Saat itu malam. Seperti khas Angloria, malam jauh lebih sunyi daripada saat siang, di mana begitu banyak pedagang dan orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan, menyelesaikan urusan masing-masing. Saat malam, jarang sekali ada orang yang mau keluar rumah karena ada begitu banyak hewan buas yang sering hilang kendali, sebagian besar memang karena terpengaruh sihir jahat yang sudah terjadi sejak sekian belas tahun lalu.
Namun malam ini berbeda. Hujan deras yang mengguyur Angloria tak menyisakan suara apapun, selain suara hujan. Sudah bisa dipastikan kalau tidak akan ada orang yang keluar rumah, karena dalam cuaca seperti ini lebih nyaman bergelung di atas kasur dan di bawah selimut hangat. Memang musim panas hampir berakhir, tapi malam sudah terasa dingin, apalagi ditambah hujan.
Di dalam sebuah rumah kecil, ada dua orang yang sedang duduk berhadapan di ruang tengah. Penerangan di sana cukup. Tidak terlalu terang tapi juga tidak terlalu remang bagikan hanya diterangi lilin.
Sepasang muda mudi tersebut tengah bercengkrama dengan ditemani botol wine yang sudah tersisa separuh di atas meja. Sesekali terdengar suara tawa renyah samar karena tertutup suara hujan. Mereka terlihat sangat akrab, tapi tak ada sorot cinta sama sekali di mata keduanya. Bisa dibilang mereka hanyalah teman akrab.
Setelah puas tertawa, sang wanita menghela napas panjang, berusaha mengatur napasnya yang habis. Tiba-tiba, sorotnya berubah. Dia menatap kedua tangannya di atas meja dengan sorot sendu. Mau tak mau, sikap tersebut menarik perhatian sang lelaki di depannya.
"Ada apa?"
Pertanyaan itu tak segera mendapat jawaban. Sang wanita hanya tersenyum lemah, lantas menggeleng pelan. Ekspresinya terlihat ragu. Namun dia segera mengambil keputusan. Tangannya mengepal erat.
"Aku punya permintaan padamu."
"Katakan saja. Aku akan membantu dengan senang hati jika memang bisa melakukannya," balas sang lelaki sambil tersenyum.
Sang wanita terdiam. Ada banyak kecemasan di dalam dadanya yang tak bisa dia ungkapkan. Dia tak ingin mengungkapkannya. Butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya bibirnya membuat celah kecil, sebelum akhirnya dia mulai berkata dengan suara pelan.
"Aku ingin punya bayi. Bukan dari panti asuhan yang bisa kuadopsi dan kurawat, tapi bayi dari rahimku sendiri." Ada pantulan kilatan cahaya lampu di matanya. Sorot yang selalu terlihat riang sehari-harinya, kini terlihat campur aduk. Ada sorot sendu, sedih, penuh harap, dan khawatir yang bercampur. "Maukah kau … membantuku?" Sang wanita menurunkan pandangan.
Hanya ada suara hujan yang terdengar setelah sang wanita selesai bicara. Suasana ruangan jadi terasa agak berat dan canggung. Dia tahu benar permintaannya tidak masuk akal. Tapi hanya ini yang bisa dia lakukan.
"Kita tidak perlu menikah. Aku tidak ingin uangmu juga. Aku punya tabungan sendiri untuk membesarkan bayiku nanti, dan aku janji tak akan membebanimu dengan apapun. Kau tak perlu bertanggung jawab sebagai ayahnya. Aku hanya … ingin punya anak…" lanjutnya lagi setelah pemintaannya tak mendapat balasan. Jantungnya berdegup semakin cepat, seolah menyalahkan dirinya kalau tindakannya sekarang sangat tidak pantas dan salah.
Semakin dipikirkan, dia merasa semua ini sangat konyol. Takut membuat segalanya jadi semakin kacau, akhirnya sang wanita tertawa dan menghela napas panjang. "Aku bicara apa, sih? Sepertinya aku mulai mabuk. Maaf, anggap saja yang barusan tidak pernah terjadi. Atau anggap saja tidak serius karena aku ma—"
"Tak masalah, aku bisa membantumu," sela sang lelaki pada akhirnya. Ekspresinya terlihat tenang, tak ada rasa jijik sama sekali atas permintaan konyol tak masuk akal yang diberikan padanya barusan.
