Eme agak kaget dengan suara bentakan di belakangnya. Belum sempat dia berbalik, terdengar suara seseorang merintih kesakitan, suara laki-laki.
Karena merasa aneh, Eme buru-buru berbalik dan melihat seorang pria yang tangannya sedang dipelintir oleh Lauren. Sementara di tangan yang dipelintir, masih ada kantong uang yang sangat Eme kenali. Dia pun segera berseru dan merampas kantongnya kembali dan disimpan baik-baik di dalam tas.
Rupanya orang itu berniat mencuri uangnya! Jika saja Tuan Lauren tidak menyadarinya, mungkin semua uangnya habis, dan anak-anak di panti asuhan akan kelaparan karena Eme tak punya uang untuk membeli bahan makanan.
"Periksa lagi, pastikan barangmu tidak ada yang hilang," kata Lauren sambil tetap memelintir tangan si pencuri, lalu meletakkannya di punggung, seperti petugas keamanan memperlakukan para kriminal. Eme mengangguk dan buru-buru membuka tasnya, memilah-milah barang di dalamnya sambil mengingat apa saja yang dia bawa selain kantong uang.
"Tidak ada yang hilang," balasnya sambil menghela napas lega.
Pria berumur 42 tahun itu pun mengangguk. Kini alisnya tertaut rapat, sambil tangannya semakin memelintir tangan si pencuri sampai mengaduh kesakitan. Tak mau menunggu lama, dia menggiringnya pada petugas keamanan yang terlihat berlari ke arah mereka dari kejauhan. Seseorang yang menyadari pasti sudah melapor barusan.
Eme memegang kantong uangnya semakin erat. Dia mulai merasa ragu untuk lanjut belanja kebutuhan sehari-hari karena khawatir. Bagaimana tidak khawatir jika sudah terjadi tindakan pencurian dua kali di tempat yang sama dan jangka waktu yang sebentar? Bahkan kerumunan sepuluh meter dari Eme yang membicarakan pencopetan pertama pun belum bubar, tapi sudah ada kasus pencurian yang baru. Ada apa sebenarnya?
Pada akhirnya, sambil memegang erat kantong uangnya, Eme berjalan ke toko-toko dan hanya meminta agar dikirimkan daging dan bahan makanan lainnya ke panti asuhan seperti biasanya. Dia tak memilih bahan makanannya sendiri seperti biasa, alih-alih meminta penjaga toko untuk menyiapkannya, lantas pergi ke toko lainnya.
Kegiatan belanja yang biasanya menghabiskan waktu hingga dua jam, kini hanya selesai dalam waktu 30 menit. Eme buru-buru berjalan pulang kembali ke panti asuhan, tak ingin berada lebih lama di daerah pertokoan.
Adele, gadis berambut coklat berusia 22 tahun, yang bertugas menjadi penjaga panti asuhan hari ini, kebingungan ketika melihat Eme kembali dengan wajah pucat. Sambil mengernyitkan alis, dia bertanya, "Kenapa wajahmu pucat begitu? Seperti baru dikejar serigala."
Serigala adalah hewan liar yang sering ditemukan di Angloria karena letaknya dekat hutan. Sesekali, serigala yang masuk ke lingkungan manusia, entah karena tersesat atau mencari makanan, akan menggegerkan para penduduk. Jadi istilah dikejar serigala sudah bukan jadi hal yang aneh.
Eme pun menceritakan semuanya, dari kejadian pencopetan pertama hingga dirinya yang nyaris menjadi korban kedua, termasuk menceritakan tidak memilih bahan makanan dengan benar dan langsung pulang karena takut menjadi korban lagi jika berada di sana satu detik lebih lama.
"Kau juga harus bati-hati kalau pergi sendirian. Kurasa mereka benar, soal tingkat kriminal yang semakin naik akhir-akhir ini. Aku tak pernah melihat ada pencurian yang terjadi di satu tempat berturut-turut hanya dalam selang waktu 10 menit." Eme meletakkan tasnya dan merapikan rambut di depan cermin. Luka di tangannya yang sudah sembuh sepenuhnya pun diperiksa lagi, lantas mencucinya agar memastikan bersih.
