Chereads / DEWA / Chapter 5 - 5. Otak kriminal

Chapter 5 - 5. Otak kriminal

Sepertinya Tuhan masih belum mengizinkan aku untuk menghirup udara bebas.

Lombok? Batal!

Di saat-saat koper besar sudah terisi penuh dengan perlengkapanku untuk liburan selama tiga minggu, berita duka malah datang menghantam keluargaku.

Oma, perempuan tua yang sudah melahirkan dan membesarkan wanita terhebat di hidupku meninggal dunia. Ia kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa pada usia delapan puluh tahun.

Aku menyayanginya, tentu saja. Meski aku tidak pernah mendapatkan rasa sayang yang sama seperti saudara sepupuku yang lain.

Aku tidak membenci Oma, sungguh. Meski dia termasuk dalam list salah satu orang yang membuatku berada pada titik terendah. Meski dia adalah orang yang telah menghancurkan beberapa impian yang kubangun. Meski dia adalah orang yang sudah membuatku menjadi perempuan menyedihkan yang pernah ada. Tapi aku tidak pernah membencinya sama sekali. Aku menyayanginya selayaknya cucu lain ke neneknya.

Saat ini, aku dan kedua orangtuaku masih berada di rumah duka. Pemakaman telah usai sejak siang tadi dan akan dilanjutkan pembacaan Yasin pada malam hari. Karena itu kami masih di sini.

Aku ingin menyendiri sejenak. Sambil berkeliling, aku mencoba mengingat kenangan apa saja yang pernah aku lalui di sini. Namun nihil. Tidak ada satupun kenangan yang pantas untuk aku ceritakan. Semua hanyalah hal-hal yang mengurai air mata. Lebih baik lupakan saja.

***

"Nin, maaf ya kemarin gue gak bisa dateng ke pemakaman Oma lo." Suara Fia terdengar setelah ia memasuki mobilku. Aku tersenyum sekilas.

"Iya, Fi. Gue juga belom sempet jenguk nyokap lo di RS. Nanti ya bareng sama tiga cabe," ujarku sambil melajukan mobil membelah jalanan Ibu Kota. Fia mengangguk.

"Kita jemput Tika dulu atau langsung ke taman?" tanya Fia.

"Langsung ke taman aja. Si Tika dijemput Risa. Dia gak mau semobil sama lo. Kan lo suka usilin dia," cibirku.

Fia cemberut mendengar ucapanku. Memang benar kalau Fia ini suka sekali menjaili Tika. Kata si Tika, Fia itu bakal sesak napas kalau gak gangguin dia sehari aja. Ck, dasar.

"Awas aja tuh bocah, bakal gue kekepin terus kasih asap rokok. Biar mangap-mangap sekalian," sungutnya.

Aku terkekeh. "Otak lo mayan kriminal, Fi."

"Lo belom tahu aja se-kriminal apa otak gue ini," sahutnya.

***

Baru saja aku dan Fia mendudukkan diri di tikar yang kami gelar di taman, tidak lama kemudian Risa, Tika dan Amel muncul menampakkan diri. Akhirnya, mereka tidak ngaret terlalu lama.

"Jadi pengen es krim gue, Nin," ucap Fia membuatku mengikuti arah pandangnya.

Aish. Yang benar saja. "Lo mau es krim apa mau si penjualnya?" tanyaku.

Belum sempat Fia menjawab, terdengar suara Tika mendahului. "Udah lama gak jilat dia, Nin."

"Anjir, Tik. Mulut lo kadang ada benernya," sahut Risa.

Aku dan Amel hanya terkekeh mendengar ocehan mereka.

"Bangke lo semua," umpat Fia. "Pada mau es krim gak?" lanjutnya sambil berdiri bersiap untuk membeli es krim yang berada di ujung taman.

Kami kompak mengangguk, "Cogannya gue beli buat lo ya, Ris. Itung-itung nambah koleksi cogan lo," ujar Fia mencolek dagu Risa kemudian berlalu menjauh.

"Buat lo aja, nyet!" teriak Risa.