"Sungguh? Kau tak perlu memaksakan diri kalau memang tidak mau."
"Ya. Toh, aku tak akan kehilangan apapun. Aku juga yakin kau bukan orang yang akan ingkar. Lagipula aku juga tak punya uang semisal kau suatu hari ingin minta tanggung jawabku," jawabnya lagi sambil terkekeh. Mungkin kalimatnya terasa sedikit tidak sopan dan menyinggung, namun sang wanita tak tampak keberatan. Malah dia terlihat senang karena mendapat jawaban positif.
"A—"
…
Eme terbangun karena sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah tirai jendelanya. Cericip burung terdengar di luar, menandakan datangnya pagi dan juga dimulainya waktu sibuk setiap warga Angloria. Dia mengedipkan mata hijaunya beberapa kali sebelum akhirnya bangun dan terduduk di sisi kasur.
"… Mimpi?"
Dia terlihat mengernyit dalam dan memegangi dahinya, seolah tak percaya dengan apa yang dia alami di dalam mimpi itu. Eme mencoba mengingat-ingat siapa lelaki yang ada di sana, namun ingatannya buram. Seperti kata orang-orang, mimpi selalu cepat terlupakan dari ingatan.
Eme pun menghela napas panjang, berusaha tak mempermasalahkannya lagi. Dia pun turun dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya serta sikat gigi.
Butuh waktu satu jam hingga dia selesai membersihkan badan hingga sarapan. Eme segera keluar dari rumah dan menuju sebuah bangunan yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Atau malah, hanya selisih dua rumah dari tempatnya berada.
Panti Asuhan Angloria adalah tempatnya bekerja sehari-hari. Sebenarnya, ibu angkatnya adalah pemilik tempat itu. Ibu angkatnya, Serena Iversen, adalah wanita yang tidak menikah dan hanya punya satu anak angkat, yaitu dirinya. Sebagai anak angkatnya, jelas Eme ditugaskan untuk menjaga panti asuhan tersebut sebagai pengawas atau manager. Dia tak perlu tidur di sana seperti para petugas panti, meski setiap hari Eme harus ke sana untuk mengurus banyak hal, termasuk bermain dengan anak-anak.
Hari ini pun tidak ada masalah. Begitu Eme masuk ke dalam bangunan, sambutan nyaring dari anak-anak kecil langsung menyerang telinganya. Para anak kecil itu menghampiri Eme secara serempak sambil mengucapkan salam selamat pagi. Eme hanya terkekeh melihat betapa anak-anak tanpa orang tua itu sangat bersemangat di pagi hari. Tentu saja, tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa yang baru saja datang minggu lalu, kini masih menyendiri di ruangan dan tak ikut menghampirinya bersama anak-anak lain. Sebuah pemandangan biasa yang sudah berada di luar kepala para penjaga panti.
Mille, penjaga panti asuhan berusia 20 tahun, lima tahun lebih muda daripada Eme, berjalan menghampiri sang pengawas dengan senyum lebarnya. "Selamat pagi, Nona Amy," sapanya dengan senyum riang seperti biasanya. Emeraldite memang biasanya dipanggil dengan nama Eme. Tapi karena pengucapan yang sedikit mirip, beberapa orang ada yang memanggilnya Amy alih-alih Eme, dan yang bersangkutan juga tidak terlalu keberatan dengannya.
"Pagi, Mille. Apa ada masalah semalam?"
"Semua aman terkendali, Nona!" jawabnya sambil meletakkan tangannya di pelipis, membentuk sikap hormat.
Pada akhirnya, Mille menyuruh anak-anak itu untuk kembali bermain dan tak mengganggu Eme yang baru saja datang. Mereka pun segera menghambur ke halaman dan bermain. Dalam sekejap, teriakan riang anak-anak pun memenuhi tempat itu. Eme hanya menghela napas dan tersenyum tipis melihatnya, sebelum akhirnya berjalan menuju ruangannya sendiri.
Biasanya, Eme tak bisa diganggu hingga makan siang. Dia sama sekali tak mengizinkan siapapun masuk ke ruangannya hingga makan siang, kecuali ada situasi mendadak. Dia bertugas mengurus dan memastikan bahan makanan di sana tak pernah habis, begitu pula peralatan lainnya. Tentu saja, untuk calon orang tua yang ingin mengadopsi salah satu anak-anak di sana harus menemuinya untuk proses akhir.
