Morgan sesaat merasakan tidak bisa membedakan antara kenyataan dengan khayalan, semuanya terasa menyatu dalam pandangannya saat ini. Morgan merasa bingung, ia melirik tangannya yang digenggam erat oleh Michelle, tidak ada lagi jejak tangis di wajah wanita itu, ia terlihat tidak menderita sama sekali, wanita itu tersenyum lembut ke arahnya.
Ada sesuatu yang salah, tapi entah kenapa semakin Morgan memikirkannya, semakin ia merasa bingung.
"Dear, ayo pergi denganku. Kita punya rumah yang hangat dan nyaman seperti di Blue Moon."
Suara Michelle sangat lembut dan menghanyutkan, seolah disetiap suaranya mengandung kekuatan membuat Morgan semakin sulit membedakan dirinya dengan Giselle.
"Dear ...."
Dear adalah panggilan kesayangan Giselle untuk Morgan, entah apa maksud saudari kembarnya itu memanggil pasangannya seperti itu. Michelle tersenyum dengan lembut, ia menyentuh wajah Morgan, membelainya dengan perlahan lalu turun ke dada laki-laki itu.
"Blue Moon?"
Bayangan packnya sebelum dibantai terlintas di benaknya, rumah-rumah kayu tinggi yang berdiri dengan gagah, pohon-pohon yang menjulang di atas atap-atap rumah mereka, serta api unggun yang menyala di tengah-tengahnya, mereka terkadang bernyanyi dan saling memanggang daging, berkumpul dengan penuh kekeluargaan.
Morgan merindukan suasana hangat itu.
"Ya, kita bisa membangun pack kita kembali." Michelle menyahut dengan mantap, di matanya tidak ada keraguan sama sekali.
"Pack? Membangun kembali?" tanya Morgan lagi-lagi dengan bingung.
Dalam benaknya sekelebat khayalan masa depan yang pernah ia rancang bersama Giselle melintas dan berputar-putar, Morgan memijit pelan kepalanya.
Michelle tersenyum, ia mengangguk dengan pelan, langkahnya membawa Morgan ke suatu tempat menuju padang ke dekat air terjun yang besar, ada tanah landai dan terdapat sebuah rumah berdiri tak jauh dari sana, berdiri diapit bebatuan bukit yang terhubung dengan air terjun.
Morgan sesaat terpana.
"Ini ...."
"Ini adalah rumah impian kita, apakah kau ingat?"
Ini adalah rumah impiannya dengan Giselle, Lunanya itu sangat menyukai air terjun, ia menjanjikan jika mereka akan membangun sebuah rumah di masa depan yang jauh dari ras lain, hidup tenang aman dan damai menikmati hari-hari mereka bersama-sama, membesarkan anak dan saling mengasihi sepanjang hidup mereka.
Itu hanya impian yang sederhana.
"Masuklah, Dear."
Michelle menuntun tangan Morgan memasuki rumahnya, laki-laki itu sama sekali tidak terlihat fokus, matanya bergulir ke sana kemari, ia melihat batu-batuan putih yang tersebar di tanah, mengelilingi sebuah batu lempeng berwarna hitam abu-abu yang digunakan sebagai jalan menuju rumah, ia juga melihat bunga-bunga cantik kesukaan Giselle tertata rapi di sana, ketika kakinya melangkahkan ke tangga, ia melihat alas kaki rajut yang dibuat Giselle, di atas kepalanya ia juga melihat hiasan di atas pintu yang mengeluarkan bunyi gemerincing ketika tertiup angin, itu juga benda yang dibuat oleh Giselle.
Semua ini adalah milik Giselle.
Morgan hampir kehilangan kewarasannya, setiap ia terus membiarkan dirinya diseret oleh Michelle, setiap itu pula ia merasa beban di pundaknya semakin memberat.
Rumah ini terlalu mengingatkannya dengan Giselle, Morgan seolah melihat bayangan Giselle yang semakin lama semakin nyata di depannya.
Michelle membawa Morgan ke ruang tengah, ia mendudukkan laki-laki itu di sebuah sofa, ia melepas pegangan tangannya dengan pelan.
"Aku akan membuatkan kamu sesuatu, tunggu sebentar."
Morgan hanya mengangguk, ia mengendus pelan, aroma tubuh Giselle bahkan menguar di seluruh rumah ini, seolah-olah sosok itu benar-benar pernah tinggal dan hidup di dalam rumah ini.
