Menunggu dosen saat bimbingan skripsi memang membosankan. Belum lagi nanti Mahira harus siap-siap dicorat coret sama dosen pembimbing kalau ada yang kurang berkenan di hatinya. Kalau sudah begitu, Mahira cuma bisa mengelus dada. Ikhlas melihat hasil karya yang sudah satu minggu ditulisnya dengan penuh perjuangan, hanya bisa teronggok disudut mejanya. Lalu merevisi lagi sesuai keinginan sang dosen pembimbing. Tidak cukup sampai di situ saja, parahnya lagi jika Dosen pembimbing I berbeda pendapat dengan Dosen pembimbing II. Berasa pengen pecah kepala Mahira dibuatnya.
Pak Wiguna, rencananya akan membimbing Mahira setengah jam lagi. Dia harus menyiapkan Argumen yang sekiranya bisa menguatkan tulisannya ini. Skripsi Mahira sudah hampir selesai. Kalau hari ini dia acc, maka bulan depan dia bisa wisuda.
"Mah.. Mah.. how are you sayangku?" Anisa sahabat Mahira menepuk pundak gadis berhijab itu.
"Mah mah.. Emang gue mamah lo?"
"Galak amat sih Hir.. Pak Wiguna dateng jam berapa?"
"Bentar lagi juga dateng. Gue lagi ngecek bab terakhir gue nih. Ga usah ganggu deh."
"Kalau hari ini acc, berarti bulan depan lo ikut wisuda ya?"
"Iya InsyaAllah. Pengen cepet lulus gue."
"Emang mau ngapain sih cepet-cepet lulus?"
"Gue ga mau ngabisin duit abi. Biar gue ga dipaksa nikah lagi. Capek gue dijodoh-jodohin terus."
"Kalau gue jadi lo, bakalan seneng banget kali hir dijodohin sama laki-laki sholih. Apalagi ustadz."
"Iya seneng. Terus kalau
sudah satu bulan nikah, dan tahu lo banyak kekurangan, dia bakal cari istri lagi. Karena menurutnya dirinya yang sempurna, ga pantas bersanding sama lo yang banyak kurangnya. Seneng lo kayak gitu?
"Sebegitu bencinya lo sama laki-laki alim sih Hira.. Hira.. Udah di ubun-ubun kayaknya ya." Anisa yang sudah tahu semua permasalahan keluarga Mahira, hanya bisa mendukung yang terbaik untuk sahabatnya itu.
"Otak gue udah terdoktrin untuk membenci laki-laki macam begitu, Nis."
"Kalau Bang Edo gimana?"
"Ngapain sih bahas bang Edo lagi."
"Eh, wajah lo koq merah?"
Mahira hanya diam tak menanggapi Anisa. Gadis cantik itu kembali teringat wajah Edo setelah sahabatnya menyinggung laki-laki yang berprofesi sebagai preman dan bertato itu. Laki-laki yang telah mencuri perhatiannya.
"Alhamdulillah gue acc, Nis." Mahira berlonjak kegirangan saat keluar dari ruang dosen. Memeluk sahabatnya yang tampak kebingungan karena tiba-tiba dipeluk. Sampai mahasiswa yang duduk di kanan kiri mereka pada melotot karena suara Mahira yang berisik.
"Alhamdulillah.. selamat ya. Akhirnya bulan depan lo bisa wisuda bareng gue. Hehehe."
"Yuk gue traktir."
"Bakso dua porsi ya."
"Iya.. tapi harus habis ya. Awal lho kalo ga habis."
Mahira dan Anisa berjalan menuju kantin. Hari ini dia ada jadwal mengajar anak-anak jalanan. Mahira dan Anisa adalah sebagian kecil dari mahasiswa yang peduli dengan anak-anak jalanan. Mereka membuat kegiatan bimbingan belajar untuk anak-anak yang sebagian besar putus sekolah itu. Mahira sedang mengusahakan agar bimbingan belajar yang mereka buat itu bisa menjadi sekolah gratis yang resmi.
"Lo mau langsung ke Rumah Belajar Pelangi, Hir?"
"Iya, mumpung masih siang. Mau ikut ga?"
"Enggak ah. Gue balik aja, Hir. Nyokap gue lagi sakit. Gue mesti cepet pulang."
"Oke deh.. semoga nyokap lo cepet sembuh."
