Clarissa sedang duduk termenung di teras depan villa Joe. Pemandangan yang sangat asri, angin sepoi-sepoi meniup rambut panjangnya. Merasakan kedamaian yang di dalam hatinya, tanpa sadar Clarissa memejamkan matanya. Dihirupnya udara bersih di sekitar villa. Seketika auranya memancarkan senyuman keindahan.
"Sangat cantik." Suara Joe merusak momen indah yang sedang Clarissa nikmati.
"Sudah pulang? Siapa yang baru saja kau sebut cantik?" tanya Clarissa begitu menyadari seseorang yang berdiri di sebelahnya.
"Tentu saja Kakak, siapa lagi wanita di villa ini?" Joe terlihat tersenyum menatap Clarissa.
Clarissa hanya tersenyum mendengar ucapan dari lelaki muda di depannya itu.
"Ayo Kak, aku akan mengantarmu pulang sekarang," ucapnya.
"Tunggu sebentar, aku mengambil barang-barangku dulu." Clarissa langsung beranjak ke kamar yang semalam di tempatinya.
Diambilnya barang pribadinya, dan segera turun menghampiri Joe yang sudah berdiri di halaman depan villa.
"Dimana Kakak tinggal?" tanyanya sambil terus menyetir mobilnya.
"Sun Rise Apartemen," jawab Clarissa.
"Bukankah itu apartemen mewah? Pasti Kak Clarissa anak orang tajir." Joe sangat mengenal apartemen itu, karena dia juga memiliki unit disana.
"Itu apartemen Suamiku," jawab Clarissa lirih.
"Jadi pria kemarin suami Kakak?," tanyanya lagi.
"Dia Ayah mertuaku." Clarissa menjawab dengan nada yang menyedihkan.
"Apa!! Bagaimana bisa seorang mertua ingin melecehkan menantunya?" Joe semakin penasaran dengan kisah wanita cantik yang disampingnya.
"Lain kali aku akan bercerita padamu." Clarissa membuka pintu mobil itu, karena ternyata Joe sudah menghentikan mobilnya di depan lobby apartemen.
Clarissa berniat langsung masuk ke lift.
"Kak tunggu, ini nomor ponselku. Kalau Kakak butuh bantuan langsung telepon aku." Joe tersenyum sambil terus melihat Clarissa yang masuk ke dalam lift.
Di sudut apartemen, seseorang lelaki sedang memperhatikan kedekatan Joe dan Clarissa. Lelaki itu mengepalkan kedua tangannya, hatinya dikuasai oleh perasaan cemburu. Pandangan matanya terlihat suram, menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Lelaki itu kemudian memasuki lift dengan tergesa-gesa dan tanpa memperhatikan sekitarnya.
Clarissa sedang menikmati secangkir kopi di depan balkon kamarnya. Dia termenung memikirkan banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya. Clarissa mencoba bertahan, sesakit apapun dia harus tetap menjalaninya. Tanpa sadar Andrew memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku Clarissa, aku bisa jelaskan kejadian di kantor kemarin." Andrew masih terus memeluknya erat.
Clarissa memalingkan badannya, sehingga mereka saling berhadapan. Andrew menatap Clarissa dengan banyak pertanyaan di dalam hatinya.
"Siapa lelaki muda yang bersamamu tadi?" Andrew berusaha menahan kecemburuan yang menguasai hatinya.
"Dia Joe, lelaki yang menolongku di malam aku pergi dari kantormu," jawab Clarissa tanpa memandang wajah suaminya.
"Apa yang terjadi denganmu hingga dia harus menolongmu?" Tersirat ketidakpercayaan dalam pertanyaan Andrew.
"Malam itu Om Ferdinand mencoba melecehkan aku di jalan sepi dekat rumah kontrakan yang dulu. Kebetulan Joe sedang lewat jadi dia menolongku, dan membiarkanku menginap di villanya," tutur Clarissa.
"Apa!! Pria tua itu mencoba mengganggumu lagi? Apa kamu yakin tak ada hubungan yang spesial antara kamu dan pemuda tadi?" Andrew memberondong Clarissa dengan pertanyaan yang memojokkannya.
Tak pernah Clarissa menyangkanya, pertanyaan Andrew yang seperti itu seolah menyobek hatinya. Walaupun Clarissa pernah membuat sebuah kesalahan, dengan menjadi simpanan Ferdinand. Bukan berarti dia akan menjadi wanita murahan, yang akan berhubungan dengan setiap lelaki yang ditemuinya. Bagaimana mungkin lelaki yang dicintainya, telah meragukan kesetiaan cinta yang selama ini dia jaga. Clarissa menjadi gelap mata, seolah hatinya tertutup kabut yang sangat tebal.
