"Selamat ya den Hasta, Non Hanin.. akhirnya menikah juga, saya sangat bahagia dan bersyukur dengan pernikahan ini." ucap Minah dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Terimakasih mbok Minah." ucap Hasta dengan perasaan hati yang bahagia.
"Terimakasih ya mbok." sahut Hanin menahan rasa haru, karena melihat wajah Hasta terlihat bahagia.
"Mbok Minah ayo pulang, apa mbok Minah ingin tetap tinggal di sini?" tanya Rahmat saat melihat Minah terpaku menatap Hasta dan Hanin secara bergantian.
Hasta tersenyum melihat Minah yang merah padam karena terkejut dengan ucapan Rahmat.
Setelah semuanya sudah pulang suasana kembali sepi, hanya ada Hasta dan Hanin yang saling diam dengan tatapan mata mereka yang saling berbicara.
"Pak."
"Hanin."
Secara bersamaan mereka berdua saling memanggil.
Hanin tersenyum menatap wajah Hasta yang terlihat sangat tampan dengan tatapan matanya yang sangat teduh.
"Pak Hasta mau bicara apa?" tanya Hanin dengan sedikit canggung dan malu karena sekarang dia sudah sah menjadi istri seorang Hasta.
"Aku haus, aku mau minum." ucap Hasta yang tidak tahu harus bicara apa, bibirnya terasa keluh untuk bicara.
Dengan segera Hanin, memberikan segelas air pada Hasta.
"Terimakasih Nin." ucap Hasta memberikan kembali pada Hanin, setelah minum beberapa teguk saja.
"Sama-sama pak." sahut Hanin sambil meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Hanin." panggil Hasta dengan tatapan ragu.
"Ya pak?" sahut Hanin berusaha tenang menunggu Hasta bicara lagi.
"Terimakasih karena sudah mau menikah denganku dengan segala kekuranganku." ucap Hasta dengan tatapan penuh penuh cinta.
"Jangan bicara seperti itu lagi pak, harusnya aku yang berterimakasih pada pak Hasta yang telah begitu tulus mencintaiku." ucap Hanin membalas tatapan Hasta dengan sebuah senyuman.
Hasta tersenyum memejamkan matanya berusaha percaya dengan apa yang sudah terjadi, kalau dia sudah menikah dengan Hanin gadis remaja yang di cintainya.
"Pak." panggil Hanin saat melihat Hasta memejamkan matanya merasa kuatir terjadi apa-apa.
"Ya Nin." Sahut Hasta membuka kembali matanya dan menatap wajah Hanin.
"Tidak apa-apa, aku kira pak Hasta kenapa-kenapa." ucap Hanin dengan wajah memerah.
"Aku tidak akan kenapa-kenapa selama kamu ada di sampingku Nin." ucap Hasta dengan tatapan teduh.
"Berjanjilah untuk tidak sakit lagi ya pak? pak Hasta harus sehat terus." ucap Hanin dengan penuh perhatian.
"Ya Nin, kamu jangan cemas ya?" ucap Hasta menggenggam tangan Hanin.
"Apa pak Hasta sekarang ingin sesuatu, ingin tidur atau ingin makan?" tanya Hanin karena rasa canggung terus menyergapnya sejak penghulu mengesahkan pernikahannya.
"Aku hanya ingin tidur dalam pelukanmu Nin." Jawab Hasta dengan suara Iirih namun sangat jelas di telinga Hanin.
Hanin menatap Hasta seraya meneguk air ludahnya. Bagaimana Hasta ingin tidur dengannya kalau ranjangnya saja tidak cukup untuk dua orang kalaupun cukup tapi harus berhimpitan.
"Sebentar ya pak." ucap Hanin berjalan ke arah pintu dan menguncinya dari dalam.
Hanin kuatir jika dia tidur bersama Hasta ada orang lain yang masuk dan melihatnya.
"Kenapa di kunci Nin?" tanya Hasta dengan tatapan teduhnya.
"Malu kalau ada yang lihat pak." jawab Hanin dengan gugup.
"Kita kan sudah suami istri Nin? kenapa harus malu?" ucap Hasta tak mengerti.
"Malu saja pak, karena di rumah sakit." ucap Hanin dengan jujur.
"Ya tidak apa-apa, kita bisa tidur bersama di rumah." ucap Hasta berusaha mengerti keinginan Hanin.
"Bukan aku tak mau pak, aku hanya malu saja kalau di lihat orang, untuk itu pintunya aku kunci. Aku mau kok pak tidur denganmu." sahut Hanin dengan cepat tidak ingin membuat hati Hasta kecewa.
