"Aku ingin menikahimu."
"Aku akan melamarmu di depan ribuan penonton konsermu. Apa kamu keberatan?"
"Hubungan kita akan berakhir bahagia seperti sebuah drama romantis. Aku sangat tidak sabar menunggu hari pernikahan kita."
Kenangan manis itu seakan menguap bersama angin yang menerpa wajah Rose.
Rose berharap jika semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi waktu berjalan sejak tadi dan ia belum juga terbangun sementara air matanya telah mengering.
"Apakah hubungan kita akan berakhir dengan cara seperti ini?" Gumam Rose, air matanya kembali menetes menahan rasa sesak yang kembali menyeruak dalam hatinya.
Rose masih duduk melamun di atas balkon kamarnya, sendirian membayangkan semua kenangan indahnya bersama dengan Rayhan, kepedihan hatinya belum menghilang, ingatan bagaimana Rayhan meneriakinya dan mendorongnya hingga terjatuh masih terus berputar dalam kepalanya.
"Apa kakimu sudah terasa lebih baik?" Tanya William yang datang secara tiba-tiba dengan membawa selimut untuk menutupi tubuh Rose.
Angin berhembus cukup kencang terlebih karena langit mendung dan mulai gerimis tapi Rose tatap betah duduk di balkon kamarnya sejak satu jam yang lalu sementara William sebelumnya meninggalkannya setelah mengoleskan obat dipergelangan kaki Rose karena William tahu Rose sedang bersedih jadi ia tidak ingin mengganggunya tadi.
Rose tidak menjawab membuat William memutuskan untuk kembali meninggalkan Rose sendirian tapi sebelum itu ia menyempatkan diri untuk berjongkok dan melihat kondisi kaki Rose yang ternyata kembali membengkak.
"Jika kamu marah padaku, apa kamu akan meneriakiku dan mendorongku juga?" Tanya Rose tanpa terduga.
Pertanyaan Rose secara tidak langsung mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dengannya, William tidak mengira jika kekasih Rose memiliki perangai yang kasar membuatnya merasa kesal seketika.
William mengangkat kepalanya dan menatap Rose yang masih memandang lurus kedepan dengan pandangan kosong.
"Tidak akan." Jawab William dengan pasti sambil menyentuh punggung tangan Rose yang sudah sangat dingin.
"Dia cemburu padamu, tapi aku tidak bisa menyalakan dirimu agar rasa kecewaku padanya menghilang. Bagaimana jika aku tidak dapat memaafkannya?" Tanya Rose lirih, suaranya terdengar tertahan.
William tahu Rose sedang menahan air matanya dan membuat tubuh Rose bergetar.
William tidak dapat menanggapi ucapan Rose dengan kata-kata selain hanya dapat membawanya kedalam dekapannya dan memeluknya erat.
Dalam pelukan William, Rose akhirnya kembali menangis walaupun ia tidak membalas pelukan William.
Sekarang William dapat memastikan jika Rose sangat mencintai kekasihnya, ia sangat terguncang saat ini tapi itu malah membuat William semakin ingin melindungi Rose.
Perlahan William melepaskan pelukannya, ia menyeka sisa air mata yang membasahi pipi Rose.
"Sudahlah jangan menangis lagi, nanti hujannya tidak mau berhenti." Goda William membuat Rose akhirnya menyunggingkan senyuman walaupun raut wajahnya masih bersedih.
"Jika aku berhenti menangis apa hujan juga berhenti? Oh ayolah aku bukan anak usia lima tahun yang dapat kamu bodohi dengan dongeng konyol itu." Celoteh Rose membuat William terkekeh pelan.
"Tapi kamu sama menggemaskannya dengan anak usia lima tahun." Goda William sambil mencubit kedua pipi Rose pelan.
"Aku memang menggemaskan sejak lahir." Sahut Rose yang akhirnya dapat tertawa.
"Sepertinya aku harus hati-hati agar tidak jatuh cinta denganmu." Sahut William menggoda.
"Memangnya kamu belum jatuh cinta padaku?"
Oh Hujan, William tidak sengaja mengatakan jika ia belum mencintai Rose berbeda dengan alasan awal William melamarnya ya walaupun semua itu adalah ulah Jackson tapi William tidak bisa mengelak dan hanya dapat mengikuti alur yang telah Jackson buat dan kini dengan bodohnya ia mengaku.
William hanya dapat mengatupkan bibirnya rapat dan memasang wajah tegang, berharap Rose tidak bertanya lebih lanjut.
