Chereads / Back To love You✓ / Chapter 5 - 느낌- Feeling?

Chapter 5 - 느낌- Feeling?

Perlahan, Ga Eun mengerjapkan beberapa kali matanya yang tampak berat itu. Dengan pandangan yang masih nampak kabur. Ga Eun berusaha menatap langit - langit dinding ruangan ini.

Semuanya tanpa asing. "Dimana aku?" suara Ga Eun terdengar serak.

Dengan sejumlah upaya. Ga Eun berhasil memposisikan tubuhnya untuk bersandar pada sofa hitam ini. Kepalanya terasa pusing dan berat. Pasti akibat semalam ia terlalu banyak minum.

Matanya mulai menyelidiki setiap sudut rumah berukuran besar yang nampak sepi ini. Tidak ada orang di manapun, bahkan tanda-tanda kehidupan tidak terasa di rumah ini.

"Dimana aku?" tanya Ga Eun lagi yang masih heran dan bingung dengan keberadaannya yang menjadi misteri.

Setelah berhasil mengumpulkan nyawanya. Ga Eun memutuskan untuk menyelidiki rumah besar ini. Ia berjalan perlahan, menyusuri semua ruangan demi ruangan.

Bahkan, ia memeriksa semua pintu kamar yang ada, hanya untuk memastikan jika ada orang di rumah besar ini, meskipun terkunci. Tapi hasil pencariannya sia-sia. Tak ada siapapun di rumah besar ini.

"Apa jangan-jangan..." ucapan Ga Eun terhenti sejenak. Jantungnya berdegup sangat kencang, pupil matanya bergerak cepat, dan rasa takut mulai menyeruap dalam dirinya.

"Aku pasti di culik!" pekik Ga Eun cukup kencang.

"Penculik itu pasti membawaku dalam keadaan mabuk ke rumah ini lalu, ia menyekap ku dan sekarang ia sedang pergi... dan ketika penculik itu kembali, ia akan memutilasi ku" ujar Ga Eun takut.

Mata Ga Eun semakin melebar, saat pikiran-pikirannya yang belum pasti itu semakin menjadi-jadi. "Ia akan menjual organ tubuhku, dan aku akan berakhir mati mudah di rumah ini..."

"Tidak!, itu tidak boleh terjadi!"

Sadar dengan situasinya yang belum pasti, wanita itu mendekap mulutnya dan secara perlahan ia berjalan mundur.

Pikiran negatif yang memenuhi kepalanya, mulai membuatnya merasa takut. Ga Eun langsung berlari menuju ruang tamu , mengambil tas jinjing yang biasa ia gunakan dan dengan langkah kaki tergocar-gacir Ga Eun berusaha untuk keluar dari rumah ini.

Baru saja tangannya akan memutar kenop pintu utama,  sosok siluet yang entah wanita atau pria muncul dari sisi kirinya, membuat bulu kuduk Ga Eun merinding seketika.

Siluet itu bergerak menuju ke arahnya. Rasa takut semakin menjadi-jadi dalam diri Ga Eun. Ia tidak ingin mati mudah, apa lagi dengan cara di mutilasi.

Setidaknya takdir harus memberikannya kesempatan untuk jatuh cinta lagi dengan seseorang, berkencan, menikah, punya anak dan melihat cucunya.

Ia tidak bisa mati seperti ini, dan ia tidak mau mati seperti ini.

Keringat dingin mulai bercucuran di pelipis Ga Eun. Tangannya yang sudah memegang kenop pintu terasa sangat kaku untuk di gerakan. Ia takut, jika salah mengambil langkah maka penculik itu akan langsung menikamnya dari belakang.

Setidaknya, ia harus melihat wajah penculik ini, dengan begitu ia bisa membalas dendam. Menghantui penculik ini, sampai penculik yang tidak punya hati nurani ini menyesal.

