Berbagi ilmu yang bermanfaat adalah cita-cita Mahira. Dia yang kuliah jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar sangat suka sekali mengajar anak-anak kecil. Walau satu tahun yang lalu dia sempat bersitegang dengan Edo, pada akhirnya kegigihan Mahira membuahkan hasil. Edo menyerah di bulan ke enam Mahira mengajar di sana.
Ketua Preman itu akhirnya menyadari kalau adik-adiknya di sana butuh ilmu meski mereka tidak sekolah.
Flashback On
Mahira tampak kesal karena anak-anak di sana boleh mengaji dengan ustadz yang dia tidak tahu namanya. Tetapi dia dan teman-temannya yang ingin mengajari anak-anak itu dengan ilmu dunia tidak diperbolehkan oleh Edo.
"Bang, kamu tuh ga adil. Kenapa mereka boleh belajar ngaji? sedangkan belajar ilmu dunia tidak boleh? mereka juga butuh ilmu dunia, Bang." Mahira menegur Edo yang sedang mengamati anak buahnya yang dia sebut adik sedang belajar mengaji dengan seorang ustadz.
"Kenapa? lo ga suka? memangnya lo itu siapa? ngatur-ngatur gue? Mereka lebih membutuhkan ilmu agama dari pada dunia. Lo musti tahu itu." Edo mendekati Mahira. Membuat gadis itu berjalan mundur ketakutan dengan tatapan tajam Edo. Ustadz yang sedang mengajar itu memperhatikan wajah Mahira yang tak asing untuknya. Entah kapan ia melihat wajah itu.
"Ya abang ga adil.. aku kan juga mau berbagi ilmu sama mereka. Mereka juga butuh ilmu dunia, Bang."
"Eh, cewek batu. Mulai hari ini pergi lo dari sini. Dan ga usah ke sini lagi. Mereka ga butuh orang kayak lo yang ga tulus."
"Darimana lo tahu kalau gue ga tulus? lo bisa baca hati gue ha?" Mahira mengumpulkan keberaniannya untuk menentang Edo. Walau sebenarnya perasaan takutnya jauh lebih besar.
"Udah-udah Hira, kita pergi saja dari sini. Ga usah ribut-ribut. Malu sama orang." ucap Anisa yang tiba-tiba saja berada di samping Mahira.
"Inget ya bang, gue ga bakal nyerah. Besok pagi gue ke sini lagi buat ngajarin mereka." Edo hanya diam saat Mahira mengatakan itu. Dia memilih untuk menghampiri ustadz yang tampak sedang memperhatikan Edo dan Mahira.
"Maaf Tadz, ada insiden kecil. Biasa.. orang yang belagu. Pengen eksis di medsos dengan memanfaatkan anak-anak ini." Edo duduk di samping ustadz Wira.
"Memang dia siapa?"
"Namanya Mahira. Dia dan teman-temannya mempunyai kegiatan sosial mengajari anak-anak di sini membaca dan menulis, Tadz."
"Kenapa kamu melarang mereka? bukannya itu kegiatan yang positif?"
"Iya, aku tahu Tadz. Tapi aku cuma tidak ingin mereka hanya memanfaatkan anak-anak ini seperti yang sudah-sudah."
"Tidak semua orang punya pemikiran jelek, Do. Siapa tahu mereka memang benar-benar tulus."
"Bagaimana aku bisa melihat mereka tulus atau tidak, Tadz?
"Berilah mereka kesempatan. Jika mereka lebih banyak memegang ponsel dari pada mengajari anak-anak, artinya mereka tidak sungguh-sungguh. Anak-anak ini membutuhkan ilmu dunia juga, Do. Jadi ketika ada orang mau berbagi secara gratis, izinkanlah."
Sejak saat itu, Edo sering mengamati cara mengajar Mahira dan teman-temannya. Sampai beberapa bulan, Edo yakin Mahira tulus dan dia akhirnya mengizinkan Mahira mengajar di sana.
FLASHBACK OFF
"Hai, Bang... lagi ngapain?" Tanya Mahira yang baru saja selesai mengajar. Dan melihat Edo sedang duduk di atas Ban bekas sambil menghisap rokoknya.
"Lo ga lihat gue lagi ngrokok?"