"Aku tidak bisa berpikir," keluhnya.
Morgan menyandarkan tubuhnya di kursi, ia memejamkan matanya sejenak, semua ini terlalu memabukkan, rasa rindu yang terlalu mendalam pada Giselle membuatnya merasa tidak ada yang lebih baik lagi selain tetap di sini.
"Giselle."
Michelle yang sedang di dapur melirik Morgan yang berbaring di sofa, ia tersenyum samar, tangannya bergerak membalik daging yang ada di panggangan dengan hati-hati.
"Ya … Dear? Kamu perlu sesuatu?"
Michelle datang dengan langkah ringan ke arah Morgan, ia membawakan minuman dan makanan yang biasanya dibuat oleh Giselle untuk Morgan, laki-laki itu tertegun sejenak, ia mendongak dan melihat Michelle dengan mata yang penuh kerinduan.
"Ada apa, Dear?" Michelle duduk di samping Morgan, ia menyentuh wajah laki-laki itu kemudian memeluknya dengan lembut, ia merasakan tangan Morgan balas memeluk pinggangnya dengan erat.
"Giselle …."
"Aku ada di sini, Morgan."
"Giselle …."
"Ya, Morgan. Ini aku," kata Michelle dengan lembut, ia mengusap-usap rambut Morgan penuh kasih dan memejamkan matanya.
Morgan menenggelamkan wajahnya di leher wanita itu, mencoba menumpahkan semua rasa rindu yang bersarang di hatinya, ia mengerang pelan.
"Syukurlah ini kamu … aku pikir aku tidak bisa melihatmu lagi."
Michelle tersenyum. "Kita akan bersama-sama mulai sekarang."
"Aku takut, kupikir itu nyata, kau mati di depanku." Morgan bergumam pelan dengan suara yang serak, matanya memerah berusaha menahan tangisnya.
Michelle memejamkan matanya, ada rasa benci terlihat di wajahnya, namun ia segera menepisnya dan kembali memeluk Morgan. "Aku di sini, aku hidup, bersamamu."
Morgan meneteskan air matanya, ia mengangguk dengan kaku, ketika Michelle melepaskan pelukan mereka Morgan duduk diam dan menatapnya dengan lekat.
"Kita akan terus bersama-sama," lanjut Michelle lagi sambil menggenggam erat kedua tangan Morgan dan membawanya ke dadanya, ia tersenyum lembut.
Morgan menganggukkan kepalanya pelan, Michelle kemudian mengajak Morgan untuk makan dan minum buatannya, dua orang itu terlihat seperti keluarga bahagia dalam satu waktu. Michelle terus bertingkah seolah ia adalah Giselle di mata Morgan, meniru semua tingkah laku saudarinya untuk Morgan, hingga laki-laki itu memejamkan matanya dan jatuh tertidur di sofa.
Michelle meregangkan tubuhnya, ia melangkah keluar dari rumah menuju air terjun, melompat masuk ke dalam gua yang ada di balik air terjun itu, wanita itu melihat seorang laki-laki berkulit kecoklatan tengah mengasah pisaunya di atas batu.
"Dear … bagaimana kabarnya?"
Laki-laki itu terkekeh pelan, ia memeluk Michelle dan mendengus ketika merasakan ada aroma serigala lain di tubuhnya.
Laki-laki itu benci aroma ini.
"Dia tidak terlalu baik," ucap laki-laki itu sambil menyentuh tubuh Michelle dengan mata yang penuh damba. "Dia tidak bangun dari pingsannya sejak tadi."
Michelle menepis tangan yang mulai meraba-rabanya, ia tidak terlalu terkejut dengan keadaannya, ia menarik dirinya dari pelukan laki-laki itu dan melangkah pelan menuju bagian gua yang menurun ke bawah, di tempat lembab dan gelap, matanya yang besar itu berkedip ketika melihat seorang bocah manusia yang terikat dengan rantai jatuh terkulai di tanah.
"Apa yang ingin kau lakukan berikutnya?" tanya laki-laki itu dengan suara yang menggoda.
Michelle terkekeh pelan, ia menepuk pelan kepala pasangannya. "Ratu menginginkan kepalanya, bukan? Mari kita bawa ke hadapannya besok."