Tapi, semua ke khawatiran yang muncul di benak Ga Eun tak kunjung terjadi. Malahan, ia merasakan siluet itu berjalan melewatinya.

Takut-takut, Ga Eun dengan perlahan memalingkan wajah pucat pasi-nya, mencari sosok siluet tersebut.

Baru sepertiga wajahnya memutar ke belakang. Suara yang amat familiar membuat alis Ga Eun saling bertautan.

"Jika kau sudah sadar, kau bisa pergi dari rumahku" terang pria itu datar.

Ga Eun memalingkan tubuhnya ragu-ragu. Matanya mulai menatap sosok pria yang berada di dapur itu, pakainya terlihat sangat rapi.

"Jeon Jung Kook?" panggil Ga Eun tak percaya.  Matanya mengerjap beberapa kali memastikan jika pria yang saat ini tengah sibuk di dapur itu benar-benar Jung Kook, cinta pertamannya.

Tak ada jawaban dari Jung Kook. Pria itu sibuk menyeduh kopi hitam kesukaannya.

Ga Eun berlari kecil menghampiri Jung Kook. Mata hitam pekatnya, memandangi wajah Jung Kook ragu.

"Kau... benar Jeon Jung Kook?" tanya Ga Eun ragu.

Jung Kook hanya menoleh menatap Ga Eun sejenak lalu, kembali fokus menyeduh kopi hitamnya sambil sesekali menuangkan air hangat ke dalam wadah saringan kopi.

Awalnya Ga Eun terlihat ragu untuk bertanya tapi, karena penasaran Ga Eun memberanikan dirinya untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada pria yang dijuluki Ace Boy ini.

"Kenapa... aku bisa berada di rumahmu?" tanya Ga Eun penasaran dan terdengar ragu.

"Haruskah, aku menjelaskannya padamu?, bukannya kau bisa berfikir sendiri?" tanya balik Jung Kook sinis.

Ga Eun terkejut dengan jawaban Jung Kook. Ia tahu pria ini dingin sangat dingin malah. Tapi, bukankah sikap Jung Kook ini keterlaluan?. Apa sulitnya memberikan jawaban saat seseorang bertanya.

"Aku tahu... aku mabuk semalam, tapi... kenapa kau malah membawaku kemari? seharusnya kau mengantarku pulang ke rumah Bibiku."

Jung Kook yang sedari tadi tidak menghiraukan Ga Eun karena malas. Dengan kasar meletakan teko air panasnya.

Ia mendesah ringan. Mata coklat tajamnya memandangi Ga Eun dengan kesal. "Aku tidak ingin membuat keluarga Eun Bi salah paham, apa lagi Eun Bi... sebentar lagi dia akan menjadi istriku, apa yang akan dipikirkan keluarganya saat melihat aku membawamu dalam keadaan mabuk?" Jelas Jung Kook panjang lebar.

Jung Kook melipat kedua tangannya. "Aku ingin sekali meninggalkanmu di sana!" ucap Jung Kook serius. "Tapi, karena aku punya hati nurani, makanya aku membawamu ke sini." ucapnya lagi malas.

Ga Eun terlihat sedih dengan ucapan Jung Kook barusan. Bukan karena wanita itu mengharapkan sesuatu dari Jung Kook. Ia hanya, sudah lupakan. Lebih baik ia pergi, dari pada harus sakit hati di pagi cerah ini. 

"Terima kasih, karena sudah membiarkanku menginap semalam disini." ujar Ga Eun mengakhiri perbincangan mereka.

Ga Eun sendiri bingung, apa yang sebenarnya ia harapkan dari pertanyaan yang ia ajukan pada Jung Kook barusan.

Sudah jelas, Jung Kook hanya terpaksa, jika bukan karena itu tidak mungkin pria itu membiarkannya tidur semalaman di atas sofa. Padahal pria itu punya 3 kamar di rumah besarnya ini.

