Ponselku yang tergeletak di atas meja depan sofa dari tadi tidak henti bergetar. Sepertinya grup bitch mulai rusuh.
Aku beranjak dari dapur untuk mengambil ponselku. Ku lihat waktu masih sangat pagi, pukul enam.
Benar saja. Grup WhatsApp para bitch sudah banjir dengan pertanyaan seputar malam pertamaku. Apa-apaan mereka. Kepo akut!
Aku tertawa membaca pesan yang dikirim Risa di grup.
Risa: Lo masih bisa jalan kan, Nin?
Dengan semangat aku membalasnya.
Nindy: Enggak bisa, Ris :( kayaknya hari ini gue di kamar aja deh.
Amel: Anjir! Kuat banget genjotan laki lo sampe segitunya.
Risa: Fak! Serius lo, bitch?
Aku tertawa bisa mengerjai mak kepo seperti mereka. Biar saja mereka mau mikir apa. Bodo amat.
Aku tersentak kaget saat merasakan lengan kekar memeluk perutku dari belakang.
"Masak apa, hm?"
Dewa benar-benar membuat kerja jantungku tidak beraturan. "Makanan kesukaan kamu, Mas. Tadi Mama nelpon, katanya kamu suka ayam goreng lada hitam."
Dewa mengangguk, "tapi Mas lebih sukanya sama kamu." Aku mengernyit bingung. "Tanpa baju," lanjutnya yang membuatku gugup.
Aku menepuk keras tangannya yang berada di atas perutku. "Apaan sih!"
Dewa terkekeh, "kapan?"
"Apanya?"
Dewa mulai bergerak meraba-raba perutku. Tangannya mulai masuk ke dalam baju tidur yang kukenakan.
"No bra, huh?"
Aku memang tidak suka tidur mengenakan bra. Rasanya sesak. "Mas aku lagi masak ini. Nanti hangus loh."
Bibir Dewa mulai menjelajahi leher dan tengkuk ku. "Matiin kompornya. Mas udah gak tahan."
Aku tahu maksud gak tahan versi Dewa pagi ini. "Entar malam aja, sekarang sarapan dulu, ya?"
Dewa makin gencar menggodaku dengan tangan dan bibirnya. "Dosa loh nolak suami."
Aku pasrah! Kalau sudah membawa-bawa status aku memang akan kalah. Aku mematikan kompor kemudian mencuci tanganku agar bersih.
Dewa dengan sigap mengangkat ku setelah aku membalikkan badan. Kini posisinya kaki ku melingkar di pinggang Dewa, sedangkan lenganku dilehernya.
"Kaget!" kesalku. Karena Dewa melakukannya dengan tiba-tiba.
"Lets go!"
***
"Pelan-pelan, Mas. Mmm..."
Dewa benar-benar membuatku kewalahan. Cumbuan bibir dan rabaan tangannya membuatku sesak napas menahan gairah.
Akhirnya aku resmi menjadi milik Dewa seutuhnya. "Astaga, ini..." Dewa tidak melanjutkan kata-katanya. Bibirnya sibuk menggoda payudaraku.
"Mashhh...."
Dewa hanya bergumam di sela-sela bibirnya mengemut milikku.
"Aku mau...."
Dewa semakin mempercepat gerakannya. Semakin menggempur milikku. Membuatku meledakkan sesuatu yang belum pernah aku rasakan.
Napasku terengah-engah. Dewa masih setia bergerak. Tidak lama kemudian aku merasakan aliran hangat memasuki rahimku. Napas Dewa memburu. Bibirnya kembali memangut bibirku. Tangannya kembali menggoda dadaku.
"Capek?" Aku menggeleng lemah. "Sakit?" tanyanya lagi.
"Awalnya, lama-lama enak," ujarku malu.
Dewa tersenyum lalu mencium kening ku lama, "lagi, ya."
Aku hanya pasrah melayani suamiku ini. Tenaganya seperti tidak ada habisnya. Ucapan ku di grup tadi sepertinya menjadi kenyataan, tentang aku yang akan di kamar saja seharian ini.
Astaga.
***
"Mas, ini dokumen penting?"
Dewa yang sedang fokus pada berita di televisi menoleh sebentar ke arahku yang sedang membereskan kamar kami.
"Iya. Itu dokumen buat rapat besok."
Aku berdecak heran melihat kelakuannya. Bisa-bisanya dia menaruh hal sepenting ini di sembarang tempat. "Aku masukin ke tas kerja Mas ya, takut kelupaan besok."