Setelah mengembuskan napas panjang, Eme memutuskan kembali ke dalam panti asuhan, berniat melihat keadaan anak baru yang masih diurus oleh Mille. Dia tidak menyangkal jika merasa sedikit cemas karena khawatir setelah hal barusan. Eme melangkahkan kakinya menuju kamar tidur khusus yang isinya hanya satu ranjang. Setelah membuka pintunya perlahan, dia melihat Mille sedang membasuh kotoran di wajah dan tubuh sang anak kecil dengan handuk basah.
Ruangan itu memang ditujukan bagi anak-anak baru yang keadaannya belum memungkinkan untuk ditempatkan bersama anak-anak lainnya, seperti saat ini. Jelas tidak mungkin Eme meletakkannya di ruangan tempat semua anak tidur. Dia pasti akan kebingungan ketika bangun, atau malah sebelum bangun, anak-anak penghuni panti sudah mengganggunya karena penasaran. Khas anak kecil yang selalu ingin tahu hal-hal asing di depan mereka.
Melihatnya, Eme menghela napas diam-diam. Mau tak mau, dia berpikir apakah dulunya dia juga seperti ini. Biar bagaimanapun, dia tak ingat siapa orang tuanya. Dia hanya punya satu ibu angkat, dan ibunya hanya bercerita singkat bagaimana bisa mengangkatnya sebagai anak. Beliau hanya bercerita kalau melihatnya terkapar setelah insiden yang menewaskan kedua orang tuanya. Karena kasihan, beliau pun merawatnya sebagai anak sendiri setelah Eme selesai mendapat pertolongan pasca insiden. Mau tak mau, dia harus percaya karena Eme sama sekali tak ingat apa yang terjadi pada hari itu.
Lamunannya pun terusik oleh Mille yang sudah selesai dan berdiri di depannya, bermaksud keluar dari ruangan namun terhalang olehnya yang berdiri di tengah pintu.
"Oh, maaf." Eme segera menyingkir dan mempersilakan Mille lewat, keluar dari ruangan. Setelah Mille keluar, Eme menutup pintu perlahan, memastikan anak yang ada di dalam sana tidak terbangun karena suaranya.
Sembari membawa baskom dengan handuk di dalamnya, Mille berjalan menuju ruang cuci. Tanpa Eme sadari, dia melangkah mengikuti Mille. Ada banyak pikiran di kepalanya. Eme baru sadar kalau dia sudah berada di ruang cuci setelah mendengar suara air yang dibuang.
"Mille, menurutmu orang yang tadi kemari adalah bangsawan?"
Tanpa mengalihkan pandangan dan tak berhenti dari kegiatannya, Mille menjawab, "Entahlah. Dari pakaiannya mungkin iya. Memangnya kenapa?" Seolah tersadar akan sesuatu, Mille membelalakkan matanya dan menutup mulutnya dengan tangan, kemudian berbalik menghadap Eme. "Jangan-jangan kau tertarik padanya dan memutuskan untuk mengejarnya dan memintanya menghamilimu? Lupakan, lupakan. Kalau dia bangsawan, lebih baik kau—"
"Bukan itu!" seru Eme dengan pipi merona karena terkejut dengan jawaban temannya. Berani-beraninya dia bicara sevulgar ini padanya!
"Ssh! Jangan teriak, nanti anak-anak bangun!" Mille panik karena teriakan Eme barusan menurutnya cukup keras untuk membangunkan para anak-anak yang sedang tidur siang. Eme yang kaget pun menutup mulutnya dengan tangan karena kaget, tak menyangka suaranya bisa sekeras itu.
Mereka berdua diam, berusaha mendengarkan suara apapun—derit ranjang, derit pintu, suara anak-anak, apapun—di tengah hening tersebut. Setelah yakin anak-anak tidak ada yang terbangun, barulah mereka berdua menghela napas lega.
"Kau gila, ya! Jangan bicarakan soal menghamili begitu, kalau ada yang dengar bagaimana?!" seru Eme kembali dengan suara berbisik-bisik. Dia masih kesal dengan pikiran tidak rasional dari temannya barusan.
