"Maureen? Bangun sayang, udah siang, nanti kamu terlambat lagi."
Suara yang begitu ramah terdengar di telinga Maureen. Maureen mendengarnya, namun seakan enggan membuka mata. Entah mengapa, beberapa hari belakangan ini gravitasi ranjangnya begitu kuat.
Tok ... Tok ... Tok ... "Maureen? Mamah tau kamu udah bangun. Ayo dong, nak, nanti kamu terlambat. Emang kamu mau terlambat di hari pertama kamu sekolah?"
Maureen mendengar itu dengan jelas. Dengan kemauan yang sedikit, ia perlahan membuka matanya. Pandangannya tertuju pada sebuah jam weker yang berada di atas meja di dekat kepalanya. Dan begitu ia melihat kedua jarum berwarna hitam pada jam weker itu, seakan seluruh kesadarannya telah muncul.
Maureen membulatkan matanya dengan sempurna, "Astaga!"
Dengan cepat Maureen mengambil jam wekernya, menatapnya dengan tak percaya. "Kamu kok ga bangunin aku sih? Kalo rusak tuh bilang-bilang!"
Arini, ibunda Maureen yang mendengar keluhan anaknya dari balik pintu kamar itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia pun memutar ganggang pintu berwarna merah muda itu dan memasang ekspresi galak yang dibuat-buat. "Ayo bangun, mandi terus siap-siap. Nanti sarapanmu mamah jadiin bekal aja."
Maureen menaruh jam wekernya di sebelah bantalnya dan melompat turun dari ranjang. Ia berlari ke arah kamar mandi melewati Arini tanpa mengucapkan apapun. Arini yang melihat hal itu hanya tersenyum dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Maureen, merapikan selimut serta menaruh kembali jam weker itu di tempat yang seharusnya.
Arini meneruskan langkah kakinya ke arah jendela kamar Maureen dan membuka jendela kamarnya agar cahaya mentari dapat masuk ke dalam ruangan itu. Arini mengerutkan keningnya saat melihat seekor kucing yang memiliki bulu berwarna hitam pekat memandang ke arahnya dari atas genteng rumah tetangga.
Ia tidak ingin berkomentar akan hal itu.
Mungkin bagi sebagian orang yang percaya akan mitos, melihat kucing berwarna hitam adalah tanda kesialan. Ia yakin, nasib baik dan buruk ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Arini pun membuka lemari pakaian milik Maureen dan menyiapkan seragam yang akan dipakai oleh Maureen ke sekolah menengah atas di hari pertamanya.
Ya, hari ini adalah hari pertama Maureen bersekolah di salah satu sekolah negri favorit.
Arini dan Maureen memang hanya tinggal berdua, semenjak ia bercerai dengan Hari dan pergi membawa Maureen, satu-satunya anak mereka bersamanya.
Di dalam kamar mandi, Maureen memulai ritual paginya dengan tempo yang lumayan cepat. Ia sadar, jika ia tidak mempercepat gerakannya, maka ia akan terlambat masuk ke sekolah di hari pertama. Dan tidak ada yang mau mengalami hal itu.
Tangannya begitu telaten mengusap seluruh lekuk tubuhnya dengan cairan kental dari sabun mandi beraroma apel kesukaannya. Di saat biasa, Maureen akan memakan waktu cukup lama di kamar mandi karena ia sangat menikmati waktu membersihkan tubuhnya itu. Namun kali ini berbeda, karena keadaannya memang mengharuskannya untuk melakukan ritual mandi dengan cepat.
Masih dengan handuk yang menutupi tubuhnya, ia berlari kembali ke dalam kamar dan berpakaian.
Di meja makan, Arini juga sudah selesai membuatkan bekal untuk Maureen. Ia berjalan keluar rumah untuk memanaskan mesin mobil yang akan ia pakai untuk mengantar Maureen ke sekolah.
Dan pagi yang begitu terburu-buru itupun mereka lewati.
***
Lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau, namun mobil yang dikendarai oleh Arini harus berhenti tepat di depan jalur penyebrangan karena lampunya kembali berubah menjadi merah.
Maureen mengerucutkan bibirnya, "Kenapa berenti sih, mah? Kan masih bisa tadi."
Arini menoleh dan memasang wajah tegas, "Ga boleh. Kalo lampu udah kuning itu berarti siap-siap buat berenti, bukannya siap-siap buat nerobos."
Mendengar jawaban ibunya Maureen pun menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Iyadeh iya, mamahku yang paling taat sama peraturan."
"Peraturan memang dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar." ujar Arini yang membuat Maureen tak bisa membantahnya, karena perkataannya memang seratus persen benar. "Mumpung masih di mobil, coba kamu periksa lagi deh, siapa tau ada yang kamu lupa bawa."
Dengan ekspresi malas Maureen membuka tasnya, dan dalam waktu singkat ia kembali menutup tasnya. "Ga ada."
"Kartu peserta MOPD?"--Masa Orientasi Peserta Didik--tanya Arini untuk memastikan.
"Ada."
"Terus, topi bola?"
"Ada,"
"Pita kuning?"
"Hm."
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, saura klakson pun terdengar dari beberapa mobil yang mengantre di belakang mereka, membuat Arini sedikit tersentak dan langsung menginjak pedal gas sambil melepaskan pedal kopling secara perlahan.
Mobil mereka melaju, namun hal yang baru disadari Maureen membuat Arini tambah tersentak.
"Duh mah, aku lupa hape, ada di atas meja di kamar!"
Arini menoleh. Ia sedikit marah, bukan karena hal yag dilupakan oleh Maureen, namun karena Maureen membuatnya kaget. Ia pun menoleh, "Kok bisa lupa?"
"Haaaaaa, puter balik mah, ayo." rengek Maureen dengan aksen manjanya. Maureen memang seorang anak yang manja, meskipun hanya tinggal berdua dengan ibunya namun sifat manjanya masih belum bisa ia lepaskan. Bahkan setelah beranjak ke bangku SMA, sifatnya masih sama saja seperti seorang anak yang baru masuk ke SMP.
Masih dalam posisi panik, sebuah truk pengangkut batu bata datang dari arah samping. Meskipun lampu lalu lintas telah menunjukkan warna merah, si supir truk sepertinya menerobos lampu lalu lintas itu.
"Ayo dong maaaaah."
Tiiiiiiiiinnnnnnnn ...
Suara klakson yang sangat besar itu datang dari arah samping, membuat Arini menoleh. Dalam keadaan terdesak, Arini mencoba menghindari truk itu, namun kecepatan truk yang terlalu tinggi dan posisi mobil Arini yang masih dalam gigi satu persnelennya, membuatnya tak bisa keluar hal tersebut.
Braaakkkkk ...
Kecelakaan yang begitu tragis pun terjadi.
Baik Arini maupun Maureen sama-sama tak sadarkan diri.
Dan Maureen tak tahu, bahwa itu adalah terakhir kali ia dapat melihat ibunda tercintanya.
Saat itulah ia kehilangan ibunya, dan membuatnya terbaring koma.