"Menurutmu kenapa dia dibawa ke butik itu," si berisik dengan middle part cut alias potongan rambut belah tengah ala Leonardo Dicaprio yang teridentifikasi bernama Arga, sedang mempertanyakan sesuatu yang tak perlu. Pemuda satu ini memang cenderung memiliki sifat anti mainstream, heboh dulu, seru dulu, mikirnya belakangan.
Tentu saja tangan lincah Anton menyasar kepalanya: "Otak loe kemana? Butik buat bobok cantik," Sarkas Anton geregetan.
"Beli baju," lirih Danil meluruskan percakapan janggal mereka. Introvert satu ini sedang melangsungkan pengamatan penuh rasa penasaran, buktinya dia yang malas bicara tersulut untuk bertanya: "kira-kira kenapa Mimi di bawa ke tempat itu?"
"Ya elah pertanyaanmu sama saja bro!" Anton berasa pengen melayangkan timpuk kan ke kepala Danil
"Yaelah kita pergi saja dari sini, kenapa?" Sultan mulai kambuh ke boringan-nya. Pemuda yang duduk di kursi belakang ini menggaruk rambut yang tak pernah rapi dari sana-nya. Tampangnya boleh keren and beken. sayang seribu sayang, rambutnya tak begitu ngetren. Keriting panjang awut-awutan alias long messy sebahu.
.
Mobil yang terparkir di seberang jalan sambil mengendap-endap penuh pengamatan tersebut tak lain dan tak bukan punya misi yang bisa di bilang menggelikan. Mereka sepakat akan melindungi Mimi sebagai tanggung jawab.
Keputusan tersebut dianggap enteng sebab dipikul bersama dan seirama, entah apa akibatnya dipikir belakangan saja.
***
(Di dalam butik)
Adegan klasik kian menarik, memang tidak ada kata biasa untuk gadis sederhana yang berbinar mata karena pertama kali melihat butik yang bajunya setara bayar kosan 7 bulan. Si sederhana yang dipaksa memasuki butik mewah sedang bergetar, mulutnya saja melongo, andai dia di foto akan masuk dalam akun Instagram @ngakakkocak atau @dagelan dan sebangsanya.
"Bisa kamu tutup mulutmu?" Suara Bram meruntuhkan ke terbengong-an yang sedang dinikmati gadis lugu.
Mimi secepat kilat menelan salivanya, sudah mirip adegan CEO Alpa dengan perempuan pecundang yang biasa di tampilkan film-film romansa.
"mengapa kamu memilih gadis ini," ekspresi Bram tak dapat dipungkiri, ia kurang setuju keputusan Sofia.
Bersama nuansa keterpaksaan Mimi masuk ruang ganti, Sofia berujar enteng sambil memunguti baju yang berjejer di sekitarnya, sangat enteng tanpa melirik brand apa lagi harga, "Aku, hehe, terinspirasi kisah novel-novel yang kubaca," ia yang terkekeh menyerahkan baju pada pelayan berseragam hitam yang setia mengekor gerak geriknya. Sejalan berikutnya turut duduk bersama Bram pada sofa nyaman tepat di hadapan pintu kamar pas yang menyajikan mini runway (catwalk).
"Gila kamu!" Bram mendorong tubuh Sofia supaya menjauh, dia kesal mendengar alasan tak logis Sofia.
"Kamu sadar nggak? Ini ide cemerlang dan perlu dapat bayaran," Sofia kembali mendekat pada Bram, melirik kantong tempat di sisipkannya dompet putra Dichter.
"Ah.. sahabat matre, tak tahu diri," desah Bram mengeluarkan lima lembar warna merah.
"Apa'an segini?? Beli lipstik ku saja tak akan cukup," Sofia mengerut sambil melirik dompet Bram untuk kedua kalinya, "Aku yakin rencanaku berhasil, percayalah, lebih baik kamu bawa gadis itu dan bikin Renata kembali gusar melihatmu, dari pada kamu menanggung malu kelihatan masih mengharapkan si congkak itu," Sofia bicara panjang lebar, anak matanya konsisten berpusat pada dompet Bram.
