Chereads / Pariban Aishite Imasu / Chapter 2 - #2

Chapter 2 - #2

"Good morning. How are you today ?" Kata - kata yang selalu ku ucapkan sebagai salam pembuka sebelum memulai pelajaran.

Sejak kabur dari rumah aku beralih profesi sebagai seorang guru. Dan sejak beberapa waktu yang lalu aku sudah mulai mengajar di salah satu sekolah dasar  swasta di Kota Tangerang. Pekerjaan yang jauh berbeda dari pekerjaan yang ku lakoni sebelumnya yaitu dokter spesialis anak. Menjadi seorang yang hidup di pelarian membuatku menerima pekerjaan apapun yang penting bisa bertahan hidup.

"Fine Miss. How about you ?" ujar anak - anak kelas 1C serentak.

"I am fine thank you." Aku melemparkan senyum tulus kepada anak - anak yang terlihat begitu menggemaskan itu.

"Anak - anak, ayo coba lihat Miss Vina bawa apa !" kataku sambil menunjukkan beberapa kotak yang penuh dengan warna - warni

"Cat air Miss." jawab mereka serempak

Beberapa anak laki - laki mulai beranjak dari kursinya lalu menghampiriku. Ya begitulah anak - anak terkadang  mereka suka melakukan sesuatu dengan spontan apalagi jika sedang dilanda rasa penasaran yang tinggi.

"Hei... Sit down please !" seorang anak perempuan berambut panjang yang terkenal tomboy itu berseru lantang dengan tangan berkacak pinggang.

"Ok anak - anak, siapa yang mau duduk tertib ?  Miss baru akan mulai menjelaskan kalau semuanya sudah tertib."

Aku berbicara dengan nada tegas dan sorot mata yang dibuat sedikit tajam untuk menghindari terjadinya keributan. Biasanya kalau sudah begini yang terjadi adalah adu mulut antar bocah - bocah ingusan ini.

"Nah gitu dong. Kalau tertib kan enak." aku tersenyum lega melihat semua kembali duduk di bangku masing - masing.

"Miss akan ajak kalian ke laboratorium untuk belajar pencampuran warna. Ada yang mau ikut ?"

"Saya mau Miss," seluruh anak kelas 1C berseru serentak sambil mengacungkan tangan ke atas.

"Oke. Kita ke laboratorium dengan satu syarat." Aku berhenti sejenak mengedarkan pandanganku ke seluruh siswa kelas 1C yang sedang menungguku dengan cemas. "Naik ke laboratoriumnya harus tertib." Sambungku dengan nada serius menatap mereka satu persatu." Bisa dilaksanakan ?"

"Bisa Miss." seluruh siswa kelas 1C menjawab dengan serentak dan menganggukkan kepalanya.

Begitu sampai di laboratorium anak - anak duduk di kursi panjang yang terbuat dari semen. Di depan kursi tersebut terdapat meja yang juga terbuat dari semen. Anak - anak begitu antusias melihat piring - piring kecil, mangkok yang berisi air, sendok dan pewarna berjejer rapi di atas meja tersebut.

Saat kondisi kelas sudah kondusif aku mulai menjelaskan satu persatu hasil  dari pencampuran warna yang dilakukan oleh anak - anak. Terlihat wajah - wajah senang dan antusias dari anak - anak ini. Bagi mereka belajar di luar kelas itu hal jarang dilakukan. Biasanya anak - anak hanya belajar di luar kelas ketika pelajaran PJOK atau ekskul Pramuka.

Aku memang ingin mencoba sesuatu yang berbeda untuk menarik minat anak - anak untuk sekolah. Aku merasa sedih ketika anak - anak sampai berpikir sekolah itu ya membaca dan menulis. Aku ingin merubah paradigma anak - anak tentang sekolah agar tidak ada lagi anak  yang malas datang ke sekolah.

Bel panjang berbunyi nyaring di SD Mutiara pertanda seluruh pelajaran telah selesai. Satu per satu siswa dijemput oleh orangtuanya. Tersisa seorang bocah laki - laki bertubuh gempal yang masih setia duduk di kursinya. Anak yang terkenal pendiam dan irit bicara terutama untuk orang - orang yang baru ia kenal.

