Hari sudah siang. Semua kegiatan pembelajaran sudah berakhir. Aku dan Asni berniat langsung pulang ke rumah tapi niatku itu tertunda karena Pak Junsen si guru olah raga itu datang menghampiriku.
"Miss Vina, sudah mau pulang ya?" Aku langsung menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya.
"Miss Vina buru - buru gak ? Kalau gak lagi buru - buru saya mau ngajak Miss makan siang bareng. Ada resto baru buka dekat sekolah. Kata orang - orang sih recomended."
"Hmm... Gimana ya ?"
Aku berpikir sejenak. Bukan berpikir menerima atau tidak ajakannya melainkan memikirkan bagaimana caranya menolak ajakan pria ini tanpa menyakiti hatinya. Aku berniat menolak bukan karena aku tidak suka dengan orang yang mengajakku makan siang tapi lebih kepada kondisi tubuhku yang sedari tadi meronta ingin beristirahat. Sesekali aku melirik Asni yang berdiri di sampingku berharap sahabatku itu mau membantuku keluar dari masalah ini. Namun, naas kalimat yang meluncur dari bibir Pak Junsen berikutnya menutup jalanku untuk meminta bantuan dari Asni.
"Miss Asni juga boleh ikut."
Perkataan Pak Junsen bak angin segar bagi seorang Asni yang sedari tadi aku tahu pasti sedang menanti kalimat itu. Aku paham betul dengan tabiat Asni yang tak akan pernah menyia - nyiakan kesempatan. Dan benar saja dengan entengnya dia berkata.
"Vina dan saya gak sibuk kok, Sir. Kebetulan kita juga lapar banget dan niatnya juga mau makan di luar. Ia kan, Vin ?" ujar Asni sambil mengedipkan matanya padaku sebagai pertanda agar aku mengiyakan perkataannya yang kubalas dengan dengusan kecil.
"Oh baguslah kalau gitu. Berarti kita jalan sekarang nih ?" Pak Junsen menatapku dan Asni bergantian.
"Ia sir. Kita ketemu di tempat aja ya, soalnya kami bawa kendaraan sendiri."
Bukan. Itu bukan aku yang menjawab melainkan Asni. Wanita itu begitu bersemangat menyetujui ajakan dari Pak Junsen tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu.
"Tapi As." Aku menatapnya dengan wajah memelas. Berharap ia peka akan apa yang kuinginkan. Akan tetapi lagi - lagi percuma. Harapan tak seindah kenyataan.
"Udah gak usah kebanyakan mikir lo ! Lumayan akhir bulan dapat gratisan. Mana makanan di sana enak - enak lagi. Rejeki kok ditolak." Bisik Asni dengan mata melotot. Wanita itu bahkan langsung mengamit lenganku untuk mengikutinya menuju parkiran.
Di sepanjang perjalanan tak henti - hentinya aku bersenandung di telinga Asni. Menyanyikan umpatan demi umpatan ungkapan kekesalanku padanya yang telah dengan teganya memanfaatkanku hanya demi makanan gratisan. Namun sepertinya sahabatku itu tidak perduli. Ia dengan santainya mendendangkan lagu yang berjudul maju tak gentar sebagai pengiring omelanku. Mungkin apa yang ku ucapkan hanya dianggap angin lalu olehnya hingga tak sedikitpun ia membalas perkataanku. Yang lebih menjengkelkan lagi adalah wanita itu bahkan tertawa terbahak - bahak setiap kali aku mencubit punggungnya untuk menyalurkan rasa kesalku. Andai aku tak ingat akan segala jasanya padaku, mungkin saat itu juga aku sudah menenggelamkannya di danau buatan yang letaknya tidak jauh dari sekolah tempat kami bekerja.
"Lumayan makan gratis, Vin. Lo tahu gak sih ini tanggal tua ? Lumayan buat ngirit uang belanja. Lo gak tau apa penghuni dompet tinggal tiga lembar warna biru sama dua lembar warna hijau. Mana gajian masih seminggu lagi. Lagian jarang - jarang kan ada yang mau traktir di tempat mahal begini. Jadi selagi ada kesempatan kenapa gak digunain dengan sebaik - baiknya." Ujar Asni sesaat setelah kami tiba di depan restoran. Aku yang mendengar hal itu hanya bisa mendengus kesal mendengar ucapannya. Sahabatku ini memang tidak pernah berubah. Sejak dulu dia tidak pernah berpikir dua kali jika ada orang yang berniat mentraktirnya. Prinsip seorang Asni kalau ada yang gratis ngapain harus bayar. Makanya ia sempat mendapat julukan Miss gratisan pada saat masih di bangku SMA.
Setelah menempuh waktu lima belas menit kami tiba di sebuah resto bergaya klasik. Pak Junsen yang sudah lebih dahulu tiba sudah berdiri tak jauh dari pintu masuk resto. Pria berdarah Tionghoa itu tersenyum lebar menyambut kedatanganku dan Asni.
