Mengapa penderitaan ini selalu datang dalam hiduku ? Tidakkah bisa pernikahan ini berjalan selayaknya ? Aku tidak menginginkan banyak. Hanya satu yang kuinginkan yaitu kebahagiaan anak - anakku. Wanita paruh baya itu tak berhenti meratapi nasibnya. Sesekali dia mengusap kasar wajahnya dan terkadang tergugu dalam tangis. Hanya itu yang mampu ia lakukan saat ini untuk melampiaskan segala rasa sesak yang menggerogoti dadanya.
Sejak kepergian putri kesayangannya itu, menangis adalah kegiatan rutin yang dilakukannya. Hampir tiada hari ia lalui tanpa menumpahkan air matanya. Tubuhnya pun mulai kurus dan terdapat lingkar kehitaman di bawah kelopak matanya yang menunjukkan bahwa wanita itu kehilangan nafsu makan sekaligus terserang insomnia. Bagaimana mungkin ia bisa baik - baik saja sementara hati dan pikirannya sedang kalut memikirkan kondisi puterinya. Apakah puterinya sudah makan atau belum ? Di mana dia tinggal ? Dengan siapa ? Dan masih banyak pertanyaan lain yang sering berkecamuk di pikirannya. Seorang ibu tidak mungkin bisa hidup tenang sebelum ia tahu anaknya baik - baik saja.
"Kenapa semua ini terjadi? Tidak cukup aku saja yang menderita?'' Wanita itu terus meratapi nasibnya sambil memandangi foto keluarga yang tertempel di dinding.
Hidup di tengah keluarga yang masih begitu mengagungkan seorang anak laki - laki membuatnya terbelenggu dalam kesedihan yang tiada akhir. Menjadi bahan pergunjingan saudara dan juga mertuanya dalam acara kumpul keluarga sudah sangat sering ia alami. Namun, ia selalu mencoba bertahan demi keutuhan keluarganya. Menikah dengan orang yang berbeda budaya dan kebiasaan itu memang tidak semudah kelihatannya.
Bukan tanpa alasan ia menjadi bahan pergunjingan saudara - saudaranya terlebih dari pihak suami. Sejak awal pernikahannya dengan Runggu, ia sama sekali tidak mendapatkan restu dari keluarga pihak suaminya itu khususnya ibu mertuanya. Ibu mertuanya menentang keras hubungan Runggu dan Kazumi yang menurutnya tidak baik jika diteruskan mengingat perbedaan budaya yang begitu kentara. Ibu mertuanya berharap Runggu menikah dengan putri dari kakak laki - lakinya atau minimal dengan wanita berdarah Batak. Namun, apa hendak dikata manusia boleh berencana akan tetapi Tuhanlah yang berkehendak. Runggu dan Kazumi ditakdirkan Tuhan berjodoh sehingga sekeras apapun usaha orang lain untuk memisahkan keduanya tapi Tuhan punya cara untuk menyatukan umatNya.
Kazumi mengira setelah menikah kehidupan rumah tangganya akan berjalan dengan mulus tanpa gangguan pihak ketiga terutama mertuanya. Namun, kembali ia harus menelan pil pahit. Mertuanya tidak rela melepaskan anaknya begitu saja dan dengan seenaknya ikut campur dalam kehidupan rumah tangga puteranya itu. Saat Kazumi tak kunjung mengandung padahal sudah menikah selama setahun, ibu mertuanya pun kembali menunjukkan eksistensinya. Wanita paruh baya itu dengan tak berperasaannya menyalahkan Kazumi. Tidak sampai di situ. Setelah dua tahun usia pernikahan mereka akhirnya Kazumi dinyatakan positif hamil, wanita itu mewanti - wanti agar anak yang dikandung Kazumi adalah anak laki - laki jika ingin mendapatkan kehidupan yang tenang tanpa campur tangan beliau. Namun, apa hendak dikata. Kita tidak pernah bisa mengatur apa yang sudah digariskan Tuhan. Jika dia sudah berkehendak lalu siapa yang kuasa menolak ?
Masih hangat diingatan Kazumi meski peristiwa itu sudah lama berlalu, bagaimana reaksi ibu mertuanya itu ketika anak yang dilahirkan Kazumi ternyata anak perempuan. Tidak ada ucapan selamat atau senyuman bahagia di wajahnya. Yang ada hanya tatapan sinis dan kata - kata pedas menyakiti hati.
