miris melihat sepasang muda - mudi yang duduk di bawah sebuah pohon rimbun dengan tanpa malunya melakukan adegan panas. Bibir keduanya saling memagut mesra, sedangkan tangan si pria sudah berkeliaran di mana - mana sehingga membuat pakaian si wanita sedikit berantakan. Keduanya sama sekali tak peduli bahwa di sekitar mereka begitu banyak pasang mata yang menyaksikan adegan intim itu. Adegan yang menurutku jauh dari kata pantas dilakukan oleh sepasang muda - mudi yang mungkin masih duduk di bangku sekolah. Apalagi adegan itu dilakukan di tempat umum. Jika aku tak salah mengira pasangan muda - mudi itu masih berusia empat belas hingga lima belas tahun. Aku tak tau apa yang salah dalam kasus seperti ini. Pola pergaulan, zaman yang berubah atau bahkan orangtua yang terlalu membebaskan. Entahlah. Aku tidak berhak menghakimi karena aku bukan orang suci yang tidak pernah tergelincir. Hanya saja aku merasa sedikit miris.
"Kalah lo, As." Aku tertawa renyah melihat Asni mendengus. Perlahan tapi pasti cara bicaraku sedikit berubah mengikuti gaya Asni menggunakan lo gue. Entahlah itu sesuatu yang positif atau negatif biarkan saja mengalir.
"Pengen kan lo? Makanya cari pacar sana?" Suara tawaku semakin renyah terdengar ketika Asni menatapku dengan tatapan membunuh. Bukannya takut aku malah semakin semangat menggoda sahabatku itu. Asni memang salah satu perempuan langka yang hingga umur setua ini belum pernah berpacaran sama sekali. Setiap kali ada seorang pria yang mendekatinya ia akan berusaha untuk membuat pria tersebut mundur teratur. Entah apa masalahnya sehingga dia berencana menjomblo hingga usianya dua puluh lima tahun. "Truk aja gandengan, masa lo dari lahir jomblo mulu."
"Berisik!"
"Eh, mau kemana?" Aku merasa heran saat Asni tiba - tiba berdiri.
"Lo mau di situ terus ? Gue mau nonton pertunjukkan air mancur aja. Lumayan buat cuci mata. Daripada di sini bikin mata gue sepet." ujar Asni sambil menatap tajam sepasang remaja yang kini bergerak salah tingkah karena mengetahui ada orang yang mengetahui aksi keduanya.
"Mau jadi apa negara ini kalau moral penerusnya aja udah rusak gitu ?"
Asni tak henti - hentinya menggerutu sepanjang perjalanan menuju lokasi pertunjukan air mancur bergoyang. Aku yang berjalan di sampingnya hanya bisa menebalkan telingaku untuk mendengarkan segala umpatan yang keluar dari mulutnya.
Langkahku terhenti kala kedua bola mataku menangkap sosok yang sejak beberapa hari yang lalu menyita perhatianku. Sosok itu berdiri diantara kerumunan orang - orang yang sedang menyaksikan pertunjukan air mancur bergoyang.
"Abang ?"
***