"Randy, ayo sini main sama Miss !" ucapku seraya menghampirinya. Tak ada ekspresi. Dia tidak bergeming sedikit pun.

"Anak ganteng mau main ini gak? "

Ia hanya menoleh sebentar lalu kembali fokus kepada kegiatannya semula.

"Kamu mau bantu Miss nyusun? Dari tadi miss gak bisa nih." ucapku dengan nada sedih sambil pura - pura memutar rubik yang ada di tanganku.

Semenit....

Dua menit...

Tiga menit kemudian dia menghampiriku.

"Sini Miss ! Randy bantu."

"Yes... " Aku bersorak dalam hati. Akhirnya usahaku mendekatinya tidak berakhir sia - sia.

"Ini gampang, Miss putar yang ini dulu trus ini, yang ini ke sini, nah jadi kan ?" Randy berusaha menjelaskan sambil memutar - mutar rubik di tangannya.

"Anak pintar." Aku tersenyum lebar mengacungkan jempolku ke atas lalu mengelus puncak kepalanya. Waktu yang ia butuhkan untuk menyusun sebuah rubik tak sampai satu menit. Sepertinya ia sudah terbiasa melakukan hal tersebut.

"Lain kali tolong ajarin Miss, ya !" Aku menatapnya dengan tatapan penuh pengharapan yang hanya dijawab anggukan kecil olehnya. Wajahnya pun tetap datar tanpa ekspresi. Sepertinya anak itu bermasalah dengan cara mengekspresikan diri. Mungkin karena kepribadiannya yang introvert atau ada hal lain, aku kurang tahu.

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Itu artinya sudah sejak satu setengah jam yang lalu pelajaran berakhir. Namun, belum ada tanda - tanda bocah gembul ini dijemput.

"Randy ...biasanya kamu dijemput siapa ?"

"Hmm..." Randy berhenti sejenak. Sepertinya ia sedang berpikir. "Papi, Miss. Pasti papi lagi sibuk, makanya belum jemput." Lanjutnya dengan nada yang terdengar lirih.

"Kalau Papi sibuk kan bisa Mami?"

Dia hanya menatapku dengan tatapan sendu. Bisa kulihat ada kesedihan dan kerinduan di balik tatapan itu. Lalu setetes cairan bening keluar dari sudut matanya.

Aku begitu kaget melihatnya. Apa aku sudah salah bicara tadi ? Aku bertanya - tanya dalam hati. Seakan mengerti apa yang kupikirkan dia memegang tanganku.

"Miss gak salah kok. Kan Miss gak tahu kalau Randy gak punya Mama. Kata Papi, Mami sudah bahagia di surga." Dadaku begitu sesak mendengar kenyataan itu. Kurengkuh tubuhnya yang penuh lemak itu ke dalam dekapanku.

Aku jadi merasa sangat bersalah saat itu telah mengingatkannya pada sosok yang dia sayangi. Aku tidak bisa membayangkan jika berada di posisinya. Aku masih beruntung mempunyai kedua orangtua yang masih lengkap meskipun daddy selalu bersikap dingin padaku. Setidaknya aku masih bisa melihatnya di dunia ini.

"Randy kangen sama Mami gak ?" Ia menganggukkan kepalanya.

"Kangen. Tapi Randy gak tahu Miss, wajah Mami itu gimana. Randy juga gak tau rasanya punya Mami. Kan Randy gak pernah ketemu. Kata Papi, Mami meninggal waktu melahirkan Randy. "

"Randy pengen tau gak rasanya punya Mami itu gimana?" Ia lagi - lagi menganggukkan kepalanya.

"Nah kalau gitu mulai sekarang kamu bisa anggap Miss Vina Maminya Randy." Entah setan apa yang menghampiriku sehingga dengan entengnya aku mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin aku dengan gampangnya memintanya menganggapku sebagai pengganti ibunya ? Sungguh permintaan yang konyol bukan ?

"Randy mau gak ?" Aku tersenyum lega saat melihat anak itu mengangguk dengan mata berbinar bercampur haru.