"Cukup! jangan ngomong sembarangan, dia perempuan terbaikku," Bram menutup dompetnya yang kini kosong tanpa lembaran. Sofia sempat menyelipkan jarinya ke dalam benda yang menyajikan barisan kartu.
"Ya.. ya.. kamu mencintainya," Sofia menyipitkan mata, "maaf, tak -kan ku ulangi, btw bau uang harum sekali," sofia menarik bibirnya, jejeran gigi putih meringis manis. Manajer dengan dua kepribadian ini mengibaskan lembaran merah ke wajah. Sofia unik, mengesalkan dan asik. Menjelma sebagai perempuan apa adanya dan cenderung norak di hadapan teman lama salah satunya Bram. Dan sontak berperilaku bijaksana dengan nada bicara berkelas ketika bergumul dengan para bawahan termasuk sahabat sosialitanya. Mayoritas perempuan di kalangan Sofia pandai memasang topeng demi popularitasnya di lingkaran pertemanan.
Maka dari itu Sofia buru-buru mengatur duduknya, ekspresi penuh pesona tersaji tatkala Mimi perlahan membuka pintu. Berjalan canggung di atas mini panggung runway.
"wooo.. aku bilang apa," Sofia bertepuk tangan memuji dirinya sendiri. "Hem.. cantiiik.." ibu manajer lagi-lagi membenarkan diri.
"Lihatlah Bram cantik -kan'," Bram nyengir menatap perilaku Sofia, perempuan tersebut berubah nada bicara.
"B aja," dingin Bram tak bersemangat.
"Kamu bilang apa?? Lihatlah," tangan Sofia naik turun heboh, berjalan mendekati Mimi. tampak mengitari tubuh gadis lugu tersebut.
"Uuuh, memang biasa saja," gerutu Sofia menyadarinya.
"Ganti deh," pinta Sofia.
.
Kemunculan Mimi kedua kali.
"Ganti lagi deh," masih saja tak ada beda.
.
Untuk ketiga kali.
"Ih, ini lebih gila," berikut celetukan Bram.
Mimi keluar dari kamar pas mengenakan dress polkadot mengembang dan topi lebar ala pantai. Sehingga gadis ini tersabda jadi tante-tante girang kelahiran 80-an.
"Ganti -ganti!" Sofia menepuk dahinya.
.
Yang keempat, akhirnya dua manusia lemas berselonjoran badan di sofa.
"kembalikan uangku!" Bram menatap Sofia dengan jemari bergerak-gerak meminta sesuatu yang sempat di ambil Sofia, "kalau yang kelima masih berupa kekonyolan.."
Buru-buru Sofia meletakkan telunjuknya pada permukaan bibir, mengharap Bram diam. Sofia kembali bangkit, memilih dan memilah lagi baju untuk Mimi, mondar-mandir ke segala arah.
"Bu Sofia, kenapa baju yang anda pilih terkesan melebihi umur saya," Mimi tak sanggup berganti baju, sambil mengikuti langkah sang manajer, dia mencoba memberanikan diri membuat pernyataan -penuh kehati-hatian.
"Karena Bram suka perempuan berumur," Sofia berceloteh seenaknya. Tanpa sadar Bram telah berdiri di belakangnya.
"Uangku! mana uangku!" tukas Bram.
"hehe.. Bram?" Sofia meliriknya sekilas sambil melempar gummy smile, tak menarik sama sekali, "Dengar! Em.. siapa namamu? -tadi?" Sofia berniat meluruskan otak lugu Mimi.
"Mimi," jawab Mimi spontan.
