Jangan lupa beri komen membangun dan power stonenya.
Happy reading all!
๐๐๐
Aisha baru saja keluar dari kantor polisi kota S untuk memberikan keterangan tambahan terkait kecelakaan yang menimpa Alif suaminya bersama dengan Dikta. Semua keterangan yang masuk akan menjadi bahan penyelidikan polisi untuk mengungkap dalang dibalik kecelakaan yang telah diatur tersebut.
Aisha dan Dikta tiba di kota S sehari sebelumnya untuk menyelesaikan masalah kerjasama anak perusahaan mereka di kota S dengan seorang klien penting. Bersyukur Alif telah menyelesaikan kesepakatan kerjasama tersebut sebelum dia mengalami kecelakaan. Dan Aisha bisa bernapas lega sebab klien tersebut tidak membatalkan kerjasama dan tidak mempermasalahkan siapa pun nantinya yang akan menangani proyek kerja sama tersebut. Akhirnya Aisha memutuskan bahwa kerja sama tersebut akan ditangani oleh Direktur Pemasaran dari cabang perusahaan di kota S.
Aisha dan Dikta masuk ke dalam mobil yang terparkir di pelataran parkir. Selama menangani urusan mereka di kota S, Aisha menggunakan mobil perusahaan cabang.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu tentang kecelakaan Bapak?" tanya Aisha pada Dikta saat dia telah duduk di kursi penumpang depan. Sedangkan Dikta sudah duduk tenang di belakang kemudi namun belum menyalakan mesin. Kota S adalah kota asal Dikta. Itulah mengapa dia memutuskan menyetir sendiri kendaraannya tanpa menggunakan sopir perusahaan karena dia mengenal baik seluk beluk kota dan juga untuk menjaga privasi nyonya majikannya.
"Saya sudah menyewa seorang detektif swasta ibukota. Detektif ini sangat handal menggali informasi sekecil dan sesulit apa pun. Saya juga menghubungi orang dalam organisasi pengawal tempat Bapak merekrut saya. Orang tersebut memiliki koneksi orang hebat di kepolisian dan beliau bersedia membantu melancarkan penyelidikan kasus ini," jawab Dikta dengan serius.
"Bagaimana dengan masalah rapat pemegam saham?" tanya Aisha lagi.
"Informan kita mengatakan bahwa rapat kali ini digerakkan oleh Bambang. Bahkan dia secara diam-diam membujuk Tuan Adam salah satu pemegam saham di Pramana Corporation untuk menjual sahamnya pada seseorang yang sampai saat ini masih anonim," jawab Dikta.
"Hmm ... ternyata pria licik itu sedang berusaha menggali terowongan ke Pramana Corporation setelah beberapa tahun lalu Bapak memutus aksesnya ke perusahaan inti?" geram Aisha. "Berapa banyak saham Tuan Adam di Pramana Corp dan bagaimana latar belakang kehidupannya?" lanjut Aisha. Saat ini Aisha membutuhkan informasi dasar sebagai bahan untuk mengambil keputusan pada rapat pemegang saham lusa.
"Tuan Adam memiliki 10% saham di Pramana Corp termasuk terbesar diantara pemegang saham lainnya. Tuan Adam juga mempunyai skandal perselingkuhan dengan salah satu model kota M beberapa tahun yang lalu. Namun masalah ini belum sampai pada istrinya hingga saat ini. Saya rasa Bambang memanfaatkan skandal ini untuk memeras Tuan Adam agar mau menjual sahamnya dan menuntut rapat direksi luar biasa secepatnya," jelas Dikta. Tangannya meremas kemudi dengan erat. Matanya menatap tajam ke depan.
"Tetap awasi persoalan ini. Jangan pernah lengah," pinta Aisha kemudian menyandarkan tubuhnya dengan santai.
"Baik, Bu. Sekarang kemana kita akan pergi?" Suara Dikta kini terdengar lebih santai ketimbang saat melaporkan hasil penyelidikannya tadi.
"Kita kembali ke hotel. Sebentar sore kita masih harus bertemu Direktur Pemasaran untuk membahas masalah proyek itu. Besok pagi kita berangkat pulang. Aku sudah sangat rindu pada Alfa," kata Aisha. Bibirnya tersenyum saat menyebut nama putranya. Terbayang wajah putranya yang lucu dan menggemaskan saat mereka melakukan panggilan video semalam.
"Baik. Tetapi ... bolehkan saya izin untuk mampir ke rumah ibu saya terlebih dahulu?" tanya Dikta sambil menyalakan mesin mobil.
"Jauh ya?" Aisha menoleh ke arah sekretaris tampan itu.
"Lumayan. Perjalanan sekitar sejam dari sini," jawab Dikta. Aisha berpikir sejenak.