"Runggu... Coba aja kau menikah sama paribanmu si Lamtiar itu, pasti sekarang kau sudah punya anak laki - laki. Makanya kau itu jangan bandal dibilangin. Ikutin kata mamakmu ini."
Bukan tanpa alasan wanita paruh baya itu berkata seperti itu. Tepat setahun yang lalu wanita bernama Lamtiur yang akhirnya menikah dengan pemuda lain melahirkan seorang bayi laki - laki yang cukup sehat. Bisa bayangkan bagaimana perasaan Kazumi saat itu ? Pasti hancur. Meski saat itu suaminya itu membelanya mati - matian akan tetapi itu tidak cukup untuk menghibur hatinya yang terlanjur sakit. Apalagi mendengar kalimat terkahir yang diucapkan ibu dari suaminya itu.
"Setelah anak ini berumur setahun, mamak harap kalian segera punya anak lagi. Mamak juga minta anak keduamu nanti usahakan laki - laki. Kalau nanti anak keduamu juga perempuan maka kau harus mencari perempuan lain yang bisa ngasih penerus marga kita."
Kalimat - kalimat pedas itu terlontar dengan ringannya dari mulut wanita itu seakan apa yang dia katakan itu tak akan menyakiti siapa pun. Bagaimana mungkin dia menyuruh mereka punya anak lagi sementara anak pertama mereka saja masih membutuhkan perhatian yang begitu besar dari kedua orangtuanya. Dan yang lebih kejamnya lagi wanita itu dengan teganya menyuruh puteranya menikah lagi di depan isterinya sendiri.
"Kau Kazumi kalau gak bisa ngasih anak laki - laki maka jangan larang bapaknya si butet ini nikah lagi. Kalau kau gak mau dimadu maka tinggalkan saja si Runggu ini biar kucarikkan bini baru buat dia yang bisa ngasih dia penerus." Kazumi semakin hancur bahkan tak mampu berkata - kata lagi saat ibu mertuanya itu langsung mengucapkan kalimat yang sarat akan ancaman itu. Saat itu yang bisa dilakukan Kazumi hanyalah menangis dengan mendekap tubuh puteri sulungnya yang masih merah itu.
***
"Vin, lo mau pesan apa ?" Suara cempreng milik Asni mengintrupsiku. Sejak tadi aku memang hanya membolak - balikkan daftar menu tanpa benar - benar memperhatikannya. Pikiranku masih tersita dengan satu - satunya orang yang benar - benar tulus menyayangiku sejak aku masih dalam kandungan. Santap siang di restoran Jepang seperti ini membuatku mengingat satu - satunya wanita yang paling kusayangi. Siapa lagi kalau bukan mommyku tercinta.
"Onigiri aja, As."
Hanya menu itu yang ada di otakku saat itu. Menu yang lagi - lagi berhasil mengingatkanku pada ibuku. Biasanya wanita keturunan Jepang itu sangat suka sekali memasak makanan khas negeri matahari terbit itu. Ya, salah satunya adalah onigiri. Makanan yang terbuat dari nasi yang dikepal dengan bahan tambahan seperti nori, telur dan sebagainya.
"Vin, lo pasti keingatan nyokap lo ya ?"
Aku hanya tersenyum kecut seraya menganggukkan kepalaku lemah. Entah kenapa sahabatku yang satu ini selalu tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku curiga ia memiliki kemampuan seperti seorang cenayang.
"Ya udah telpon gih ! Minimal dengan lo nelpon bisa ngobatin sedikit rasa kangen lo." Aku hanya diam terpaku memikirkan perkataan Asni. Jujur aku ingin sekali mendengar suara wanita yang telah melahirkanku itu tapi aku takut.
"Nih pakai hp gue kalau lo takut ketahuan !" Asni menyodorkan ponselnya yang langsung ku tolak mentah - mentah.
"As, kau itu lupa atau pikun ? Aku kan udah ganti nomor. So kalau pun aku nelpon pakai ponsel ini juga nyokap gak bakal tau kalau ini aku." Sontak wanita berdarah Batak itu menepuk jidatnya seraya terkekeh kecil.
Jantungku berdegup kencang saat aku mulai menekan nomor yang sudah terpatri dengan sempurna di otakku. Namun, entah kenapa saat mulai menekan tombol memanggil jemariku seakan berat untuk melakukannya. Ada ketakutan yang begitu besar kurasakan saat ini. Aku takut jika bukan mom yang menjawab teleponnya tapi justru daddy.