"Apakah Mas Andrew baru akan mempercayai ku, jika aku melompat dari balkon ini?" Tatapan matanya terlihat menyedihkan dan penuh amarah.
"Sayang, jangan pernah lakukan itu. Jika kamu melompat, aku akan mengikuti mu melompat juga." Andrew menjadi ikut merasakan, bagaimana rasanya terluka.
Clarissa tak lagi menahan air matanya. Dibiarkannya air matanya mengalir lalu mengering. Clarissa tak menghapus setiap tetesan air mata, yang melukiskan betapa dalamnya dia terluka. Dia hanya memandangi lelaki di hadapannya tanpa sepatah katapun yang diucapkannya. Dibiarkannya keheningan menguasai kebersamaan pasangan, dalam ketidakberdayaan sebuah cinta yang mendalam. Bahkan sebuah ciuman penuh gairah, takkan mampu meluruhkan amarah yang sudah terbakar dengan kecemburuan yang mematikan.
Kediaman Clarissa seolah menjadi tamparan terhebat dalam hatinya. Andrew menahan sesak yang menguasai dadanya. Rasanya dia juga akan mati, jika Clarissa terus mendiamkannya dalam rasa bersalah yang hebat. Seolah bibir telah terkunci, terasa sangat berat mengucapkan sepatah kata wanita yang dicintainya. Tak cinta yang sehebat rasa cintanya terhadap Clarissa. Tak ada cinta yang seindah cinta Clarissa terhadapnya. Kesempurnaan cinta Clarissa terus menerus mengisi hatinya dengan kebahagiaan yang berlimpah.
Andrew memeluk Clarissa dengan sekuat tenaganya, walaupun itu pelukan yang lembut. Seakan tenaganya melemah bersama dengan amarahnya yang memudar.
"Sayang, aku percaya padamu. Mana mungkin kamu menjalin hubungan dengan anak SMA. Bolehkah aku sedikit menjelaskan, tentang kesalahpahaman yang membuatmu menjauhiku?" Andrew berusaha sekuat hati jujur pada istrinya itu.
Clarissa menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuannya. Andrew mengajaknya duduk di sofa di dekat balkon.
"Wanita yang kamu lihat kemarin adalah Nadine mantan pacarku. Dia adalah wanita yang mengajarkanku untuk berhubungan seks untuk pertama kalinya. Namun percayalah Sayang, walaupun sekarang Nadine berusaha menggodaku, di dalam hatiku hanya ada dirimu.Tak ada wanita lain di hatiku. Rasanya cintaku hanya untukmu. Bahkan seluruh nafas dan hidupku hanyalah milikmu seorang." Andrew mengakhiri ceritanya dengan ciuman yang menggairahkan pada istrinya.
Hati Clarissa menjadi luluh mendengar penjelasan suaminya itu. Dia mulai membalas setiap ciuman yang diberikannya. Mereka berdua terbakar dalam gairah yang sempat tertahan. Berbagai sentuhan lembut menyusuri setiap lekuk tubuh pada 2 manusia yang saling merindukan itu. Andrew mulai memainkan bulatan padat pada dada istrinya. Clarissa mendesah merasakan kenikmatan sentuhan yang Andrew berikan. Andrew berusaha melepaskan celana dalam di balik dress yang dipakai istrinya. Namun Clarissa mencegahnya.
"Berhentilah, Mas!" Suara Clarissa memecahkan gairah yang sudah di pucuk kepala.
"Ada apa Sayang?" tanyanya sedikit menahan kecewa.
"Aku sedang datang bulan," ucap Clarissa dengan dingin.
"Apa! Kenapa tak mengatakan dari tadi?" Andrew terlihat kesal.
"Biar itu menjadi hukuman untukmu Mas." Clarissa tersenyum puas melihat ekspresi kecewa Suaminya.
"Sayang, kamu tega mengerjai Suamimu ini?" tanya Andrew dengan muka memelas.
"Salah sendiri Mas Andrew penuh kecurigaan terhadap Clarissa," jawabnya.
"Asal kamu tahu Sayang, kecemburuanku seakan menjadi sebuah penyakit yang mematikan bagiku. Aku sangat ketakutan seperti menghadapi kematian." Andrew terlihat serius dengan perkataannya.
Clarissa hanya bisa menahan senyumnya mendengar pengakuan Suaminya. Andrew tak benar-benar marah terhadap istrinya. Malam itu Andrew terus saja memeluk Clarissa kedalam tidurnya. Dia tak membiarkan sedetikpun, Clarissa lepas darinya. Andrew takut Clarissa akan meninggalkannya, disaat matanya terpejam.
Happy Reading