"Baiklah. Jangan lama ya. Setelah itu kita langsung ke hotel," tukas Aisha lalu kembali menyandarkan kepala dan memejamkan matanya. Dikta lalu melajukan mobil ke arah pinggiran kota.
Setelah perjalanan hampir sejam, Dikta memarkirkan mobil di depan sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan untuk kalangan menengah. Sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang tidak terlalu luas namun terawat.
Sekretaris tampan itu lalu keluar dari mobil bertepatan dengan seorang perempuan paruh baya keluar dari pintu rumah yang terbuka lebar. Perempuan itu mengenakan gamis dengan warna hijau yang mulai memudar dan kerudung hitam.
"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana kabar Ibu?" sapa Dikta sambil menyalami perempuan yang dia panggil ibu kemudian mencium tangan dengan hikmad.
Wa'alaikumussalam. Ibu baik-baik saja. Kamu gimana kabarmu, Nak?" balas Bu Marni mengusap bahu lebar putranya.
"Sehat juga, Bu."
"Tumben berkunjung? Biasanya juga setahun sekali baru pulang," tukas Bu Marni.
"Lagi ada urusan penting di kota S, Bu. Jadi sekalian mampir jenguk Ibu."
"Sendirian?" tanya Bu Marni.
"Menemani majikan saya, Bu. Itu ada di mobil," sahut Dikta sambil berbalik ke arah mobil. Bu Marni ikut mengarahhkan pandangannya ke Aisha yang beranjak turun dari kursi penumpang.
"Cantik," bisik Bu Marni.
"Suaminya baru saja meninggal beberapa hari yang lalu karena kecelakaan," balas Dikta berbisik pula.
"Hah?? Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Kasihan ya. Padahal masih kelihatan muda," bisik Bu Marni lagi. Aisha mendekati ibu dan anak itu perlahan.
"Assalamu'alaikum. Maaf baru menyapa, Bu," sapa Aisha dengan senyum ramah.
"Tidak apa-apa, Nyonya," balas Bu Marni sopan.
"Jangan panggil Nyonya. Nama saya Aisha, Bu. Panggil Aisha saja," kata Aisha lalu menyalami dan mencium tangan Bu Marni.
"Ja- jangan seperti ini. Nyonya kan majikan anak saya," Bu Marni tergeragap dan melihat seorang majikan mencium tangannya.
"Kenapa, Bu. Saya memang majikan Dikta. Tapi usia saya lebih muda dari dia. Lagi pula selain Tuhan Yang Maha Tinggi, kedudukan seorang ibu lebih tinggi derajatnya di mata siapapun di dunia ini. Jadi kita harus tunduk dan menghargainya," cetus Aisha sambil tangannya masih menggenggam jemari perempuan yang telah menampilkan goresan usia di wajahnya.
Bu Marni dan Dikta terperangah mendengar penuturan Aisha. Seketika binar bahagia terbit di mata senja Bu Marni.
"Duh Gusti! Kedua orang tua Nyonya benar-benar mendidik anaknya dengan baik. Eh, ayo masuk! Ta, tamunya di ajakin duduk di dalam dong," seru Bu Marni langsung melangkah masuk ke rumah.
"Mari masuk, Bu!"
Aisha dan Dikta masuk ke dalam rumah kemudian duduk di kursi rotan yang dilapisi bantalan yang mulai menipis di ruang tamu. Bu Marni sudah kabur ke dapur.
Aisha mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang tamu yang tidak terlalu luas dan tampak bersih. Matanya tertumbuk pada deretan beberapa pigura foto di dinding.
Foto pertama adalah foto keluarga yang telah buram menampilkan Bu Marni dalam versi muda sedang menggendong seorang bayi yang mungkin adik Dikta. Lalu ada seorang pria di sisi kanannya yang pasti suami Bu Marni atau ayah Dikta. Lalu di tengah-tengah mereka berdiri Dikta kecil dengan tampang polosnya.
Yang menarik perhatian Aisha adalah gambar Dikta bersama teman-temannya dalam seragam putih abu-abu dan Dikta yang memakai outfit wisuda sarjana diapit Bu Marni dan seorang gadis kecil. Aisha tersenyum memandangi deretan gambar tersebut.
"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Dikta yang heran melihat Aisha tersenyum menatap dinding di depannya.
"Ternyata kamu sudah tampan dari kecil ya," cetus Aisha menoleh pada Dikta. Pria itu menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya. Tak lama Bu Marni keluar dari dapur dengan sebuah nampan di kedua tangannya.
"Nah, minum dulu biar segar. Maaf Nak Aisha cuma bisa hidangkan makanan kampung," kata Bu Marni sambil menghidangkan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng di atas meja.
