Chapter 18 - BAB 18

Kenapa harus banyak tanya yang terlontarkan padahal itu semua tidak memiliki jawaban. Dan kenapa harus menjawab suatu yang tidak dipertanyakan padahal itu tidaklah terkenang. Mengulas dengan manja setiap barisan pena yang mengiringi langkah dalam pencarian. Bersinggah tak menetap membuat semua hati mulai gelisah. Kadang-kadang kisah ini seperti wayang jenaka yang membuatku ketawa tapi bisa juga menjadi drama yang membuatku menangis terkisah. Dikisahkan dengan gendang yang begitu menderang teriringi lagu kesenyapan malam. Aduhai, ini seperti roman pikisan dimalam yang bertabur musim semi kala siang hari. Dan paginya tertunda buat mencari arti. Tapi, itulah yang terjadi.

Bidadari tersembunyiku. Malam ini, langit kembali menangis seperti kamis ditempo itu. Menanti pagi jumat untuk mengatakan permisi berpamit pergi. Namun, tertahan bisikan tanah untuk sebentar mengorek isi hati. Dan sayang itu semua tidak bisa tergenang walau dengan terjangan air hujan tanda jeda menyapa bumi. Engkau tahu. Langit biru ketika pagi menghampiri seolah-olah memberikan ruang hidup bagi setiap pemimpi. Begitupun aku ketika itu yang bermimpi bersinggah dilangit untuk menyapa awan agar tidak terbang kesana kemari. Namun, awannya memang tidak bisa diajak berkompromi. Dia terus saja mengikuti arus angin yang belum pasti. Sangat berbeda dengan air laut yang selalu kembali ketempat dimana ia tinggal dan tidak akan pernah bisa pergi. Bidadariku. Apakah kamu tahu maksud isyarat dari kalimat yang penuh majas hyperkorek dan terkadang bermetafora dengan litotes yang menyampung bait kata perkata. Jika kamu tahu itu, maka hujan pada malam ini pastinya menyampaikan kepadamu dengan bisikan. Si jenakamu sekarang sedang rindu tapi sayang dia hanya sekedar rindu tidak lebih hanya untuk itu saja. Engkau tahu maknanya? Pastinya yang engkau torehkan hanya artinya saja sedangkan maknanya engkau seolah-olah amnesia diusia muda. Bukankah itu sayang sekali bidadariku.

Bidadari tersembunyiku. Hari kemaren telah aku titipkan satu surat mesra untuk engkau baca. Tapi, sayang terhanyut disungai yang akupun lupa namanya. Surat itu terhanyut dan seolah tidak ingin untuk dirimu menerimanya. Mungkin karena dia tahu bahwa selembar kertas hanyalah sebagai kabar sekilas dari warna putih yang terlintas dilihat mata. Begitulah sedikit apa yang kemaren aku sempat ingin sampaikan. Namun, sudah terlewat. Jadi, biarkan saja agar menjadi baca'an air yang menghayutkannya.