Dengan langkah kaki yang sangat tergesa-gesa, Hari berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Ia melangkahkan kakinya ke arah sebuah kamar di mana seorang gadis terbaring koma berkat kecelakaan yang dialaminya.
Ia membuka pintu dan mendapati Maureen, anaknya dari pernikahannya dengan Arini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang sebagai alat bantu pernapasan yang tersambung ke hidungnya. Setetes air mata keluar dari pelupuk mata Hari.
Jika sebelumnya langkah kakinya begitu cepat, kini seakan kedua kakinya itu tak memiliki kekuatan sama sekali untuk berdiri. Seorang dokter dan dua orang perawat yang juga berada di ruangan itu pun menoleh pada Hari.
"Apakah bapak walinya?" tanya sang dokter yang mengalihkan perhatian Hari dari Maureen.
"Iya, dok. Saya ayahnya. Apa yang terjadi?"
Si dokter berjalan mendekati hari dan berhenti tepat di depannya. Ia menaruh satu tangannya di pundak Hari dan tersenyum ramah. Meski begitu, sang dokter tak bisa menyembunyikan rasa simpatinya. "Anak bapak mengalami sebuah kecelakaan lalu lintas, korbannya adalah anak bapak, dan satu lagi wanita yang berusia lebih tua."
Hari mengerutkan keningnya, "Arini? DI mana dia?"
Sang dokter menggelengkan kepalanya pelan, ia mengubah arah pandangnya ke bawah sambil memasang ekpresi penuh simpati. Melihat reaksi dari sang dokter, Hari pun menyadari apa yang terjadi pada Arini.
Kini kedua kakinya benar-benar tak memiliki kekuatan untuk menopang tubuhnya lagi. Hari jatuh berlutut di lantai dengan air mata yang mengalir deras dari pelupuk matanya. Sang dokter pun tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menenangkan Hari. Begitu juga dengan para perawat yang juga berada di dalam ruangan itu, mereka berdua menundukkan kepala mereka, seakan memberikan penghormatan terakhir pada wanita yang meninggal pada kecelakaan itu.
Dari depan pintu, seorang lelaki dengan seragam SMA yang yang dipenuhi tanah dan beberapa bercak darah berdiri terdiam. Ia tak berkata apapun sedari tadi, yang ia lakukan hanya diam dan mencoba mengerti tentang keadaan yang sedang terjadi.
Jangan tanya mengapa seragam sekolahnya sangat lusuh dan juga dipenuhi tanah dan bercak darah. Sebelum ke rumah sakit, lelaki itu baru saja selesai bertarung melawan tiga geng sekolah sekaligus.
Rizaldy Pradipta, pandangan lelaki itu tertuju pada wajah pucat dan penuh luka dari gadis yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Jadi itu Maureen?" terka Aldy dalam hatinya.
Suasana di ruangan itu benar-benar penuh duka. Aldy merasa tidak ada yang bisa ia lakukan. Namun satu yang pasti. Kehidupan Aldy akan berubah mulai detik itu juga.
***
Pemakaman Arini berlangsung khidmat, suasana penuh duka itu benar-benar menyelimuti prosesi pemakaman wanita yang pernah dicintai Hari.
Aldy dan juga Hari berada di dalam liang lahat. Kedua tangan mereka menerima jasad Arini yang sudah dimandikan dan juga disholatkan. Tubuh Arini yang terbungkus kain kafan itu mereka terima dengan penuh kehati-hatian, dibantu beberapa orang mereka menurunkan tubuh Arini ke dalam tempat peristirahatan terakhirnya.
Selagi petugas pemakaman menimbun kembali tanah yang mereka gali untuk tempat peristirahatan terakhir Arini, air mata tak henti mengalir dari pelupuk mata Hari. Aldy yang berdiri di sebelah Hari hanya bisa mmebiarkan ayahnya itu menangis dan terlarut dalam kesedihannya.
Aldy memang tak pernah bertemu dengan Arini, mantan istri ayah angkatnya itu. Namun Aldy bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Hari.
Meskipun orang-orang yang menghadiri prosesi pemakaman Arini sudah pulang semua, Aldy dan Hari masih saja berdiri di depan makam yang di nisannya tertulis nama Arini.