"Tidak apa-apa Bu. Saya juga orang kampung. Ibu saya kerjanya jualan kue tradisional jadi saya terbiasa makan makanan kampung dari kecil," sahut Aisha. Dia menyesap teh dalam cangkir di tangannya.
Bu Marni tersenyum mendengar ucapan Aisha. Dia bersyukur bertemu seorang nyonya kaya yang berhati mulia dan rendah hati, menghormati orang lain terutama yang usianya lebih tua darinya. Bu Marni berdoa dalam hati agar kelak Dikta diberi jodoh perempuan baik seperti Aisha yang tidak memandang rendah status keluarga Dikta.
"Kami tidak bisa lama-lama Bu. Bu Aisha masih punya urusan sore ini. Dan kami akan kembali ke kota M besok pagi," kata Dikta sembari menyesap teh miliknya.
"Wah Ibu kira kalian masih tinggal lama. Tidak apa-apa lain kali kalau ke kota S lagi nginap di sini saja. Dikta jarang-jarang pulang apalagi bawa tamu tapi sekalinya pulang langsung bawa perempuan cantik," tukas Bu Marni terkekeh.
"Ah, Ibu ...," Dikta jengah.
"Insyaallah, Bu," sambung Aisha.
"Diksa kemana Bu?" tanya Dikta saat menyadari sedari tadi dia tidak melihat adik perempuannya.
"Katanya dia kekampus mau siapin apa gitu?" jawab Bu Marni dengan raut bingung.
"Diksa?" gumam Aisha menoleh pada Dikta.
"Adik perempuanku. Yang itu. Dia baru masuk kuliah tahun ini," jawab Dikta menujuk foto adik perempuannya.
"Berarti seumuran adikku ya," tukas Aisha.
Mereka terlibat percakapan seputar Diksa adik Dikta sesaat. Tentu saja pembicaraan yang didominasi oleh Bu Marni, sesekali ditanggapi oleh Aisha. Sementara Dikta hanya menjadi penyimak.
Sepertinya Dikta memang dasarnya pendiam, pikir Aisha. Selama bekerja dengannya, Dikta hanya akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan dengan Alif pun dia lebih memilih diam mendengarkan instruksi dan berbicara hanya saat ditanya. Dikta hanya akan sedikit banyak bicara saat bersama Alfa. Dia akan meladeni bocah itu jika diminta menceritakan tentang mainan yang menarik. Hal itu yang membuat Alfa sangat dekat dengan Dikta selain ayahnya.
Sore harinya Aisha dan Dikta telah sampai di hotel tempat mereka menginap. Mereka menyewa dua kamar yang saling berhadapan agar Dikta lebih mudah mengawasi majikannya. Bahkan Dikta meretas CCTV di kamar Aisha dan di lorong depan kamar mereka secara diam-diam. Dia tidak ingin kecolongan kalau ada yang berniat jahat pada nyonya majikannya seperti yang dialami tuannya.
Pertemuan dengan Direktur Pemasaran PT. Pramana Sejati, anak cabang Pramana Corp diadakan di salah satu ruang VIP restoran hotel. Mereka membahas beberapa proyek yang masih berjalan di kota S hingga pukul sembilan malam.
Karena lelah seharian beraktifitas, Aisha langsung tertidur tanpa sempat mengganti pakaiannya. Berbeda dengan Dikta. Pria itu masih terjaga hingga tengah malam. Memantau layar perangkat canggih yang terhubung dengan CCTV sedang menampilkan Aisha yang tengah tidur lelap di balik selimutnya. Nanti pukul satu dini hari barulah Dikta memejamkan mata dan terbangun di pagi buta saat majikannya masih dalam peraduan mimpi.
***
Seminggu setelah kematian Alif Pramana, semua anggota dewan direksi yang juga pemegang saham di Pramana Corporation berkumpul di ruang rapat. Sesuai dengan tuntutan yang dilayangkan oleh salah satu anggota dewan direksi, akhirnya Aisha mengadakan rapat luar biasa tersebut yang intinya mereka akan membahas tentang kekosongan kursi Presiden Direktur setelah ditinggalkan oleh Alif Pramana.
"Baiklah, mari kita mulai rapat hari ini," kata Aisha setelah melihat semua anggota dewan direksi berkumpul.
"Tunggu. Masih ada yang perlu hadir dalam rapat ini," potong Tuan Adam. Semua orang menoleh padanya.
"Siapa?" tanya Aisha.
Tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Masuklah tiga orang yang salah satunya dikenal oleh Aisha. Dia adalah Bambang. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda dan seorang pria yang tidak dia kenal.
"Saya belum terlambat kan?" kata si wanita muda di samping Bambang.
Bersambung ...
๐๐๐
See you next chapter.