Dengan sedikit canggung Hanin mendekati Hasta.
"Bisa bergeser sedikit pak?" ucap Hanin sedikit gugup kemudian naik ke atas tempat tidur.
"Kalau kamu masih malu memelukku tidak apa-apa Nin, masih banyak waktu." ucap Hasta dengan posisi miring menatap Hanin yang masih canggung.
"Tidak apa-apa pak, aku juga ingin memelukmu pak." ucap Hanin sedikit gemetar saat kulit tubuhnya menyentuh kulit Hasta dan memeluk leher Hasta.
"Aku mencintaimu Nin." ucap Hasta saat Hanin sudah memeluknya.
"Aku juga mencintaimu pak." ucap Hanin menatap penuh wajah Hasta yang semakin dekat pada wajahnya.
Hasta menatap wajah Hanin seraya mengusap lembut wajah Hanin yang sangat halus.
Hanin memejamkan matanya menata hatinya yang berdebar-debar tak ada hentinya.
"Kamu gugup Nin?" tanya Hasta saat melihat Hanin berkali-kali menghela nafas panjang.
"Sedikit pak." jawab Hanin berusaha untuk tenang.
"Jangan panggil pak lagi Nin, panggil saja mas, kamu sudah menjadi istriku Nin." ucap Hasta ingin sekali Hanin memanggilnya dengan panggilan mas.
"Ya pak... mass." ucap Hanin dengan wajah memerah.
"Aku senang kamu memanggilku dengan panggilan mas Nin, kamu tidak keberatan kan ?" tanya Hasta menatap lembut wajah Hasta.
"Tidak mas, sama sekali aku tidak keberatan." ucap Hanin dengan tersenyum.
Hasta terdiam sejenak seperti menahan sesuatu yang akan keluar dari mulutnya.
"Uhukk.. Uhukk..Uhukk"
Hasta tidak bisa menahan lagi batuknya yang sekian jam di tahannya. Darah segar kembali keluar dari mulut Hasta.
Hanin bangun dari tidurnya segera mengambil tissue di atas meja dan di bersihkannya mulut Hasta dengan pelan.
"Aku panggilkan dokter ya mas." ucap Hanin dengan cemas.
"Tidak usah Nin, ini sudah biasa kalau aku kecapekan atau demam." ucap Hasta dengan tubuh yang mulai lemas.
"Ya sudah, mas Hasta istirahat dan tidur saja." ucap Hanin mengusap pelan wajah Hasta.
"Aku ingin tidur dalam pelukanmu Nin." tatap Hasta dengan penuh harap.
"Ya mas, aku akan memelukmu." ucap Hanin kembali berbaring dan memeluk Hasta dengan sayang.
"Trimakasih Nin." ucap Hasta menenggelamkan kepalanya dalam pelukan Hanin.
"Tidurlah mas." ucap Hanin mengusap punggung Hasta dengan penuh kasih sayang.
Tidak berapa lama kemudian Hasta sudah terlelap dalam pelukan Hanin.
Hanin yang mulai merasakan kantuk akhirnya terlelap juga dengan posisi tubuh saling berpelukan.
****
"Kenapa kamu pegang ponselku terus Sil?" tanya Rafka yang baru sadar dari pingsannya, dan melihat Silviana sedang membuka ponselnya.
"Kamu sudah sadar Raf? aku cemas menunggumu dari yang belum sadar-sadar juga." ucap Silviana dengan penuh perhatian.
"Kemarikan ponselku cepat." ucap Rafka yang dua hari ini demam karena memikirkan Hanin yang tidak mengabarinya sama sekali.
"Saat aku pingsan apa ada telepon untukku? terutama dari Hanin?" tanya Rafka dengan tatapan tajam.
"Tidak ada sama sekali." jawab Silviana berbohong dan sudah menghapus semua jejak Hanin yang menelepon ataupun yang kirim pesan.
"Ya sudah, kamu pulanglah dan jangan pernah lagi kamu pegang-pegang ponselku." ucap Rafka dengan nada dingin.
"Tapi Rafka, aku di minta mama kamu untuk menjaga kamu yang sedang sakit." ucap Silviana dengan merajuk.
"Pulang sekarang atau aku harus mengusirmu." ucap Rafka yang sudah hilang kesabaran menghadapi Silviana yang selalu mengejarnya.
"Baiklah aku akan pulang, tapi ingat Rafka aku tidak akan pernah menyerah sampai aku mendapatkan dirimu. Karena hanya aku yang pantas memilikimu." ucap Silviana tersenyum karena sudah menyingkirkan saingannya yaitu Hanin.