"Ayo masuk Miss !" seru pria itu lalu menarik tanganku yang dengan sigap langsung ku tepis. Sebenarnya aku merasa sedikit risih melihat perlakuannya itu mengingat kami tidak terlalu akrab. Ditambah lagi ada Asni di sampingku yang kemungkinan besar bisa salah paham. Apalagi Pak Junsen hanya mengajakku masuk tetapi Asni tidak. Walaupun kelihatannya sahabatku itu terlihat tidak peduli tapi tetap saja aku merasa tidak enak hati. Rambut boleh sama hitam tapi dalam hati siapa yang tahu.
Aku tak berhenti berdecak mengagumi interior restoran yang memanjakan mata sejak kakiku melangkah masuk ke dalam resto. Di dinding resto terdapat beberapa lukisan abstrak, foto - foto pengunjung yang berpose di beberapa spot cafe, lukisan pemandangan beberapa tempat wisata di Indonesia, lukisan bunga tulip dan juga foto - foto menu yang tersedia lengkap dengan harganya. Belum lagi pemilihan warna tembok dan juga furniture yang begitu apik membuat pengunjung merasa betah berlama - lama di dalamnya.
"Mau pada pesan apa nih ?" tanya pria berwajah oriental itu kepadaku dan Asni yang langsung disambut dengan sumringah oleh sahabatku yang tak tau malu itu. Dengan seenak jidatnya dia memesan beberapa menu yang menurutku yang harganya cukup lumayan. Aku yang merasa tak enak hati dengan Pak Junsen pun sampai berulangkali menyikut lengan sahabatku itu agar tidak keterlaluan. Akan tetapi lagi - lagi Asni tidak memperdulikan ku.
"Saya pesan bakmie Jawa sama lemon tea hangat saja, Sir."
"Eh, kok cuman itu ? Gak ada yang lain, Miss Vina ?"
Aku menggelengkan kepalaku. Selain karena aku tidak enak jika memesan banyak dan harga mahal, aku penasaran dengan rasa menu makanan yang satu itu. Baru kali ini aku menemukan restoran yang menjadikan makanan daerah sebagai menu andalan padahal menu makanan yang berbaur western yang disediakan jauh lebih menarik. Itu artinya menu ini bisa dipastikan rasanya tidak biasa - biasa saja.
Hanya butuh lima belas menit semua pesanan tersedia di atas meja. Dan tentu saja pesanan terbanyak adalah milik Asni. Sahabatku itu dengan tak tau malunya memesan steak, salmon scrambled, dan beberapa makanan berat lainnya serta makanan penutup. Sementara Sir Junsen hanya memesan ice matcha coffe frape dan iga bakar.
"Selamat makan." seru Asni dengan wajah berbinar melihat makanan yang sudah tersedia. Tak bisa kuungkapkan dengan kata - kata betapa malunya aku saat itu. Bahkan untuk mengangkat wajahku saja pun aku tak mampu mengingat kelakuan sahabatku yang aneh bin ajaib. Sementara pelakunya hanya acuh tak acuh.
"Kok gak dimakan Miss ? Masih ada yang kurang atau mau ganti menu lain ?"
"Eh, gak kok. Ini mau dimakan." Aku dengan cepat menarik bakmie Jawa yang sudah tersaji cantik di dalam sebuah mangkuk kayu yang diukir dengan ukiran khas salah satu daerah di Indonesia.
Benar dugaanku. Bakmie Jawa yang satu ini memang spesial. Ada sensasi yang tak bisa ku ungkapkan setiap kali makanan itu masuk ke mulutku yang membuatku ingin dan ingin lagi menyantapnya. Perpaduan rasanya sangat pas dan menggoyang lidah.
"Miss Vina ?"
Aku yang terlarut dalam nikmatnya sajian yang berada di depanku sontak berhenti mengunyah dan menoleh ke asal suara.
"Eh, Randy ?"
Aku tersenyum senang melihat muridku yang satu itu.
"Siapa Miss ?" tanya Pak Junsen. Aku heran dengan pria ini. Padahal sudah beberapa minggu mengajar di SD Mutiara khususnya kelas 1C masih juga gak hapal sama muridnya sendiri. Ya, minimal hapal wajah lah.
"Murid saya, Sir."
"Oohh." Pria itu terlihat mengangguk sembari mengamati Randy. Mungkin sekarang ia berusaha mengingat - ingat bocah itu.
"Randy, ayo salam dulu sama Miss Asni dan Sir Junsen !" Bocah laki - laki itu langsung mengangguk dan menyalami Asni dan Junsen yang tersenyum ramah padanya.
"Randy ke sini sama siapa, Nak?"