Bisa saja, Jung Kook membiarkan Ga Eun tidur nyenyak di salah satu kamar yang ia miliki. Bukannya di atas sofa yang malah membuat tubuh Ga Eun terasa pegal-pegal.

***

Ruang tamu berukuran minimalis yang hanya selebar delapan meteran lebih menjadi pilihan bagi Ga Eun untuk merenung. Ditemani secangkir jus melon dingin yang telah disiapkan oleh Sena beberapa saat lalu.

Sudah hampir 20 menitan Ga Eun duduk menyendiri di sana. Wanita itu terlihat bergumam sendirian dan sesekali memukul kepalanya ringan saat memori tentang kejadian di acara makan malam perusahaan kembali menghantui pikirannya.

"Aku pasti sudah gila!"

Ia tahu, aneh rasanya jika masalah seminggu lalu masih menjadi bahan pikirannya hingga sekarang. Tapi, bagi Ga Eun itu bukan hanya masalah biasa.

Ga Eun, tidak tahu dimana ia bisa menyembunyikan wajahnya. Ia malu, sangat malu. Bagaimana jika Jung Kook berfikir aneh tentangnya.

Atau lebih parah, Jung Kook akan menganggap Ga Eun gila, karena masih menyimpan perasan padanya hingga saat ini.

7 tahun telah berlalu, dan Ga Eun masih tidak bisa melupakan Jung Kook. Pria itu, ibarat bayangan yang selalu menghantui hatinya.

Padahal Ga Eun sendiri paham betul, pria itu menolaknya. Jeon Jung Kook, tidak akan pernah menyukainya. Seharusnya Ga Eun sadar, tidak akan pernah ada tempat baginya di hati Jung Kook.

Hembusan nafas berat Ga Eun, menarik Bora dan Sena yang sebelumnya memberi ruang sendiri bagi Ga Eun untuk merenung. Kini, ikut bergabung.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sena khawatir. Ia duduk di sisi kiri Ga Eun.

"Apa kau masih memikirkan masalah yang sama?" Bora menyentuh pundak Ga Eun. "Sebaiknya kau lupakan itu Ga Eun.." bujuk Bora untuk sekian kalinya.

"Lagi pula, menyatakan perasaan bukanlah hal yang salah, kita bisa menyukai siap pun dan masalah tidak bisa move on itu hal yang biasa." jelas Bora menyakinkan dengan nada semangat.

Ga Eun menatap sahabatnya bergantian. Memang benar yang di ucapkan Bora. Siapa yang bisa menyalahkan perasaan seseorang. Menyukai seseorang bukanlah dosa.

"Ini minum dan dinginkan kelapa serta hatimu." ujar Sena menyodorkan gelas berisi jus melon yang masih penuh.

"Ne" jawab Ga Eun. (Iya.)

Setelah Ga Eun merasa tenang dan terbebas dari rasa bersalah akibat peryataan perasaan yang tak terduga itu. Mereka bertiga berbincang-bincang ringan, menghabiskan waktu yang jarang sekali bisa mereka rasakan saat usai bekerja.

Sampai langit sore yang sebelumnya mengisi apartemen berukuran sedang ini berganti menjadi langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.

"Kau, masih akan menginap'kan Ga Eun?" tanya Bora yang baru selesai mandi.

"Menginap saja Ga Eun" usul Sena sedikit memaksa.

Sekitar 5 hari yang lalu, Ga Eun sering menginap di apartemen sahabatnya ini. Alasannya, karena Ga Eun ingin menghindari pertemuannya dengan Jung Kook di rumah Bibinya.

"Ga Eun... menginap lagi saja" usul Bora setelah wanita itu mengeringkan rambut coklatnya. "Kita bisa mengobrol banyak, seperti beberapa hari yang lalu."

"Atau... tinggal saja bersama kami." usul Sena lagi senang, sembari memasang wajah memelas ke arah Ga Eun yang hanya di tanggapi ulasan senyum.