Baru saat makan siang, Eme akan keluar dari ruangannya dan bercengkerama dengan yang lain, meski suasana jadi sedikit sunyi karena anak-anak sedang tidur siang. Yah, itulah yang dia butuhkan, makan siang dengan tenang tanpa harus diganggu anak-anak yang mondar-mandir di sekitarnya dan membuat masalah, meski dia tak keberatan jika itu terjadi.
"Kau tahu, aku jadi mimpi aneh gara-gara kau," kata Eme pada Mille setelah selesai makan siang. Mereka berdua duduk di teras panti sambil melihat orang-orang yang sibuk di luar pagar bangunan.
"Mimpi aneh apa? Kenapa gara-gara aku?" balas Mille bingung. Rambut hitamnya yang dikuncir kuda bergoyang karena dia mendadak menoleh ke arah Eme, merasa kaget karena dituduh bersalah.
"Gara-gara beberapa hari lalu kau memberikan ide soal punya anak itu." Eme menghela napas. Kakinya diselonjorkan, sementara punggungnya bersandar pada dinding di belakangnya.
"Oh. Yah, mau bagaimana lagi, 'kan? Nyonya Serena tak mempebolehkanmu dekat dengan laki-laki, apalagi menikah. Semua lelaki yang dekat denganmu dan nyaris mengajakmu menikah semuanya kabur karena ditentang habis-habisan olehnya. Kalau kau sungguh ingin punya anak, hanya itu caranya. Tapi risikonya, mungkin kau akan dianggap murahan."
"Apapun selain dianggap murahan." Eme menghela napas.
"Lagipula, kenapa Nyonya Serena melarangmu dekat dengan laki-laki? Kau sudah umur 25 tahun, harusnya tak perlu khawatir dengan laki-laki! Kau sudah dewasa! Masa' iya Nyonya Serena mau menikahkanmu dengan sesama wanita? Tidak masuk akal!" Mille di sebelahnya menggerutu, tak paham dengan sikap Serena yang selalu menentang setiap hubungan Eme dengan laki-laki, sebaik apapun mereka.
"Memangnya kenapa kau ingin punya anak? Di dalam kan ada banyak. Kenapa tidak pilih satu saja dan bawa pulang?" lanjut Mille. Dia berkata seolah anak-anak panti asuhan itu adalah barang yang bisa diambil dan dibawa pulang kapan saja. Tentu saja, kalimatnya barusan menghasilkan satu cubitan di pipi oleh Eme. Tak ada yang boleh bicara seperti itu. Bisa berbahaya jika terdengar orang lain dan dijadikan bahan fitnah untuk menutup panti asuhan ini.
Eme menekuk lututnya dan memeluknya. Angin di penghujung musim panas menerpa, membuat rambutnya bergoyang lembut.
"Aku ingin punya keluarga. Aku merasa tak pernah tahu rasanya keluarga itu seperti apa. Aku tidak ingat apapun masa laluku sebelum aku bertemu ibu angkatku sekarang. Tentu saja, aku juga ingin menikah, tak hanya ingin punya anak. Tapi mendapat larangan keras untuk dekat dengan laki-laki saja sudah membuatku jadi malas untuk menikah."
Mille yang menatapnya, kini ikut menghela napas berat. Dia kesulitan memahami perasaan Eme karena dia masih punya keluarga. Jika tidak sedang kebagian jaga panti asuhan, dia akan pulang, kembali ke rumah orang tuanya. Makanya, dia hanya bisa diam karena tak ingin semakin menyakiti perasaan Eme. Alih-alih, dia kepikiran sesuatu, jadi langsung mengubah topik.
"Jadi? Mimpi apa yang kaulihat semalam?" Kini dia terlihat tertarik dan bersemangat. Mimpi apa kira-kira yang dialami oleh Eme karena sarannya itu?
"Hmm, aku sudah lupa sebagian besarnya. Aku hanya ingat sedang bersama laki-laki dan membahas soal … yah, kau tahu," balas Eme sambil mengusap tengkuknya. Pipinya merona, agak malu mengatakannya.
Mendengarnya, mata Mille langsung berbinar. Dia langsung mencondongkan tubuhnya mendekat pada Eme demi mendesaknya lebih jauh. "Laki-laki? Kau ingat wajahnya? Siapa dia? Tampan, tidak?"