"Maksudku.. Bram itu suka yang dewasa," ucapan Sofia mendapatkan tatapan tajam dari pria berahang tegas, kilatan matanya menghunjam, "Oh' berpikiran dewasa. iya? pola pikir dewasa, penuh pesona keibuan, mandiri dan dewasa," berbagai upaya silat lidah dijalankan Sofia untuk mengamankan uangnya dengan menyenangkan hati Bram.
"Lalu kenapa saya harus beli baju? Dan kenapa disesuaikan kesukaan CEO Bram," ucapan Mimi sontak menggiring tatapan dua lawan bicaranya.
Mimi yang di tatap dua orang sekaligus menjadi kaku dan canggung, "Eh' maaf.. maaf kan saya," cukup mengejutkan, Mimi -lah yang minta maaf, mengakibatkan dua orang yang menjadi lawan bicaranya merasa aneh. Seharusnya gadis tersebut layak melayangkan protes. Akan tetapi dia sendiri yang mengawali ungkapan permintaan maaf.
Buru-buru Sofia menarik lengan Bram, menyingkir dan saling berbisik.
"Lihatlah Bram! anak itu naif," melirik Mimi sekali lagi, "kelihatan mudah dimanfaatkan, mending memanfaatkannya dari pada menyewa pacar bayaran (mahal). Kalau kamu memanfaatkan gadis itu, kamu tinggal mengandalkan kepiawaianku merombak dandanannya," Sofia mengangguk-angguk meyakinkan Bram, matanya bahkan berkedip berulang kali.
_ayolah Bram.. makan omonganku, memanfaatkan gadis itu bakal meningkatkan pendapatanku, hehe, aku siap jadi manajernya. Artinya aku kecipratan uang. Shoping-shoping tiap bulan_ otak Sofia kemana-mana, lupa tawanya terbit begitu saja, "haha," dia terkekeh.
"Ah' Kenapa aku merasa menzalimi anak orang?" Bram tak yakin. Pria ini memegangi dagunya.
"Ih' kebanyakan nonton sinetron TV terbang kamu! Apa Renata pernah jadi pemeran utama di sa-?" Sofia melempar uangkapan seenak jidat.
"Tidak -lah! Renata pemain film, perempuan anggun dan berpendirian, itu perannya" mata Bram menerawang aura bangga tengah mengguyur perenungannya, mantan pacar yang setia bersemayam dihati.
Renata belum tergantikan, "Jaga ucapanmu! jangan suka bicara sembarang,"
"Hais' ekspresimu, kau menakutiku!," jengah Sofia, "kau benar-benar membutuhkan Mimi! sangat perlu! membawa gadis lugu itu supaya tak terkesan selalu mengharap cinta Renata!" Bram muram seketika, setelah mendengar celetukan tanpa filter, Sofia.
"Okey," kata Bram meraih baju style berbeda, "coba kita dandani dia sesuai usianya, dan kepribadian?" _Aaah, dia tak punya kepribadian_ kerutan sempat menghiasi dahi Bram.
Pilihan Sofia ditarik, berikutnya diganti dengan pilihannya.
.
.
"Aku akan menyusup ke dalam!" tandas Anton.
"Maksudmu?" Arga mencoba mencerna akan tetapi masih saja tampak Lola.
"Dia mau menyusup jadi mata-mata!" Sultan tak tahan mengamati otak mode lama Arga.
"oh begitu, kalau gitu pakai jaket. mengurangi resiko ketahuan," Arga menarik jaket dari dalam tas Sultan.
"Buset bau amat!" Anton tak kuasa menerima jaket yang dipungut Arga.
"Nil.." Anton membuat panggilan, anak matanya melirik Daniel.
"Sorry jaketku tak sesuai untuk makhluk berkuman sepertimu," wajah datar Daniel menggiring tangan Anton dan Arga terangkat seolah ingin mencekiknya.
Anehnya, ketika Danil menoleh. Mereka berdua buru-buru mengalihakan kesibukan, merapikan kekosongan. Supaya terkesan sedang berkesibukan, bukan sedang kesal kepada pemuda berambut Man Bun kesayangan produser Yosan.