"Wajahmu sangat menggemaskan jika seperti ini. Apakah kegemasanku telah menular padamu?" Canda Rose, setidaknya rasa sakit hatinya sedikit berkurang jika ia bergurau dengan William karena memang wajah William memang sangat menggemaskan saat ini, jauh berbeda dengan William yang pertama kali ia lihat.
"Asal itu bukan cinta, maka aku tidak masalah tertular apapun darimu." Gumam William dalam hati.
Ia merasa senang karena Rose sudah mulai tersenyum bahkan tertawa walau tidak lepas.
"Kamu sudah merasa lebih baik sekarang?" Tanya William mengalihkan pembicaraan.
"Hatiku atau kakiku?" Rose balik bertanya.
"Keduanya."
"Semuanya sakit tapi untuk sekarang kakiku sepertinya membutuhkan pertolongan lebih lanjut karena bagaimanapun aku harus tetap melangsungkan konserku walau aku sedang patah hati."
William mengangguk tanda mengerti "Istriku sangat profesional." Gumam William seraya mengangkat tubuh Rose dan menggendongnya dan membawanya pergi meninggalkan balkon .
"Kita belum menikah!" Protes Rose.
"Ya tapi kita akan menikah." Jawab William tidak mau kalah.
"Jangan terlalu percaya diri nanti kamu patah hati."
"Tidak akan sayang, aku sudah mengatakannya sejak awal kita bertemu. Kita pasti akan menikah."
Mendengar ucapan pasti William membuat Rose kembali terdiam berpikir, mungkinkah ia dan William akan berjodoh lalu bagaimana dengan Rayhan?
Rayhan, ia sangat mencintai Rayhan tapi Rayhan bersikap kasar padanya membuatnya merasa takut jika sewaktu-waktu Rayhan akan melakukan kesalahan yang sama.
Rose sendiri memiliki rasa trauma akan teriakan yang kencang karena sewaktu kecil kedua orangtuanya selalu meneriakinya dan bersikap kasar padanya dan apa yang Rayhan lakukan tadi padanya membuatnya mengingat kembali rasa traumanya yang sudah lama sekali tidak muncul semenjak ia sukses menjadi seorang superstar dan mendapatkan banyak cinta dan dukungan.
"Mau keman kita?" Tanya Rose ketika William menurunkan tubuhnya diatas kursi mobil samping kemudi dan dengan lembut memasang sabuk pengaman untuk Rose.
"Mengobati kakimu." Jawab William.
William begitu perhatian padanya, bahkan William menyempatkan diri untuk membetulkan poninya.
"Aku akan mengobati hatimu setelahnya." Ucap William sambil tersenyum sebelum menutup pintu mobil dan melangkah menuju kursi kemudi.
"Mengobati hatimu..." Kalimat itu seperti obat penenang yang meredakan rasa sakit hati yang membuat dada Rose sesak sejak tadi.
Oh sadarlah Rose, jangan membuat apa yang Rayhan pikiran menjadi sebuah kenyataan. Kamu bukanlah seorang penghianat, tenanglah dan jangan goyah hanya dengan kebaikan William.
"Ada apa? Nafasmu sesak?" Tanya William setelah menyadari jika Rose tengah mengatur nafasnya sambil menepuk-nepuk dadanya.
Rose yang hanyut akan pikirannya sendiri tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang William katakan hingga ia menjawab "Iya." Tanpa berpikir panjang.
"Apa kamu punya riwat penyakit asma?" Tanya William memastikan.
"Tidak, selain kaki dan hatiku yang lainnya baik-baik saja dan juga sangat sehat." Jawab Rose dengan cepat.
"Lantas mengapa kamu seperti kehilangan nafasmu? Kamu gugup karena aku terus memperhatikanmu? Mau aku berikan nafas buatan sayang?" Goda William.
"Jangan gila, aku baik-baik saja!" Pekik Rose kesal.
"Biar aku pastikan." Ucap William seraya mencondongkan tubuhnya mendekat membuat Rose seketika menahan nafasnya.
Oh ayolah, jangan ciuman lagi, doa Rose dalam hati karena ia tidak ingin termakan pesona William yang jelas-jelas sengaja menggodanya.
Tapi diluar dugaan, William tidak menciumnya dan malah tersenyum manis semanis permen kapas sebelum akhirnya kembali duduk tegak dan mulai mengemudikan mobilnya.
Rose dapat bernafas lega kini, setidaknya ia tidak ingin membiarkan dirinya termakan buaian William.
"Kuatkan iman mu Rose!" Doa Rose dalam hati.
....