"Kau juga. Malah kurasa kau lebih berisiko karena tinggal sendiri di rumah."
"Sejauh ini kurasa belum ada kasus rumah dibobol, jadi mungkin aku akan baik-baik saja." Dia berjalan ke arah kamar anak-anak, memeriksa jika mereka semua sungguhan tidur, bukannya pura-pura, lalu diam-diam bermain tanpa ketahuan oleh petugas panti asuhan.
"Belum pernah bukan berarti tidak akan terjadi. Nyonya Iversen masih belum kembali dari Leiden?"
Adele jelas tidak perlu khawatir karena dia sudah memiliki suami. Di rumah pun dia tak akan pernah sendirian dan ada suami yang menjaganya jika terjadi apa-apa. Berbeda dengan Eme yang tinggal sendirian meski ibunya sedang tidak keluar kota. Memang, sebagai pemilik panti asuhan, Nyonya Iversen cukup berpengaruh di Angloria, meski pengaruhnya tak sebesar yang dimiliki bangsawan. Namun itu saja bukan jaminan Eme bisa aman berada sendirian di kota ini.
Eme menggeleng pelan. "Belum. Di rumah, aku punya banyak pisau. Tenang saja, tidak akan ada yang terjadi padaku," katanya sambil mengedipkan sebelah mata, seolah sedang menghibur temannya, padahal dia sendiri yang berada di posisi tidak aman saat ini.
Sebenarnya, bohong jika Eme mengatakan tidak khawatir. Jelas dia khawatir dengan keadaan kota ini sekarang. Segalanya seolah berubah drastis dalam semalam. Kemarin bahkan dia tak merasakan banyak perubahan di sini. Dia juga masih bisa bepergian dan belanja dengan tenang tanpa dihantui rasa takut menjadi korban kriminal. Tapi hari ini semuanya bagaikan jungkir balik. Melihat dua tindakan pencopetan berturut-turut bukan hal menyenangkan untuk dijadikan kenangan. Jika hari ini saja Eme sudah melihat dua tindakan kriminal, tidak ada yang menjamin jika keesokan harinya pencopetan bisa berubah menjadi pembunuhan yang dilakukan secara terang-terangan.
Biar begitu, tak banyak hal yang bisa dia lakukan. Eme tak bisa pindah dari Angloria karena semua tanggung jawabnya ada di sini. Dia sudah bukan remaja usia belasan yang masih bisa berpikir meninggalkan tanggung jawab karena impuls.
Mungkin mulai besok aku akan membawa pisau lipat saja untuk jaga-jaga, batinnya.
Eme akan pulang dari panti asuhan menuju rumahnya sendiri pukul lima sore, setelah memastikan petugas yang akan berjaga di panti sudah datang. Terkadang, dia akan mampir ke kedai yang juga sebuah bar untuk mengisi perut jika bahan makanan di rumahnya sedang habis. Tadi siang, dia ingin mampir ke kedai. Tapi karena merasa kondisi kota sedang tidak aman, Eme mengambil beberapa bahan makanan dari panti dan dibawa pulang untuk dimasak sendiri di sana.
Salah satu pilihannya agar tetap aman dan selamat adalah menghindari tempat seperti kedai ketika sore hari menjelang malam. Mungkin dia akan mampir saat hari masih terang. Meski ada tindakan kejahatan di sekitarnya, setidaknya ada banyak orang yang melihat.
Dengan ide seperti itu, keesokan harinya Eme kembali pergi ke pasar dan belanja bahan makanan ditemani oleh pendeta yang kebetulan berkunjung ke pantinya untuk memberikan hiburan, berupa cerita dongeng, pada anak-anak.
Dari pendeta itu, dia mendengar macam-macam laporan kriminal yang terjadi selama satu hari setelah kejadian di pasar. Untungnya belum ada korban pembunuhan yang muncul.
Kegiatan Eme yang seperti ini berlangsung selama nyaris dua minggu, karena rupanya dua hari belakangan kota dalam keadaan aman. Tak ada satu pun laporan kejahatan yang terjadi selama dua hari, kata salah satu pendeta di dekat pantinya. Mengetahuinya, orang-orang, maupun Eme, mulai mengendurkan kewaspadaan. Mereka tak lagi merasa khawatir berjalan-jalan sendiri di tempat ramai maupun sepi, karena mereka pikir masalah utamanya sudah ketemu.