"Vin, kalau lo gak berani bicara cukup diam dan dengarkan suara mommy lo aja. Minimal lo bisa dengar suaranya. " Ucapan sahabatku itu memang ada benarnya. Akhirnya dengan perasaan campur aduk kuberanikan diriku untuk menekan tombol memanggil di layar ponselku. Satu.... dua.... tiga.... empat akhirnya terdengar suara di sebrang sana yang menunjukkan bahwa panggilan itu sudah terhubung.
"Halo..." Satu kata yang terucap begitu lembut menyapa gendang telingaku. Menyentuh relung hatiku yang begitu sensitif hingga melahirkan sisi melankolis dalam diriku. Aku merasakan ada dorongan kuat dari dalam dadaku yang meronta ingin segera dikeluarkan. Dan aku mulai tergugu di dalam tangisku.
"Halo. Halo. Ini siapa ?" Aku merasakan ada rasa khawitar yang begitu kentara dari kalimat ibuku. Suaranya bahkan terdengar sedikit bergetar.
"Vina ? Ini kamu kan sayang ?" Itulah naluri seorang ibu. Hanya mendengar suara tangisku saja dia bisa mengenaliku.
"Vina ? Mom yakin ini pasti kamu. Ya Tuhan, kamu sekarang di mana sayang ? Bilang sama mom ! Kamu baik - baik aja kan ?"
Ada kebahagiaan dan juga kekhawatiran yang terpancar dari suaranya yang membuatku semakin tergugu. Ingin rasanya aku memutuskan panggilan itu secara sepihak akan tetapi aku tidak tega. Aku tak mau membuat ibuku itu semakin khawatir sehingga kuputuskan untuk memberitahu segalanya.
"Mom, ya ini Vina." sahutku sambil terisak.
"Terimakasih Tuhan. Akhirnya Mom bisa dengar suara kamu sayang. Kamu tahu Mom stress mikirin kamu selama ini. Mom cari kamu kemana - mana." Wanita itu menghembuskan nafas lega. Akhirnya setelah sekian lama ia menemukan titik terang tentang puterinya itu bahkan bisa mendengar suaranya. Wajahnya pun kembali cerah serta semangatnya kembali pulih. Meski ia belum melihat wajah puterinya itu secara langsung minimal ia tahu kalau puterinya itu masih hidup.
"Bilang sama Mom, kamu di mana, Sayang ? Kamu baik - baik aja kan ? Pulang ya, Nak ! Mom kangen."
Aku menarik nafasku dalam - dalam. Aku juga begitu merindukan ibuku itu akan tetapi untuk pulang ke rumah aku harus berpikir seribu kali. Pulang ke rumah sama halnya menyerahkan diri untuk menerima perjodohan itu.
"Vina di Tangerang Mom. Mom tenang aja, Vina di sini baik - baik aja. Maaf Mom untuk sekarang Vina belum bisa pulang ke rumah. Mom jaga kesehatan ya ! Gak usah pikirin Vina !"
"Kazumi, ayo makan !"
Mendengar ada suara lain yang berada di sekitar ibuku dengan cepat aku menekan tombol berwarna merah untuk memutuskan panggilan. Berulangkali aku mengucap maaf dalam hati untuk ibuku itu karena telah dengan tidak sopannya memutuskan pembicaraan tanpa ada dalam penutup. Aku sangat yakin itu suara daddy. Meski aku juga merindukan pria itu tapi rasa takutku lebih besar. Aku tidak boleh hanya memikirkan diriku sendiri. Apa yang terjadi jika dad tahu kalau aku baru saja menghubungi mom ? Bisa jadi pria itu salah paham pada mom dan memarahi mom habis - habisan. Aku juga tidak mau jika aku ketahuan, Daddy akan dengan mudah melacak keberadaanku dan bisa jadi ia akan menjemputku paksa untuk dinikahkan dengan pria pilihan daddy.
Ada perasaan lega setelah berbicara dengan ibuku itu. Lega karena rasa rindu ini sedikit terobati akan tetapi terbesit sedikit kekhawatiran tentang ibuku itu. Dari suaranya saja aku tau mommy tidak dalam keadaan baik - baik saja akan tetapi aku tidak bisa berbuat apa - apa. Pulang ke rumah bukan pilihan yang tepat saat ini karena itu artinya aku menerima perjodohan itu.
***