"Galak amat sih lo.. Pantesan ga laku-laku."
"Biarin lah. Cewek ga penting buat gue."
"Sekarang aja lo bilang kayak gitu, suatu saat kalo lo tiba-tiba ketemu sama cewek yang bikin lo jatuh cinta, baru tahu rasa lo."
"Ga bakalan, Hir. Udah ga usah ngomongin cewek. Eneg gue. Eh, gimana perkembangan anak-anak?"
"Alhamdulillah mereka bisa mengikuti Bang. Bahkan Bojes sama Retro sekarang udah bisa baca dan berhitung."
"Syukurlah.. dua bocah itu emang paling susah diatur. Disuruh ngaji aja paling ogah-ogahan. Ustadz Wira sampai kuwalahan ngajarin dua anak itu."
"Ya Alhamdulillah. Eh, bang Ustadz Wira itu udah lama ya ngajarin ngaji di sini?"
"Sudah.. Dulu dia pernah nolongin gue pas lagi sekarat gara-gara dikeroyok preman kelompok Timur." Edo menerawang. Mengingat kejadian dua tahun lalu.
"Ga salah orang garang kayak lo bisa sekarat juga?"
"Gue juga manusia kali, Hir. Dan gue ga pake ilmu kebal apapun yang biasa dipake para preman. Waktu itu gue cuma sendiri. Sekuat-kuatnya gue pasti tumbang juga kalau mereka jumlahnya banyak."
"Terus Ustadz Wira yang bantuin lo?" Sampai saat ini Mahira belum tahu seperti apa Ustadz Wira. Dia hanya pernah bertemu sekilas saja.
"Iya waktu itu dia lagi nyari-nyari tempat buat ngajar ngaji. Dia liat gue tergeletak di jalan, akhirnya ditolong sama dia dan dibawa ke rumah sakit. Kalau bukan karena ustadz Wira, gue mungkin udah Ko It kali."
"Bisa aja lo bang. Itu karena Allah masih ngasih elo kesempatan buat hidup."
"Iya juga sih. Sejak kenal Ustadz Wira, gue jadi lebih baik. Ya meski gue belum bisa ninggalin dunia hitam ini. Tapi setidaknya gue udah ga sekejam dulu. Gue berusaha menghindari benturan antar kelompok. Ga mau bikin masalah lah intinya. Semua anak-anak buah gue juga tak suruh jadi anak baik lah di jalan. Meski susah saat mereka kadang kepancing dengan preman kelompok lain. Kehidupan di jalan itu ga mudah, Hir." Edo kembali menghisap rokoknya.
"Iya, bang gue tahu. Tapi gue salut sama lo yang sekarang."
"Jangan bilang lo jatuh cinta sama gue."
"Idih PD banget jadi orang. Ga bakalan gue suka sama lo."
"Hahaha... awas kemakan omongan lo baru tahu rasa lo." Edo tersenyum melihat Mahira sekilas. Membuat pipi Mahira memerah. Gadis itu hanya berusaha menyembunyikan perasaan ya dari Edo.
Sedangkan Edo tak berani memiliki perasaan lebih pada seorang gadia karena latar belakangnya yang akan susah diterima di keluarga normal di luar sana. Termasuk keluarga Mahira yang menurutnya mungkin orang yang terpandang.
Tanpa mereka sadari ada lelaki berpeci yang melihat kebersamaan mereka. Dia yang pernah melihat Mahira dari foto yang dibawa oleh Abinya, sekarang mulai mengerti kenapa Mahira tak pernah mau dijodohkan dengannya.
Seperti yang ia dengar dari Ustadz Wahyu, putrinya itu benci sekali dengan laki-laki sholih. Aydin sudah tahu semua tentang Mahira dari Ustadz Wahyu. Dan mungkin ada baiknya dia mengganti penampilannya dan mendekati Mahira. Ia ingin mengubah pandangan Mahira tentang laki-laki sholih. Yang selalu menjadi kekhawatiran terbesar Ustadz Wahyu selama ini.
'Mahira, tidak semua laki-laki sholih itu berniat poligami. Semoga aku bisa meyakinkanmu akan hal itu." Aydin tersenyum lalu mengambil sepedanya dan mengayuh menuju rumah kediamannya.