Ga Eun berfikir sejenak. Mungkin, ada baiknya jika ia tinggal bersama sahabatnya sampai hari pernikahan Eun Bi dan Jung Kook.

Dengan begitu, ia tidak perlu melihat Jung Kook setiap malam datang ke rumah. Ia juga bisa mengobrol banyak dengan kedua sahabatnya ini.

Membagi beban, cerita dan hal lainnya bersama. Bukankah itu terasa menyenangkan?.

Baru saja Ga Eun ingin menjawab usulan dari kedua sahabatnya yang sedang menanti jawaban darinya, ponselnya tiba-tiba berdering. Panggilan telepon itu dari Eun Bi.

" Halo?"

"Ga Eun, hari ini bisakah kau pulang?, aku butuh kau di rumah."

"Ada apa?"

"Pulang saja, cepat ya." ucap Eun Bi mengakhiri.

Bora dan Sena yang sejak tadi memperhatikan Ga Eun, buru-buru bertanya mengenai hal yang terjadi.

Ga Eun menggaruk tengkuk lehernya. "Sepertinya, hari ini aku tidak bisa menginap..."

"Kenapa?" tanya Bora dan Sena berbarengan. Raut wajah kecewa terpancar dari wajah kedua sahabatnya.

"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di rumah, aku harus pulang sekarang" jelas Ga Eun tak yakin.

Ia membereskan beberapa barangnya yang sempat berceceran di atas kasur miliki Bora, memasukannya ke dalam tas. Lalu, berangsur berjalan menuju pintu dan berpamitan dengan kedua sahabatnya yang ikut mengantar kepergiannya sampai ke halte bus terdekat.

"Akan ku pertimbangkan untuk tinggal bersama kalian." ucap Ga Eun menghibur.

"Janji?" tanya Bora dan Sena sambil mengacungkan jari kelingking mereka ke hadapan Ga Eun.

"Janji" sahut Ga Eun. Wanita itu lalu masuk ke dalam bus yang baru saja tiba di perhentian. Sesekali Ga Eun melambaikan tangannya pada kedua sahabatnya yang masih berdiri di halte bus.

***

Ga Eun yang sebelumnya telah mempersiapkan diri dengan keberadaan Jung Kook di rumah Bibinya, malah terlihat tambah tidak tenang. Saat tahu, pria yang sebentar lagi menjadi suami Eun Bi akan menginap semalam di rumah ini.

"Menginap?" tanya Ga Eun masih tak percaya.

Bibi Ahn membenarkan ucapan Ga Eun dengan beberapa kali anggukan ringan. "Besok, hari ulang tahu Eun Bi." ucap Bibi Ahn mengingatkan sambil mengelus pundak putrinya.

"Eun Bi, ingin Jung Kook menginap semalam disini, supaya besok bisa merayakan hari ulang tahun bersama." jelas Bibi Ahn dengan senyum yang tidak pudar-pudar.

Ga Eun mengerti. Jung Koo pasti ingin menghabiskan harinya bersama Eun Bi. Merayakan ulang tahun kekasihnya yang sebentar lagi akan berganti status sebagai istrinya.

Kepala Ga Eun terlihat beberapa kali mengangguk ringan. Seandainya, Eun Bi tidak menghubunginya dan meminta agar ia pulang hari ini. Ga Eun pastikan, ia tidak ingin berada di rumah ini.

Berada dalam situasi canggung yang entah akan seberapa canggung nantinya.

"Oh iya... di telepon tadi, kau bilang... kau membutuhkan aku, apa yang kau butuhkan?" tanya Ga Eun sambil menatap Eun Bi.

Eun Bi tersenyum sekilas. "Karena Jung Kook akan menginap... bolehkan aku menggunakan kamarmu?"

"Tentu saja... kau boleh tidur di kamarku"

"Bukan aku, tapi Jung Kook" sela Eun Bi cepat.