Mille hanya meringis geli. Dia juga sadar kalau salah bicara dan keceplosan, sehingga dia meminta maaf agar tak semakin membuat Eme marah. Bisa gawat kalau sungguhan marah dan menaruh dendam padanya. Bisa-bisa Mille kehilangan pekerjaan dan tak dapat penghasilan lagi.
"Lalu kenapa tanya soal itu? Kalaupun iya, kurasa dia tidak terlalu tampan sampai membuatmu tertarik, benar, 'kan?"
Eme kembali menghela napas panjang. Bisa tidak, sih, temannya ini tidak melulu membahas soal laki-laki dan hubungan romansanya? Eme bahkan sudah terlalu lelah untuk menceramahinya, sehingga dia mendengus dan memutar matanya, berusaha mengabaikan gadis yang terlalu terobsesi itu.
"Di luar tadi, aku melihat ada orang lain yang menemaninya. Aku merasa pernah melihatnya entah di mana, tapi tak yakin. Aku tak sengaja melihatnya cukup lama. Kalau benar mereka bangsawan, bisa saja sikapku dianggap tidak sopan, lalu aku jadi kena masalah."
"Mungkin saja bangsawan dan kau pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi kau jarang bertemu langsung dengan bangsawan, bukan?" Mille mulai berpikir serius. Kalau nantinya Amy akan kena masalah sungguhan, dia juga akan pusing, karena masalah pada Amy, maka panti asuhan ini akan kena masalah juga. Dia jelas tak ingin panti asuhan dibubarkan hanya karena pengawasnya membuat bangsawan kesal.
Eme mengangguk. "Di gereja, aku hanya berdiskusi dengan pendeta."
Sebagai pengurus panti asuhan, secara otomatis Eme sering berhubungan dengan gereja sebagai pihak yang menyalurkan dana dari bangsawan. Seingatnya, dia tak pernah hadir dalam rapat bersama bangsawan saat di gereja. Jadi dia sangsi pernah melihat wajah itu di sana.
"Kau sudah tanya siapa nama orang tadi?" tanya Eme, berusaha menyelidikinya lebih jauh. Apabila mengetahui namanya, dia bisa mencari tahu dan menanyakannya pada orang-orang yang dia kenal. Sayangnya, ekspresi Mille setelah mendengar pertanyaannya membuat Eme berubah masam. Dia bisa melihat senyum canggung di wajah Mille, yang dia artikan Mille tak sempat menanyakan nama orang yang datang barusan.
"Yah, berharap saja mereka bukan bangsawan. Jangan terlalu dipikirkan, nanti cepat tua," balas Mille ringan.
Lagi-lagi Eme menghela napas. Pasti menyenangkan jadi seseorang yang jarang memikirkan masalah dalam hidupnya seperti Mille. Eme jelas kepikiran, tak peduli apapun yang dia lakukan untuk menenangkan dirinya. Tapi memang tidak ada yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Kecuali dia mau mengitari seluruh kota dan bertanya ke semua orang, yang sayangnya itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Dia tak ingin semakin menambah kesalahpahaman yang berisiko membahayakan dirinya sendiri.
…
Dua hari setelahnya, Eme sama sekali tidak mendengar apapun soal bangsawan yang merasa tersinggung oleh pekerja di panti asuhan. Sebelum ini, dia jadi waswas saat malam hingga kesulitan tidur. Bahkan warna hitam kini muncul samar di bawah matanya, membuat heran beberapa penjaga panti asuhan yang lain.
Sudah dua hari berlalu dan tidak ada apapun yang berpotensi membahayakan dirinya, jadi mungkin benar seperti kata Mille, kalau Eme harus mengabaikannya dan tak perlu dipikirkan lagi. Bisa jadi orang yang dia lihat di bawah pohon saat itu memang bukan bangsawan. Kalaupun memang iya, Eme lebih baik berhenti berpikir yang tidak-tidak. Siapa tahu orang tersebut tak keberatan. Biar bagaimanapun, Eme masih melihat senyum di wajah pria tersebut saat terakhir kali pandangan mereka bertemu.
