Semerbak harum wangi sebuah masakan memenuhi seluruh ruangan dalam apartemen. Sesosok wanita cantik dengan lihainya memainkan pisau untuk memotong seluruh bahan makanan. Dengan cepat bak koki handal, Clarissa menggoyang pan untuk memasak. Hingga seluruh hidangan lengkap dengan makanan penutup sudah tersaji di atas meja makan.
"Sayang, apa yang sudah kamu masak? Aroma masakan mu membangunkan tidurku." Andrew memeluk Clarissa yang sedang memotong buah di dapur.
"Duduklah, makanan sudah tersaji di meja makan." Clarissa berbalik dan menatap lekat pada suaminya.
"Jangan menatapku seperti itu, kamu bisa membangunkan sesuatu yang lain dibawah sana," ucapnya dengan senyuman nakal.
Clarissa langsung menarik Andrew menuju meja makan yang sudah penuh dengan makanan.
"Ya ampun, Sayang. Bagaimana kamu bisa memasak sebanyak ini?" Andrew langsung mencicipi makanan di depannya.
"Masakannya sangat enak, senikmat masakan restoran. Sejak kapan kamu pandai memasak Sayang?" tanyanya semakin penasaran dan tak percaya masakan istrinya sangat enak.
"Habiskan makananmu Mas. Jangan kebanyakan pertanyaan. Aku belajar memasak dari Mamaku." Clarissa mencoba setegar mungkin ketika harus mengingat kenangan Mamanya.
Hati Clarissa menjadi sesak, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Bagaimana bahagianya dia dulu sebelum mengenal calon suaminya yang terdahulu. Dan berujung dengan musibah yang mengerikan. Calon suaminya membatalkan pernikahannya, membuat Papanya syok dan meninggal. Tak lama setelahnya Mamanya bunuh diri. Kisah memilukan yang telah merobek hatinya. Sungguh menyedihkan takdir yang harus dijalaninya. Bahkan takdir hidupnya lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Dalam lamunannya, derai air mata mulai mengalir tak tertahankan lagi. Jiwanya seolah ingin menjerit, melepaskan amarah yang tersimpan dihatinya. Siapa yang pantas untuk disalahkan? Dia pun tak pernah menemukan jawabannya.
Andrew yang sudah menyelesaikan sarapannya, mendapati istrinya menangis tanpa suara. Air mata sudah terjatuh, wajahnya sudah dikuasai oleh kesedihan yang mendalam. Andrew hanya bisa memeluknya dengan perasaan yang ikut terluka. Dia memang tak bisa mengubah masa lalu istrinya. Namun Andrew akan berusaha sekuat hidupnya, untuk membahagiakan wanita yang berada di pelukannya itu.
"Sayang, aku memang tak bisa menjanjikan kebahagiaan untukmu. Namun aku akan berusaha untuk membahagiakanmu seumur hidupku. Dengan sekuat hati dan jiwaku," kata Andrew sambil terus memeluknya
Mendengar perkataan tulus Andrew, seolah seberkas cahaya mulai menyinarinya. Clarissa seperti mendapatkan kekuatan yang mampu membuatnya tetap bertahan. Takdir boleh saja mempermainkannya. Namun harapan dalam hatinya, kisah cinta yang dijalaninya sekarang bukanlah permainan. Clarissa ingin merasakan kebahagiaan yang seutuhnya. Tanpa ada luka atau air mata yang menyertai kebahagiaannya.
"Maafkan aku Mas. Kenangan buruk masa laluku selalu berhasil mencabik-cabik hatiku hingga tak bersisa." Tersirat luka dalam setiap kata yang terucap dari bibirnya.
"Lupakan masa lalu terburuk dalam hidupmu. Biarkan hanya kenangan indah yang terpatri di dalam jiwamu. Kini, kita hanya akan memulai semua yang indah. Dan itu juga akan tercatat dalam sejarah kisah cinta kita bersama." Andrew berusaha menghibur wanita yang sudah menguasai seluruh dunianya itu.
Biarlah setiap kenangan buruk menghilang, seperti kelopak bunga yang gugur terbawa angin. Kenangan indah akan hadir, seperti pelangi di musim semi. Keindahannya terlalu menakjubkan dan tak mungkin hanya dilukiskan dengan kata-kata yang tak berarti.
Senyuman Clarissa mulai mengembang sangat cantik. Meruntuhkan seluruh hasrat untuk tidak menyentuhnya. Andrew mencoba menahan dan mengendalikan dirinya sendiri.
"Mas, mengapa wajahmu memerah?" tanyanya sambil memegang kedua pipi Andrew.
