Bidadari, telah lama aku pergi menjauh darimu. Hilang bagai ditelan bumi. Dan tidak ingin bertemu denganmu lagi. Aku seperti sebongkah bangkai yang bisa berdiri namun tidak bisa membaca arti dari ketahananku sampai detik ini. Andaikan engkau tahu betapa aku bertahan dengan kondisi seperti ini. Mungkin, kau akan tertawa terbahak-bahak mengikuti alur ceritaku selama ini. Karena itulah awal yang ingin kau tunjukkan padaku waktu itu. Kau mengatakan bahwa dirimulah wanita terkejam yang akan membuat setiap laki-laki menjadi peramu bisu dengan kesemuan waktu. Dari tatapan matamu kala itu telah memberikan isyarat balas dendam yang tertanam sangat dalam pada lubuk hatimu. Entah, aku tidak tau. Tapi, sepanjang aku melihat saat ini, pelangi tidak lagi muncul kala gerimis terhenti ataupun hujan berhenti. Langit masih gelap untuk menuju kecerahan yang disambut matahari.
Bidadari, selingan waktuku telah menjadi kaku yang seolah menjamur diantara parasit-parasit. Tumbuh tersamar membentuk koloni-koloni yang merusak setiap ketulusan pada hati yang bertemu. Jujur, kondisi saat ini telah membuatku bosan dan aku seolah ingin membunuhmu . Tapi, itu semua selalu aku tahan dalam bisikan hatiku. Hingga aku memilih untuk berteman dengan waktu. Menanti saat dimana lencana terhembatku bersembunyi dalam paruh waktu yang tersisa saat ini. Bidadari, aku ingin melambai kepadamu. Tapi, tidak bisa! Bahkan aku ingin melepas ingatanku tentangmu tapi tetap tidak bisa. Sehingga jika kau membaca setiap diksi dalam puisiku seolah menggambarkan betapa diriku tersiksa dalam jeratan seperti ini. Aku ingin kau bebaskan agar hidupku tidak menjadi sia-sia. Bebaskanlah jeratan ini, karena hanya kamu yang bisa membebaskan ini semua. Tentunya dengan ridho Ilahi terhadap dirimu dan diriku. Karena sesungguhnya tiada daya dan upaya bagi mahluk. Selain menjalani takdirnya dengan sebaik mungkin. Aku tahu itu. Sepintas terlihat diriku bagai periang yang tanpa henti tertawa dengan hidup. Mengalir seperti air yang mengalir membasahi bumi dan memberikan kehidupan bagi setiap mahluk yang menyapa dengan kesyukuran.
Bidadari, ini semua sudah terlalu lama. Walau aku tahu dirimu tidak pernah merasa ikut andil dalam kesalahan fatal yang membuatku menjadi layu. Tapi, sudahlah. Jangan terlalu lama bersemayam dalam suramnya hidupku ini. Aku takut jika pikiranku sudah tidak seperti saat ini. Semua akan berbalik. Dan aku tidak inginkan itu semua. Karena aku hanya ingin kau tetap bersemi tanpa harus membeku. Jadi, cepatlah kau cabut setiap hiasan pada peluhku. Aku sudah bosan dengan semua ini. Hariku masih panjang kedepan. Langit pun telah menantiku. Maka, biarlah aku. Karena bagaimanapun kau telah tau bagaimana diriku. Dalam sunyi malam aku selalu bersahabat dengan sepi. Jadi hentikanlah permainan ini.
Bidadari kau tahu bukan bahwa sajakku selalu berlari menuju tempat yang sudah tersimpan rapi untuk ku buka kapan pun aku mau. Sebisa mungkin, aku tidak ingin membukanya karena akan mengalirkan hidupmu kembali suram seperti pertama kita bertemu. Saat ini, aku masih bisa bertahan untuk tidak melakukan itu semua. Karena aliran takdirku yang telah menyatu. Namun, kebisingan ini seolah membisik tanpa henti. Mengganggu pikirku serta menghambat imun. Hingga pada setiap malam aku selalu terbangun mengigau tanpa henti sampai tersentak membuatku membasuh muka mengalirkan kejernihan pada tubuhku ini. Menenangkan alam pikiranku dalam sepi. Serta merenungi setiap makna yang tersembunyi. Bidadari, hentikanlah aliran ini. Bebaslah kau dalam penjara batinmu yang masih menyimpan dendam itu. Cepatlah kau eratkan dirimu bersama dirinya yang saat ini kau berbagi tawa. Karena hanya dengan begitu. Diriku ataupun dirimu bisa terbebaskan dari jeratan ini. Dan aku ataupun kamu bisa dengan leluasa menyapa fajar hingga senja menyambut dengan bahagia. Semoga aku ataupun kamu tidak menorehkan luka terlalu lama dalam sepi.