"Oke, mulai sekarang Miss Vina Maminya Randy. Dan Randy anaknya Miss Vina." Tak satu patah katapun terucap dari bibirnya bocah bertubuh tambun itu. Ia hanya menatapku lekat seakan tak percaya apa yang baru saja ia dengar.

"Nah, sebagai bukti kalau Miss Vina sudah sah jadi Maminya Randy, kamu harus peluk Miss. Mau peluk Miss gak?" Aku merentangkan kedua tanganku lebar - lebar menyambut bocah laki - laki yang menghampiriku dengan malu - malu. Ada rasa hangat bercampur haru yang kurasakan saat tubuhku merengkuh tubuh gempal itu membuat air mataku lagi - lagi tumpah begitu saja.

Tok...tok..tok

Suasana yang mengharu biru itu terpaksa terganggu saat seseorang mengetuk pintu dengan sedikit terburu - buru. Dapat kulihat nafasnya yang masih ngos - ngosan dan keringat yang mengalir di keningnya. Sepertinya orang tersebut habis berlari.

"Eh. Maaf ganggu." serunya dengan rasa bersalah yang kentara terlihat di wajahnya. Mungkin ia merasa tidak enak telah menggangguku dan Randy.

Belum sempat aku menjawab, pria itu kembali berseru. "Siang Miss. Sorry ya, saya telat jemput." Pria tampan dengan balutan kemeja berwarna biru yang dipadankan dengan celana bahan warna senada melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kelas. Tersenyum manis yang menyejukkan mata. Belum lagi tatapan matanya yang teduh membuatku sedikit terpikat sehingga tanpa sadar aku terpaku dibuatnya.

Ehemm....

Rasanya wajahku sekarang sudah merah padam karena tertangkap basah telah mengagumi sosok pria yang notabene adalah orangtua muridku. Namun, bukan Vina namanya kalau tidak bisa menguasai keadaan dengan cepat.

"Oh, santai aja Pak." Aku berusaha berbicara sesantai mungkin untuk menghilangkan rasa malu yang kini menyerangku. Melihat Randy langsung menghampiri pria ini saat melihatnya, aku begitu yakin kalau pria tersebut adalah anggota keluarga Randy. Entah itu Om, atau bisa jadi...

Ah rasanya tidak mungkin. Berdasarkan wajahnya rasanya pria itu adalah ayah dari Randy. Sepertinya umurnya masih terlalu muda untuk ukuran seorang pria yang sudah memiliki anak usia sekitar enam sampai tujuan tahunan. Namun, semua dugaanku terpatahkan oleh ucapan yang keluar dari mulut Randy.

"Papi kok telat sih jemputnya ?" Akhirnya aku tahu pria itu ternyata ayah dari Randy. Entah wajahnya yang awet muda atau memang dia menikah muda sehingga tidak terlihat seperti seorang pria yang sudah memiliki anak yang duduk di bangku kelas 1SD.

Mendengar Randy menggerutu kesal karena ayahnya terlambat menjemput, pria itu hanya tersenyum simpul saja. Dengan santai ia memeluk tubuh gempal Randy yang baru saja menubrukkan tubuhnya untuk memeluk sang ayah.

Satu hal yang aneh adalah pandangan mata pria itu sedari tadi tak lepas dariku. Dahinya mengerut seakan ingin memastikan sesuatu. Membuatku sedikit salah tingkah. Takut kalau - kalau ada sesuatu di wajahku yang membuatku terlihat sedikit aneh.

"Miss guru baru ya? Soalnya saya baru lihat Miss." ujar pria itu sembari mengurai dekapannya dari sang putera.

Aku tersenyum ramah lalu menganggukkan kepalaku.

"Perkenalkan saya Miss Vina. Walikelas 1C yang baru."

Bukannya menyambut uluran tanganku pria itu justru hanya terpaku dengan pandangan mata yang seakan mengunciku. Tak lama kemudian aku melihat sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman yang entah mengapa membuatku bergidik ngeri. Beruntung hal itu tak berlangsung lama karena setelahnya pria itu kembali menatap Randy yang saat ini sedang berdiri di sampingnya.