"Jung... Jung Kook?" tanya Ga Eun kaget.

Eun Bi berjalan mendekati Ga Eun, yang masih berdiri tepat di ambang pintu masuk. "Kau tahu kan, bagaimana kamarku?, aku tidak mungkin membiarkan Jung Kook melihat kamar berantakan milikku." ucapnya menjelaskan.

"Kau punya kamar yang bersih, dan nyaman untuk di gunakan. Kau bisa tidur denganku saat Jung Kook menggunakan kamarmu."

Pembicaraan mereka yang belum usai harus terhenti saat suara bel pintu rumah berbunyi. Jung Kook yang baru bisa datang karena urusan pekerjaan, kini berdiri di depan pintu utama.

Sambil berlari ringan, Eun Bi membuka pintu yang hanya berjarak tiga meter dari posisinya berdiri. Senyumnya mengambang saat melihat wajah Jung Kook muncul dari bilik pintu utama yang berwarna hitam pekat itu dengan setelan kemeja kantor yang belum sempat ia ganti.

Ga Eun buru-buru menyingkir dari depan pintu menuju ke samping Bibi Ahn yang saat ini menyambut hangat kedatangan menantunya.

"Selamat malam BiBi..." sapa Jung Kook ramah.

"Malam menantu Jeon..." tawanya terdengar sangat lepas. "Karena Jung Kook sudah datang, ayo kita makan, sebelum makannya dingin." usul Bibi Ahn semangat sambil mengirim mereka semua ke arah meja makan.

Baru berjalan beberapa langkah, Ga Eun memutuskan untuk berhenti tepat pada sisi anak tangga. "Bibi... aku ke kamar dulu masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." ujar Ga Eun beralasan.

"Kau tidak ikut makan?, Nanti kau sakit" tanya Bibi Ahn khawatir.

Ga Eun menggeleng ringan. "Tidak Bi, aku kenyang. Lagi pula, aku sudah makan di rumah sahabatku." ucap Ga Eun beralasan lagi.

Ia hanya tindak ingin makan satu meja dengan Jung Kook, meskipun cacing di perutnya sudah mengadakan demo besar-besaran di dalam perutnya.

"Kalau begitu, Bibi akan menyisihkan makanan untukmu, jika kau lapar kau bisa langsung makan." ucap Bibi Ahn perhatian.

"Ne. Terima kasih Bi."

Ga Eun buru-buru menuju kamarnya yang terletak di lantai 2 rumah ini. Baru beberapa langkah ia menaiki anak tangga yang cukup besar ini, Eun Bi memanggilnya.

"Bolehkan Ga Eun?" tanyanya lagi memastikan kesedian Ga Eun untuk meminjamkan kamarnya.

Ga Eun tersenyum sekilas. "Oh... tentu saja boleh." Jawabnya sedikit ragu sejenak.

Setelah mengakhiri perbincangan dengan Eun Bi, Ga Eun kembali menaiki anak tangga. Mengunci diri dalam kamar, dan dengan kasar membanting tubuhnya di atas ranjang berukuran sedang itu.

Memikirkan Jung Kook akan tidur di kamarnya membuat Ga Eun dengan sigap mengunci semua lemari yang ada. Menyimpan beberapa barang yang ada di atas meja kerjanya ke dalam laci agar tak terlihat.

Meskipun ia ragu, apakah Jung Kook akan mengutak-atik barangnya nanti. Tapi ia tidak peduli, waspada itu lebih baik.

***

Malam terasa sudah sangat larut sekali, perut Ga Eun yang sejak tadi menahan lapar, kini tak bisa ia tahan lagi. Bahkan sakit mag yang ia rasakan mulai menjalar di dalam perutnya. Perih.

Ditambah, tidur di lantai yang hanya beralaskan kantung tidur, membuat perut Ga Eun terasa sangat tidak nyaman.