"Mungkin hanya kepanasan Sayang," jawaban Andrew terdengar ambigu di telinga Clarissa.
Clarissa tersenyum nakal menatap suaminya. Seakan dia mengerti apa sedang dirasakan Andrew.
"Clarissa yakin, disinilah yang membuat Mas Andrew semakin kepanasan," ucapnya sambil meremas sesuatu yang berada di antara dua paha suaminya.
Andrew langsung menarik Clarissa hingga tak ada jarak di antara mereka berdua. Nafas Clarissa mendadak tidak karuan, jantungnya semakin berdetak lebih cepat.
"Sayang, bukankah kamu yang menggodaku. Namun kenapa justru dirimu yang terjebak dalam godaan mu sendiri." Andrew menyeringai meledek istrinya.
Rona wajah Clarissa langsung memerah menahan malu dan nafsunya sendiri. Clarissa menggigit bibirnya, sambil menarik rambutnya yang panjang dengan sangat lembut.
Andrew yang memandang tingkah menggemaskan istrinya, membuatnya semakin terbakar dengan gairah yang semakin tak bisa ditahannya. Tanpa ada aba-aba, mereka berdua sama-sama saling mendekat. Pandangan matanya menatap semakin dalam dan menuntut.
Entah siapa yang memulai duluan, dua bibir itu sudah saling bertaut. Tenggelam dalam gairah yang semakin dalam. Lidah mereka mulai menari-nari secara bersamaan dengan sangat lincah di dalam mulutnya.
Satu persatu setiap kain yang menutupi tubuh mereka menjadi berceceran di segala tempat. Andrew mulai membaringkan istrinya di meja kerja yang biasa digunakannya untuk mendesain proyeknya. Beberapa barang sudah berjatuhan, bersamaan dengan gerakan percintaan mereka berdua.
Suara desahan memenuhi setiap sudut ruang kerja Andrew. Dua manusia saling menyatukan gairahnya. Setiap teriakan atau desahan merupakan lambang kenikmatan yang tak tergambarkan. Semakin lama permainan yang membuat panas seluruh apartemen, menjadi lebih menggila. Andrew semakin tak bisa menahan tubuh istrinya yang sangat menggiurkan. Tak dapat ditahan lagi, tubuh Andrew semakin mempercepat gerakannya. Hingga getaran hebat memuncak diantara keduanya. Benih Andrew pun tersimpan di rahim istri yang dicintainya itu.
"
Aku mencintaimu Istriku," ucapnya dengan nafas yang masih memburu.
Clarissa tersenyum lalu menciumnya lembut.
"Haruskah kita berbulan madu?" tanya Andrew pada Clarissa.
"Bukankah setiap hari kita terus saja berbulan madu?" Clarissa sengaja menanyakan sesuatu yang tidak memerlukan jawaban.
Andrew semakin gemas mendengar jawaban yang dijadikan pertanyaan oleh istrinya itu. Apalagi Clarissa terlihat mengulas senyuman untuk menggodanya. Ketika Clarissa mulai memunguti pakaiannya, Andrew langsung mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam bathtub. Mereka berdua berendam air hangat, untuk menghilangkan kelelahan setelah percintaan yang menggairahkan.
"Sayang, apa kamu masih ke dokter untuk memasang kontrasepsi?" Andrew bertanya sambil memainkan bulatan padat di dada istrinya.
"Masih Mas. Seperti yang Mas Andrew sarankan, agar tidak terburu-buru memiliki anak," jawabnya.
"Bagaimana kalau kita memiliki anak sekarang? Kuliahmu juga sudah selesai, tinggal wisuda saja." ucap Andrew.
"Besok aku akan melepaskan kontrasepsinya." Clarissa terlihat tidak bersemangat dengan jawabannya.
Andrew juga merasakan seolah Clarissa belum siap untuk memiliki seorang anak. Namun Andrew tak akan memaksanya untuk hamil sekarang. Clarissa telah mengalami banyak masa-masa terburuk dalam hidupnya. Andrew akan menunggu, sampai Clarissa benar-benar siap menjadi seorang Ibu. Karena menjadi seorang Ibu adalah sesuatu yang besar dan hebat. Seorang wanita harus sudah siap lahir ataupun batin.
Andrew terus menciumi leher belakang Clarissa, lalu memijat pundaknya.
"Semoga Istriku tidak kelelahan setelah bercinta denganku," ucap Andrew lirih di dekat telinga Clarissa.
Clarissa membalikkan badannya sehingga mereka menjadi saling berhadapan.
"Semoga Suamiku tidak merasa bosan setelah bercinta denganku." Clarissa mencium bibir Andrew sekilas.
Happy Reading