Eme menarik napas panjang dan menepuk pipinya pelan. Punggungnya ditegakkan sebelum dia berjalan keluar dari panti asuhan.
Hari ini dia harus pergi ke toko yang menjual bahan makanan, karena persediaan di panti asuhan sudah menipis. Eme selalu berkunjung ke toko sendiri setiap tiga hari sekali untuk membeli makanan seperti telur dan daging, kemudian disimpan di ruangan bawah tanah. Untuk roti, dia sudah meminta orang mengantar roti setiap dua hari sekali agar mengurangi roti yang berjamur karena terlalu lama disimpan.
Eme mengenakan pakaian terusan berwarna biru muda. Rambut coklatnya diikat longgar dan disampirkan di bahunya, membuatnya tampak segar, walaupun ada ekspresi lelah yang samar di wajahnya akibat susah tidur.
Di sepanjang jalan, cukup banyak orang yang menyapa ketika dia lewat. Karena sering lewat di sana, Eme mengenal beberapa dari mereka, khususnya yang sering dia kunjungi untuk membeli sesuatu.
Seorang wanita tua menyambut Eme ketika dia berhenti di depan tokonya. Toko itu khusus menjual telur, sementara di sebelahnya menjual sayuran. Biasanya Eme akan berhenti di toko telur dulu, baru bergeser hingga semua daftar belanjanya habis terbeli. Nantinya dia akan menyuruh orang untuk mengantar semua belanjaannya ke panti asuhan karena dia tak bisa membawanya sendiri.
Teriknya penghujung musim panas tak mengurangi kegiatan orang-orang di Angloria. Malah orang-orang terlihat bersemangat seperti biasanya. Suara-suara orang yang melakukan transaksi jual beli bisa terdengar di sana seperti biasanya. Hanya saja, tak lama setelah Eme meninggalkan toko telur, dia mendengar teriakan. Semua orang menoleh ke asal suara, yang ternyata ada seseorang tengah berteriak setelah kantong uangnya diambil pencopet.
Tempat itu pun jadi ramai seketika. Orang-orang saling beteriak untuk menghentikan si pencopet, namun belum ada yang berhasil menangkapnya. Kebetulan, saat Eme menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria dengan wajah tertutup topi sedang berlari kencang ke arahnya.
Untuk sesaat, Eme berpikir menghentikannya karena dia tepat berada di depannya. Sekadar mengeluarkan kaki untuk menjegalnya atau mendorong tubuh pria tersebut ke samping mungkin akan sangat membantu. Tapi akal sehatnya segera bekerja, melarang dirinya melakukan tindakan bodoh. Tidak ada yang tahu jika pria tersebut membawa senjata tajam atau tidak. Tak ada jaminan pula Eme tidak terluka setelah mencoba menghentikannya. Sehingga, dia langsung menyingkir ke samping, membuat pria itu lewat begitu saja. Terlambat sedikit saja, mungkin bahu Eme tersenggol, dan dia akan tersungkur di atas jalanan.
Setelah dia berpikir dirinya aman dan membiarkan orang yang lebih ahli untuk mengejar pencopet, ternyata sesuatu menabraknya keras dari belakang. Tubuh Eme pun terdorong, yang untungnya, mengenai orang lain di dekatnya dan tak sampai jatuh langsung ke tanah. Eme dan orang yang ditabraknya seketika jatuh bersamaan. Meski begitu, ada rasa sakit di pantatnya dan telapak tangan karena digunakan untuk menahan tubuh di tanah penuh batu kerikil.
Rintihan kesakitan dan seruan orang-orang yang kaget bisa didengarnya, begitu pula orang-orang yang panik. Belum sempat Eme melihat sekitar, sebuah suara terdengar.
"Nona! Maaf, aku tidak sengaja!"