"Maaf ya Boy, tadi itu ban mobil Papi bocor jadi harus ditambal dulu. Sekarang ayo pulang keburu semakin siang ! Papi harus balik ke kantor lagi. Ayo sekarang kamu pamit sama Miss ! "

Randy menganggukkan kepalanya lalu bergegas mengambil tasnya yang masih terletak di atas kursi. Menggendongnya lalu menghampiriku.

"Randy pulang ya, Miss. See you tomorrow." Dengan malu - malu bocah gembul itu berpamitan dengan menjabat tanganku. Seminggu mengajar di kelas 1C aku bisa menarik kesimpulan jika anak ini memang tipikal anak yang pemalu. Jalan yang kubuka untuk mendekatinya tadi pun seakan belum mampu membuatnya membuka diri untukku. Mungkin ia masih butuh waktu atau ia menganggap obrolan kami tadi hanya angin lalu. Buktinya ia tidak membahas hal itu di depan sang ayah.

"See you, Randy. Hati - hati di jalan ya !" Aku menjabat tangannya erat.

"Mari Miss." Pria itu tersenyum lebar, menundukkan kepalanya lalu mengamit tangan Randy kemudian berjalan dengan bergandengan tangan. Meninggalkanku yang menatap keduanya dengan perasaan berkecamuk.

Sungguh aku merasa iri melihat interaksi Randy dan papinya. Hingga usiaku yang sudah lebih dari dua puluh lima tahun belum pernah sekalipun daddy dengan ikhlas hati menghantar dan menjemputku dari sekolah. Sejenak aku membayangkan jika aku berada di posisi Randy betapa bahagianya diriku. Sayangnya itu hanya hayalan karena hingga untuk sekedar berbincang saja hampir tidak pernah. Ada tembok yang sengaja di bangun oleh dad sebagai pembatas antara aku dan dia.

***

Hujan turun membasahi kota Tangerang membuatku malas keluar rumah. Biasanya kalau malam minggu begini aku dan Asni biasanya pergi keluar untuk sekedar menghilangkan penat karena telah bekerja selama 5 hari. Namun, berhubung hari sedang hujan, jadilah aku hanya membaca komik kesukaanku sambil rebahan di atas kasur. Cara membaca yang tidak perlu ditiru ya karena itu dapat merusak mata. Meski aku seorang dokter dan paham betul akan hal itu tapi aku sering sekali melakukannya.

"Ya ampun, Vin. Umur udah setua ini masih aja baca komik." Cibir Asni.

Baginya komik hanya bacaan untuk anak - anak atau remaja saja tapi tidak untukku. Bagiku komik itu bacaan sejuta umat yang tidak mengenal batas usia. Dia tidak tahu saja jika komik juga memiliki beragam genre layaknya novel. Andai sahabatku itu tahu bahwa komik juga ada komik yang diperuntukkan untuk orang dewasa mungkin dia tidak akan mencibirku seperti ini.

"Ini cobain wedang ronde buatanku !" Katanya sambil menyodorkan segelas minuman yang terbuat dari jahe dan beberapa rempah lainnya.

"Mirip bandrek ya, As." Aku mengamati segelas minuman yang terdiri dari campuran air, jahe, kacang tanah sangrai, kolang - kaling,  dan bahan - bahan lainnya.

Bandrek adalah sebutan bagi minuman khas  Medan yang terbuat dari jahe, kayu manis dan beberapa rempah lainnya.

"Mirip sih. Cuman ini isinya banyak. "

"Jadi kangen Medan, As." ucapku dengan nada sendu. Tak terasa setetes cairan bening keluar dari mataku. Entah kenapa belakangan ini aku menjadi begitu cengeng. Dan aku benci akan hobi baruku itu.

"Nangis aja terus ! Itu air mata stoknya banyak amat ya neng ? Demen amat ngucur kayak pancuran." Asni melemparkan dengan tatapan tidak sukanya padaku.

"Kangen Medan atau kangen bonyok atau si babang dokter ?" Dalam waktu singkat mood gadis itu berubah cepat. Sekarang dengan santainya ia melemparkan tatapan jahilnya.

Kangen Mommy dan Daddy itu pasti. Semarah apapun aku pada kedua orangtuaku itu aku tetap merindukkan mereka. Kangen sama Ari itu juga pasti. Tapi apakah dia merindukanku ? Entahlah.  Sepertinya pria itu nyaman - nyaman saja dan tidak merasa kehilanganku sedikit pun.