Alasan mengapa Ga Eun tidur di kantor tidur dan bukannya di kasur Eun Bi karena ranjang Eun Bi tidak terlalu besar dan juga wanita setinggi 160 cm itu tidak bisa berbagi ranjang dengan seseorang.

Oleh karena itu, Ga Eun memutuskan untuk tidur hanya beralaskan kantor tidur miliknya yang pernah ia gunakan semasa kemah dulu.

Perlahan, Ga Eun keluar dari kantung tidurnya, dan berjalan berjinjit menuju pintu kamar. Setelah sampai di sana, ia memutar kenop pintu secara perlahan agar tidak membangunkan Eun Bi yang sudah tertidur pulas.

Buru-buru Ga Eun menuju arah dapur saat ia sudah berhasil keluar dari kamar Eun Bi yang letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya.

Tangannya bergerak membuka lemari atas. Lalu, mengambil mangkuk nasi dan mengisi mangkuk tersebut sampai penuh.

"Bisakah kau menyiapkan segelas air untukku?" tanya Jung Kook saat pria itu sudah berdiri di belakang Ga Eun dengan jarak sekitar dua meter lebih.

Ga Eun yang syok mendengar suara seseorang dibelakangnya, terlihat sangat kaget. Sampai-sampai ia menjatuhkan centong nasi yang ia genggam.

"Ah... mengagetkan saja." ujar Ga Eun setelah melihat wajah Jung Kook yang datar sembari mengelus jantungnya yang hampir copot.

Ia belum terbiasa dengan kehadiran Jung Kook di rumah Bibinya ini dan Ga Eun rasa, ia tak akan pernah bisa terbiasa.

Ga Eun meletakkan mangkuk nasinya di atas meja lalu, berjalan menuju lemari dapur, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air.

"Ini." Ga Eun meletakkan gelas yang telah ia isi itu ke atas meja.

Setelahnya, ia mengambil beberapa lauk yang telah di sisihkan oleh Bibi Ahn sebelumnya dan membawanya ke atas meja. Tampak mempedulikan kehadiran Jung Kook, Ga Eun menyantap hidangan di hadapannya dengan sangat lahap.

Sampai-sampai ia lupa, kalau Jung Kook masih ada di sini, bersandar pada kulkas sambil memperhatikan dirinya yang sedang makan.

"Ke--kenapa kau... menatapku?" tanya Ga Eun gelagapan.

Mulut Ga Eun yang penuh dengan makanan tak terdengar dengan jelas saat wanita itu bertanya pada Jung Kook.

Jung Kook tak merespon, ia meneguk habis air di dalam gelas yang ia pegang saat ini. Setelahnya, ia meletakkan gelas itu di depan Ga Eun lalu, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Ga Eun dengan tangan kanannya yang menumpu pada meja coklat ini.

Ga Eun yang masih terduduk di meja makan sembari memegang sendok di tangan kanannya terlihat sangat gelagapan.

"Ke--kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ga Eun lagi.

Kini jantungnya berdebar sangat kencang, dengan cepat ia meletakkan sendoknya ke atas meja coklat ini dan berangsur memegang jantungnya dengan kedua tangan.

Takut jika Jung Kook akan bisa mendengar debaran jantungnya yang tak karuan ini.

Tatapan Jung Kook semakin dalam menatap wajah Ga Eun yang terlihat bersemu merah saat ini.

"Kau... masih menyukaiku?" tanyanya santai dengan jedah beberapa detik.

Bola mata Ga Eun melebar seketika, seiring dengan tatapan Jung Kook yang semakin dalam  padanya. Pria itu menunggu jawaban dari Ga Eun.

Sementara itu, di balik bilik dinding dapur, Eun Bi mendengarkan semua percakapan Ga Eun dan Jung Kook. Amarah mulai menyulut dalam dirinya. Dengan langkah kesal, Eun Bi meninggalkan lantai satu dan berjalan menuju kamarnya.

***