Tangan Eme secara otomatis terulur dan mendorong dahi Mille agar tak terus mendekat ke arahnya. "Mana kuingat. Saat bangun pun aku sudah tak ingat bagaimana, apalagi sekarang. Uh, menjauhlah dariku. Kau terlalu dekat, Mille."
"Ho ho, apa itu berarti kau secara tidak sadar sudah setuju dengan saranku? Kau bahkan sudah me—"
"Permisi. Panti asuhan, benar?"
Seseorang mendadak menyela ketika Mille sedang bicara pada Eme. Mereka berdua pun segera terdiam dan menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat seorang pria yang menggendong anak kecil yang sedang tidur—atau tidak sadarkan diri? Entahlah—sedang bicara pada mereka berdua. Eme dan Mille pun mengangguk pelan, mengiakan kalau tempat ini memang panti asuhan.
Mereka mulanya kaget, hingga hanya bisa terdiam sambil menatap tamu di luar pagar. Sampai akhirnya Eme yang sadar buru-buru menyikut pinggang Mille, membuatnya segera berdiri karena kaget. Mungkin orang itu berniat mengantarkan seorang anak yatim piatu untuk dirawat di panti asuhan mereka. Hal seperti ini sudah sering terjadi, tak peduli apapun alasannya. Berada di lingkungan bersama bangsawan, mereka tak punya hak untuk menolak siapa yang dibawa ke tempat mereka.
Mille buru-buru menyambut dan mempersilakan orang itu masuk. Eme pun mengikuti di belakangnya. Dia bisa mendengar kalau pria tersebut bercerita ada kejadian kebakaran rumah di kota sebelah, dan anak yang dia bawa adalah satu-satunya korban selamat. Kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran, membuatnya menjadi anak yatim piatu.
Eme bisa melihat noda gosong pada tubuh anak tersebut. Bajunya juga rusak karena ada yang sedikit terbakar. Untungnya tidak ada luka bakar sama sekali di tubuhnya, sehingga Mille hanya perlu mengganti pakaiannya sementara. Baru setelah anak itu bangun, mereka bisa memandikannya agar bersih.
Prosesnya tidak memakan waktu lama. Setelah membiarkan Mille sibuk mengurus anak yang baru datang, Eme bertugas mengantar pria itu saat akan kembali. Pakaiannya rapi, tidak seperti pakaian orang-orang biasa. Mungkin dia adalah bangsawan.
Eme membungkuk sedikit ketika pria itu beranjak pergi. Ketika Eme akan berbalik dan masuk, ekor matanya menangkap sesuatu, seperti sosok yang familiar. Langkahnya berhenti seketika.
Pria yang membawa anak yatim piatu ke tempatnya tadi menghampiri seseorang yang sedang berdiri di bawah pohon sambil menyilangkan tangan di depan dada. Orang itu adalah lelaki dengan rambut hitam dan pakian yang rapi, namun terlihat lebih santai daripada orang yang datang barusan.
Eme merasa seolah ada sesuatu, hingga dia menatap sang lelaki di bawah pohon cukup lama. Dia tak tahu apa yang menarik perhatiannya, padahal Eme sama sekali tidak mengenalnya. Namun dia merasa seperti pernah berjumpa. Ada satu hal dalam diri pria itu yang terasa sangat tak asing baginya, namun entah bagian mana, Eme tak ingat sama sekali.
Mungkin karena Eme terlalu lama memandangnya, pria itu tersadar dan kini menatap ke arahnya. Eme yang kaget langsung bersikap kikuk dengan wajah merona. Meski pria itu tersenyum ke arahnya, tapi ada rasa takut dan panik di dalam dadanya. Bagaimana jika pria itu adalah bangsawan dan tindakannya barusan dianggap tidak sopan?
Eme ingin pergi menghampirinya dan meminta maaf, menjelaskan kalau dia sama sekali tidak bermaksud tidak sopan. Namun begitu dia melihat ke arah bawah pohon, sudah tidak ada siapapun di sana. Bahkan orang yang mengantar anak yatim piatu ke panti asuhannya pun juga tidak ada.
Hela napas panjang lolos dari celah bibir Eme. Bodoh sekali dia hari ini.