Beberapa hari setelah aku memutuskan meninggalkan rumah dan hijrah ke Tangerang sikapnya berubah total. Kami jadi jarang berkomunikasi. Perlahan semuanya jadi terasa jauh. Mungkin ini efek LDR yang sedang kami jalani.

"Vin, gue mau tanya nih tapi jangan marah ya !" Asni menatapku sejenak lalu mengambil remot yang terletak di atas nakas. Tak lama kemudian televisi berukuran 32 inci itu menyala dan menampilkan sebuah acara talk show yang dipandu oleh seorang komedian berdarah Sunda.

"Ada apa sih, As ? Kok kayaknya berat gitu ? Jangan - jangan kau mau nanya aku kapan pindah dari kontrakanmu kan?" Aku berpura - pura memasang wajah muram dan bibir yang mengerucut.

"Tuh mulut ya, lemes benar!" Asni mengalihkan pandangannya dari acara televisi yang menampilkan adegan seorang pria menghipnotis artis tamu dalam sebuah acara talk show. Wanita itu melemparkan tatapan tajam bak burung elang ke arahku.

"Ok fine. Nona Asni yang cantik boleh bertanya apa saja. Waktu dan tempat saya persilahkan." Aku membungkukkan badanku lalu menjulurkan tangan kananku ke depan dan mengayunkannya dari kiri ke kanan memperagakan seorang pelayan yang mempersilahkan majikannya.

"Vin, kenapa sih lo gak mau dijodohin sama paribanmu itu ?"

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan sahabatku itu. Pertanyaan yang sebenarnya hanya dijawab dengan satu kalimat saja. Aku ingin menikah dengan orang yang ku cintai dan mencintaiku.

"Gak tahu, As. Yang jelas aku itu mau menikah bukan dengan cara dijodohkan. Emangnya aku perawan tua yang gak laku - laku sampai harus dijodohin segala ? Gini - gini aku punya pacar ganteng, mapan lagi."

Bagiku sudah tidak zaman menikah dengan dijodohkan. Masing - masing anak punya hak untuk menentukan teman hidupnya sendiri karena yang menjalani juga ia sendiri. Orangtua bisa memberi saran tapi tidak untuk memaksakan kehendak. Itu sama saja melanggar hak asasi anak.

"Terus kenapa gak nikah sama Ari aja kalau gitu? Kalau lo nikah kan daddy mu pasti gak bakal jodohin lo lagi. Lagian salahmu sih gak ngenalin pacar sama bokap nyokapmu. Jadi mereka pikir lo itu jomblo."

Kata - kata sahabatku itu memang benar. Selama ini aku tidak pernah membawa Ari sekalipun ke rumah apalagi mengenalkannya pada keluargaku. Tidak tahu kenapa aku merasa belum benar - benar yakin padanya. Aku punya satu prinsip yang kupegang teguh hingga saat ini yaitu aku akan mengenalkan pria itu ke keluargaku jika memang sudah yakin dan benar - benar serius.

"Vin, lo kenal gak sih sama paribanmu itu ?"

"Gak. Mukanya aja aku gak tau. Kata Mom, dulu itu kami pernah ketemu. Kalau gak salah waktu opungku meninggal. Jadi wajarlah kalau aku udah gak ingat."

Apa yang aku katakan barusan benar adanya. Aku sama sekali tak pernah ingat bagaimana rupa pria yang akan dijodohkan denganku dan aku juga tak pernah ingin tahu.

"Udah ah, As. Ngapain juga ngomongin yang gak penting ?" Ucapku untuk mengakhiri pembahasan yang menurutku sama sekali tidak menarik.

Aku tahu sebenarnya sahabatku itu ingin bertanya lebih jauh tapi untuk kali ini aku tidak ingin membahas masalah itu. Membahasnya sama saja membuatku kembali mengingat  bagaimana mom dan daddy membuat hatiku sakit. Itu artinya aku akan kembali menangis. Untuk sesaat saja aku ingin melupakan semua.

****

Pariban berarti sepupu.

Opung adalah sebutan untuk orangtua dari ayah dan ibu kita.