Hari mengangkat satu tangannya dan merangkul pundak Aldy dari belakang, menepuk-nepuk pundak Aldy dengan telapak tangannya. "Yaudah, kita pulang yuk."
Aldy hanya mengangguk sekali mengiyakan ajakan Hari. Hari tersenyum sekali lagi pada nisan Arini, "Aku pulang dulu ya. Jangan khawatir, aku pasti akan menjaga Maureen baik-baik."
Mereka berdua pun pergi meninggalkan area pemakaman.
Meskipun Aldy tak pernah bertemu dengan Arini, namun ia tetap merasa berduka atas kepergiannya.
Di dalam mobil, Hari membiarkan Aldy yang membawa mobil. Meskipun ia masih belum memiliki surat izin mengemudi, namun kemampuan Aldy dalam mengendarai mobil benar-benar masuk ke dalam kategori terampil.
"Yah."
Hari yang tadinya melihat ke luar jendela pun menoleh ke arah Aldy yang masih menyetir mobil. "Ya, kenapa nak?"
"Mamah tuh orangnya gimana sih?"
Hari menyunggingkan senyuman di bibirnya. Senyuman yang terlukis secara refleks berkat pertanyaan Aldy. Hari mengalihkan pandangannya ke depan, "Hmmm ... Arini itu orang. Bukan, tapi wanita yang paling baik yang ayah temui dalam hidup. Kadang sifatnya begitu lembut, namun bisa berubah menjadi sangat keras kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, terutama masalah disiplin."
Aldy membelokkan mobil di persimpangan, masih mendengarkan dengan seksama penjelasan Hari tentang sosok Arini.
"Arini juga bisa jadi sangaaat menyebalkan. Kata-katanya selalu menusuk, tapi yang lebih menyebalkannya lagi, semua kata-katanya itu benar, bikin ga bisa dibantah. Dia wanita paling perhatian, bahkan tentang hal-hal kecil yang biasanya luput dari pengelihatan. Dan ... "
Hari menggantung perkataannya, sejalan dengan Aldy menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. Hari menoleh, begitu juga Aldy, membuat mereka saling beradu pandang.
Hari kembali menyunggingkan senyumannya, senyuman yang terasa hangat untuk dilihat bagi Aldy. "Dia, adalah wanita yang sangat penyayang. Dan karena hal itu, adik kamu, Maureen yang sekarang koma di rumah sakit, jadi punya sifat yang super-manja. Walaupun Arini itu orangnya tegas dalam hal disiplin, tapi apapun permintaan Maureen pasti dia turuti. Bahkan, Arini selalu menyiapkan kebutuhan Maureen sebelum Maureen minta."
Aldy mengangguk mengerti. Ia jadi memiliki gambaran tentang gadis yang mungkin akan menjadi adiknya itu.
Saat lampu lalu lintas kembali berubah menjadi hijau, dengan perlahan Aldy melajukan mobilnya melintasi perempatan terakhir sebelum tiba di gerbang masuk perumahan tempat tinggal mereka.
"Maureen umur berapa sih?" tanya Aldy penasaran.
"Diaaa ... enam belas tahun. Harusnya baru masuk SMA."
Aldy hanya ber-oh ria sambil menghentikan mobil di depan gerbang. Telapak tangan kanannya menekan klakson untuk memberi tahu satpam rumah agar membukakan pagar untuk mereka. Tak lama kemudian, pagar itu terbuka oleh seseorang berseragam khas petugas keamanan. Dan saat mobil mereka melintas, Pak Paryo selaku satpam pribadi Hari pun membungkukkan tubuhnya dengan sopan.
Bisa dibilang, Hari adalah seorang konglomerat. Ia adalah seorang pemilik tunggal Sanjaya Group, perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan memiliki koneksi yang kuat pada pemerintah. Terutama soal proyek-proyek pembangunan.
Aldy pun memarkir mobil mereka di garasi. Garasi yang dipenuhi oleh mobil-mobil mewah. Namun tak satupun dari hal itu yang menarik minat Aldy, ia hanya tertarik pada sebuah motor sport yang berada di ujung garasi, motor yang ia modifikasi sendiri dan gunakan untuk ke sekolah.
Setelah memarkir mobil, Aldy berjalan bersama Hari masuk ke dalam rumah. Aldy meneruskan langkahnya ke dalam kamar, melepas semua pakaian yang ia kenakan untuk prosesi pemakaman Arini dan menggantinya dengan pakaian yang nyaman untuk dikenakan di rumah.