Aku melirik ke sepenjuru ruangan mencari sosok yang biasa bersama Randy. Siapa lagi kalau bukan pria tampan yang notabene adalah ayahnya. Selain bersama supir dan pengasuh hanya pria itulah yang kerap kali berada di sekitar Randy.
"Sama Papi, Miss."
"Terus Papi di mana ? Kok kamu berkeliaran sendiri ?" Aku mencecarnya karena tak menemukan sosok pria yang merupakan ayah dari bocah itu.
"Itu Papi lagi di dalam Miss." Randy menunjuk sebuah ruangan yang di desain mirip gua yang terletak di sudut resto.
Aku mengernyitkan dahiku membaca tulisan di depan ruangan itu. Tulisan yang menunjukkan bahwa hanya orang khusus yang bisa memasuki ruangan itu.
"Ini restoran Papi, Miss."
"Oooo." Aku dan Asni memberi dengan mulut ternganga sedangkan Sir Junsen terlihat tak tertarik dengan obrolan kami.
"Ya udah, selamat makan Miss. Randy mau ke dalam dulu. Randy ke sini cuma mau kasih ini."
Anak itu menyodorkan sebuah kertas yang sudah dilipat membentuk sebuah kemeja.
"Apa ini ?"
"Itu dari Papi, Miss. Katanya buat Miss Vina."
"Oh thanks ya, Randy." Aku menerima kertas itu lalu meletakkannya di atas meja.
"Jangan lupa dibaca ya, Miss !" Seakan tahu bahwa aku tak berniat untuk membuka dan membaca kertas tersebut, Randy pun mengingatkanku sebelum ia pergi dan menghilang masuk ke dalam ruangan yang berada di sudut restoran itu.
"Apaan, Vin ?"
Aku mengedikkan bahuku acuh kembali menyantap bakmie Jawa yang sayang untuk dianggurkan.
"Kok kayaknya misterius banget sih ?" Kali ini Sir Junsen yang buka suara.
"Udah buka aja sih Vin ! Bikin penasaran aja."
Hufft dasar. Tingkat kekepoan Asni memang menyebalkan. Menggangguku menikmati makanan yang sejak tadi memanggil - manggil untuk segera dihabiskan.
Itadakimasu.
Terimakasih sudah membuat anak saya kembali ceria.
Tidak ada yang aneh pada kalimat awal surat kecil itu. Aku menyebutnya surat kecil karena ditulis hanya di sebuah kertas kecil mirip nota yang dibentuk seperti sebuah kemeja.
"Apaan tuh itadakimasu ?" Tanya Asni yang sudah mendongak ikut membaca tulisan dalam kertas itu.
"Itu Bahasa Jepang, Miss Asni. Artinya Selamat makan." Jawab Pak Junsen. Sepertinya pria itu mengerti bahasa Jepang.
"Benar Vin ?" Asni kembali memastikan yang kujawab anggukan.
Tuhan memang baik Vina
Aku mulai sedikit bingung dengan kalimat berikutnya. Tidak ada embel - embel miss di depan namaku. Aku menaikkan kertas tersebut ke atas agar Asni tak dapat ikut membaca karena menurutku ini sudah menjurus kepada hal yang berbaur pribadi.
Dia membawamu datang ke tempat ini
Kali ini aku semakin bingung. Apa maksudnya mengatakan itu ? Melihat aku seperti berpikir keras Asni mencoba merebut kertas itu dariku tapi kalah cepat dari Pak Junsen yang ternyata juga penasaran dengan isinya. Baru saja dia ingin membaca surat kecil itu aku kembali menariknya.
"Kalian ya, gak sopan baca - baca punya orang." Aku meninggikan suaraku. Aku tak suka jika mereka sudah terlalu jauh ikut campur dalam urusanku. Meski Asni adalah sahabatku bukan berarti semua hal tentangku harus ia ketahui.
Boleh pergi jauh tapi jangan lupa kembali.
Aku benar - benar tidak mengerti maksud kalimatnya itu. Tiba - tiba aku teringat akan statusku sebagai seorang anak yang kabur dari rumah hanya untuk menghindari perjodohan. Apa dia mengetahui itu ? Tapi tidak mungkin. Satu - satunya orang yang tahu masalah ini kecuali keluargaku, ya hanya Asni sahabatku itu.
Jaga kesehatan ya ! Jangan buat khawatir orang - orang yang menyayangimu !
Mata Ashita.
Sebenarnya siapa pria itu ? Mengapa dia terlihat seperti mengetahui masalahku. Ditambah lagi kalimat - kalimat bahasa Jepang yang dia selipkan di sela - sela bahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa dia tahu aku mengerti bahasa Jepang. Ya memang wajahku terlihat seperti orang Jepang karena gen mommy yang ada padaku tapi bukan berarti aku juga bisa bahasa Jepang kan ?
****
Itadakimasu artinya selamat makan
Mata Ashita artinya sampai besok