Karena bahan makanan di rumahnya kebetulan habis, sementara Eme juga tidak pergi ke pasar untuk belanja, dia memutuskan pergi ke kedai yang merangkap bar di dekat rumahnya begitu pekerjaan di panti selesai.
Saat itu pukul enam sore. Karena saat musim panas siang lebih panjang daripada malam, jadi langit masih terang seperti pukul empat sore. Eme berjalan santai menuju kedai yang berjarak 100 meter dari rumahnya. Begitu masuk ke dalam, tempat tersebut cukup ramai oleh pengunjung. Asumsinya, orang-orang yang sempat malas keluar rumah karena waswas, kini sudah berani meninggalkan rumah untuk sekadar makan.
Di dalam, Eme disambut oleh Tuan Finn sang pemilik kedai. Suara nyaringnya terdengar begitu Eme membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian menarik satu kursi di meja kecil yang hanya diperuntukkan dua orang.
"Paman, sandwich omelet seperti biasa, ya!" seru Eme dari tempatnya.
Sembari menunggu pesanannya tiba, Eme membuka buku kecil yang dia simpan di saku. Sebelum membaca, dia menyempatkan mengedarkan pandangan ke seluruh kedai. Hari ini ramai sekali. Bahkan tempat duduknya tersisa sedikit. Jika ada lima orang lagi yang datang, maka satu orang bisa dipastikan tak akan mendapat tempat duduk jika belum ada tamu yang pergi. Kecuali orang itu mau duduk di bangku kosong di mejanya.
Berusaha tak memedulikannya, Eme membaca buku saku yang dia bawa. Dia sangat fokus sampai-sampai tak mendengar suara lain, seolah berada di dunianya sendiri. Suara lonceng akibat pintu yang terbuka pun diabaikannya. Sampai anak gadis Tuan Finn mengantar makanan ke mejanya, barulah Eme menutup buku dan mulai makan.
Makanan di kedai ini adalah salah satu favoritnya. Makanya, Eme sengaja menyempatkan diri makan kemari seminggu dua kali setelah memastikan semua bahan makanan di rumahnya habis. Masa-masa mencekam nyaris dua minggu lalu yang membuatnya tak bisa kemari karena takut, rasanya sudah terbayar dengan enaknya masakan Tuan Finn.
Mungkin melihat Eme makan dengan lahap dan mata berbinar, sang pemilik kedai meminta anaknya mengantarkan kue pencuci mulut pada meja Eme. "Servis kedai untukmu," kata anak gadis Tuan Finn sambil tersenyum pada Eme.
"Gratis? Sungguh? Terima kasih banyak!" Eme melirik pada pemilik kedai, dan dia bisa melihat Tuan Finn meringis lebar. Apakah ini suap agar Eme lebih sering datang kemari sebagai ganti rugi dua minggu sebelumnya?
Eme masih belum selesai menikmati makanannya ketika terdengar bunyi denting lonceng kecil, pertanda ada orang yang masuk. Dia pun melihat sekitar, dan ternyata semua kursi sudah penuh kecuali kursi yang ada satu meja bersamanya. Eme hanya mengedikkan bahu, merasa tidak keberatan jika orang tersebut memilih duduk di depannya.
Pelanggannya adalah lelaki. Eme bisa melihat orang itu berjalan melewati tempatnya duduk dan melihat sekitar sambil menggaruk tengkuk. Jelas sekali jika dia nampak kebingungan.
Setelah beberapa saat, lelaki itu berbalik dan melihat kursi kosong di depan Eme. Dia menarik kursinya dan sedikit membungkuk untuk meminta izin agar diperbolehkan duduk di sana.
"Nona, boleh aku duduk di—ah."
Mendengarnya, Eme meletakkan garpu dan pisaunya lalu melihat ke atas, pada orang yang bicara dengannya. Jelas dia tak keberatan jika harus berbagi meja dengan orang lain. Tapi apa yang keluar dari mulutnya tak sesuai apa yang dia rencanakan. Sepasang mata hijaunya juga membelalak kaget.
"Kau…!"