Sambil menghembuskan napas panjang, Aldy merebahkan tubuhnya di atas sofa kamarnya. Kamar Aldy memang tak memiliki ranjang. Sebagai gantinya, hanya sebuah sofa yang sangat nyaman untuk ditiduri maupun digunakan untuk berbaring.
Bukan karena Aldy tak menyukai ranjang, namun kamarnya penuh dengan peralatan gamers seperti personal computer dengan spesifikasi tinggi, dua buah layar LCD berukuran besar yang tergantung di dinding, PS 4 dan sebuah kursi khusus untuk bermain game di depan komputernya.
Aldy memang suka menghabiskan waktu untuk bermain game, terutama game perang ber-genre FPS seperti PUBG dan Point Blank.
Di atas sofa empuknya, ia menatap langit yang dipenuhi cahaya kebiruan dari lampu LED-nya itu dan memikirkan sesuatu yang sampai sekarang masih belum bisa hilang dari benaknya.
Visual wajah Maureen, adiknya yang kini masih terbaring koma di ranjang rumah sakit terus muncul di benaknya.
Entahlah, yang ada di dalam pikiran Aldy adalah, ia ingin melakukan sesuatu untuk Maureen, namun ia sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan untuknya. Ia tak pernah memiliki seorang adik sebelumnya.
"Maureen Gabriella ... Enam belas tahun ... Baru mau masuk SMA. Apa kita bakal satu sekolah nanti? Itupun kalo lo udah sadar, Reen." Aldy bergumam pelan, masih merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kebiruan kamarnya. "Reen? Kayaknya gue bakal manggil lo Reen."
Aldy bangkit dari posisi tidurnya, menyalakan kipas yang berada di langit-langit kamarnya, kipas khusus untuk mengalirkan udara ke luar ruangan, membuat sirkulasi udara berjalan lancar. Hal itu ia lakukan setiap ingin menghidap batang nikotin yang sudah menjadi candu bagi keseharian Aldy.
Aldy mengambil sebungkus rokok dari dalam tasnya, mengeluarkan batang candu itu dari dalam bungkusnya dan mengapit filternya di antara bibir atas dan bawahnya. Membakar ujungnya dengan pemantik lalu menghisap dalam-dalam asap kenikmatan itu sebelum mengepulkannya ke udara.
"Kalaupun kita bakal satu sekolah nanti, tapi keadaan sekolah masih belum kondusif. Banyak geng-geng sekolah lain yang penasaran sama sekolah gue ... Tunggu ... Benar. Kayaknya ada yang bisa gue lakuin buat lo, Reen."
Aldy tersenyum lebar. Ia baru sadar bahwa ada sesuatu yang bisa ia lakukan sebelum Maureen sadar dari komanya.
Ia akan membereskan masalah geng-geng sekolah itu sebelum Maureen akan bersekolah dengannya nanti.
Ya.
Ia akan membuat sekolahnya menjadi sekolah paling disegani, sehingga tak ada lagi yang berani mengganggu ketenangan sekolahnya, yaitu SMAS Caius Ballad.
Sepertinya, Aldy akan mulai sibuk dengan peperangan antar-geng sekolah.
"Tenang aja, Reen. Begitu lo masuk ke sekolah gue, gue pastiin ga akan ada yang bisa ganggu lo di sana."
Rencana Aldy pun akan dimulai. Namun sebelum itu, ada satu yang harus ia lakukan untuk mewujudkannya.
Sebelum membuat sekolahnya menjadi sekolah paling ditakuti dan disegani, ia harus bisa menguasai sekolahnya terlebih dahulu. Dengan begitu, ia akan mudah mengumpulkan pasukan untuk menyerang geng-geng sekolah lain.
Sepertinya Aldy akan kembali ke pribadinya yang sadis dan beringas sekali lagi.
Dan itu semua ia lakukan demi menciptakan lingkungan sekolah yang aman bagi Maureen nantinya, mengingat kondisi sekolahnya yang hampir setiap hari didatangi oleh geng sekolah lain untuk adu ketangkasan.
Ya, Aldy akan melakukannya.
Demi Maureen, adiknya, Maureen, Si Gadis Koma yang bahkan belum pernah ia dengar suaranya.