Eme tahu benar kalau seseorang yang menabraknya pasti orang yang ingin mengejar pencopet, jadi dia tak terlalu mempermasalahkannya. Dia tak bisa marah-marah karena ditabrak hingga jatuh dan terluka. Yang bisa Eme lakukan hanyalah melihat asal suara.
Matanya melihat ketika orang itu baru akan berbalik dan kembali berlari mengejar sang pencopet. Kedua mata Eme pun membelalak, karena dia ingat dan yakin orang tersebut mirip seperti orang yang berdiri di bawah pohon di depan panti asuhannya tempo hari. Dari kejauhan, dia melihat pakaiannya hanya sekadar kemeja coklat dan celana panjang, pakaian yang sering dijumpai orang-orang di jalanan.
"Ah, tunggu!" serunya secara refleks. Sayangnya, orang itu kembali menghilang secepat datangnya, sama seperti terakhir kali, meninggalkan Eme yang melongo di tempat. Meski ingin mengejarnya untuk meminta maaf, tak ada yang bisa Eme lakukan sekarang. Larinya tidak cepat. Apalagi dia harus berdiri dari sana dan memeriksa tubuhnya yang terluka.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya wanita paruh baya di sebelahnya. Dia mengulurkan tangannya pada Eme dan membantunya berdiri. Terdengar rintihan kesakitan di antara orang-orang yang jadi korban domino jatuh kali ini.
"Terima kasih," balas Eme lirih.
"Akhir-akhir ini entah kenapa, sepertinya angka kejahatan jadi bertambah."
"Benar. Aku dengar dari penjaga kota kalau akhir-akhir ini angka kejahatan naik dua kali lipat dari biasanya, mereka juga jadi sangat sibuk. Katanya bangsawan juga mulai ada yang tidak senang. Ada apa, ya?"
Dari tempatnya, Eme samar-samar mendengar orang-orang yang sedang mengobrol mengenai kejadian kali ini. Mendengarnya, entah kenapa jadi teringat dengan Marcus, anak lelaki yatim piatu korban kebakaran yang dibawa ke panti asuhannya dua hari lalu. Mungkinkah rumah Marcus yang kebakaran juga ada hubungannya dengan angka kejahatan yang naik akhir-akhir ini?
Eme memutuskan menghela napas dan menggeleng. Imajinasinya terlalu tak bisa diatur. Lebih baik dia tak memikirkan hal-hal seperti itu agar tak jadi rumor. Angka kejahatan yang naik bukanlah urusannya. Dia juga hanyalah warga sipil biasa yang tak punya tanggung jawab melindungi orang banyak seperti halnya penjaga kota atau bangsawan yang menguasai Angloria. Memikirkan hal yang tak perlu bisa membuatnya menua lebih cepat, seperti kata Mille.
Setelah membersihkan pakaiannya yang agak kotor, secara kebetulan ada salah satu pendeta dari gereja yang dia kenal berjalan tak jauh darinya. Eme buru-buru menyapa dan menceritakan hal yang baru saja terjadi, sekalian merajuk agar pendeta tersebut mau mengobati lukanya meski hanya luka kecil.
Di dunia ini, beberapa orang memiliki kekuatan sihir spesial, termasuk orang-orang yang menjadi pendeta. Kekuatan sihir itu dinamakan Magia. Para pendeta biasanya bisa menyembuhkan orang dengan magia yang dimilikinya. Ilmu kedokteran di sini belum ada. Semua pengobatan hanya dilakukan melalui magia dan ramuan sebagai obat.
"Lain kali hati-hati," ucap pendeta sambil mengobati tangan Eme yang terluka, sementara Eme hanya meringis seolah tak bersalah.
"Ya sudah, aku pergi dulu."
"Terima kasih, Tuan Lauren."
Eme baru akan kembali meneruskan acara belanjanya, ketika Lauren, yang sudah mulai berjalan menjauh, kini kembali lagi dan berujar dengan nada dalam dan sedikit keras, "Mau apa kau?"