Mahira dan Anisa mengambil motor mereka masing-masing. Lalu berpisah saat di gerbang kampus. Kali ini Mahira akan menuju ke Rumah Belajar yang ia bangun bersama teman-temannya untuk memberi bimbingan belajar untuk anak-anak yang putus sekolah. Walau mereka belum bisa membantu anak-anak itu kembali ke sekolah, setidaknya bisa sedikit membantu anak-anak itu agar melek huruf dan angka.
Perjalanan ke rumah belajar membutuhkan waktu lima belas menit. Di sana sudah ada teman-teman Mahira yang sedang mengajari beberapa anak. Memang tidak banyak, hanya mereka yang sudah selesai dengan aktivitasnya yang ikut belajar. Karena mereka mempunyai pekerjaan di jalanan. Ada yang tukang parkir, ada yang ngamen dan penyemir sepatu bahkan ojek payung. Bang Edo adalah ketua Preman yang menangani para anak jalanan itu. Mulai dari memberi pekerjaan hingga memberi perlindungan pada anak- anak ini ketika berada di jalan. Yang kadang harus bersinggungan dengan kelompok Preman dari daerah lain.
Walau pada awalnya Edo sangat membenci kegiatan yang Mahira dan teman-temannya lakukan.
FLASHBACK ON (Setahun lalu)
"Apa-apaan ini? Mau ngapain kalian di sini?" Seorang preman dengan tato di lengannya tiba-tiba menggebrak meja yang digunakan Mahira untuk mengajari anak-anak jalanan.
"Eh Bang yang sopan donk. Kita di sini cuma mau ngajarin mereka aja koq. Emang ada yang salah."
"Iya salah. Karena kalian itu tidak tulus membantu mereka. Hanya pengen eksis di medsos saja kan? Udah sering orang-orang kayak kalian itu yang sok dermawan tapi riya."
"Jangan sembarangan kalau ngomong ya bang. Kita semua tulus dan abang lihat kan tidak ada di antara kita yang pegang ponsel."
"Halah belagu lo. Ayo bocah keluar. Ga usah belajar. Kalian kerja aja buat keluarga kalian. Kalian pinter juga ga bakalan bisa kerja enak." Laki-laki bernama Edo itu membubarkan proses belajar anak-anak. Sontak semua anak mengikuti pimpinan mereka.
"Tunggu Bang.. Jangan gitu donk. Kasihan mereka. Walau mereka hidup di jalanan, setidaknya mereka punya wawasan agar tidak mudah ditipu orang." Mahira berlari mengejar Edo hingga ke bantaran rel kereta. Laki-laki itu mengambil sebatang rokok dan menghisapnya lalu menghembuskan asapnya kasar hingga Mahira terbatuk-batuk dengan aroma tembakau yang menyengat.
"Jangan sok pinter lo jadi orang. Mereka itu cuma butuh uang. Mereka ga butuh sekolah, Nona." Ucap Edo menatap Mahira tajam. Laki-laki ini sama sekali tidak terlihat seperti preman. Wajahnya yang tampan, dengan hidung mancung dan rahang yang tegas. Badannya yang tinggi berotot. Membuat Mahira sejenak terpesona saat ditatap sedemikian intens oleh Edo.
"Bukan begitu Bang. Mereka itu butuh belajar. Agar mereka bisa pintar. Setidaknya untuk bekal mereka sendiri. Agar tidak dibodohi orang ketika di jalan."
"Menurut lo itu penting?"
"Ya penting lah Bang."
"Lo sa..."
teeeeeeettttttttt... "Awas... " Edo menarik Mahira saat tiba-tiba ada kereta yang lewat. Dan kini Mahira berada di pelukan laki-laki itu.
'Wanginya nih cowok. Dia preman apa bukan sih? wanginya maskulin banget.' batin Mahira.
"Sudah lewat keretanya. Jangan kesenangan lo dipeluk sama gue. Kalau ga gue tarik udah Innalillahi deh lo." Edo mendorong tubuh Mahira dari pelukannya.
"Enak aja. Siapa juga yang suka dipeluk sama lo. Bau asep rokok begitu. week..."
"Udah sana pulang. Temen-temen lo juga diajak pulang. Dan jangan pernah kembali ke sini lagi." Mahira hanya bisa pasrah kalau sudah begini. Dia tidak ingin membuat masalah. Dan berurusan dengan preman itu. Tapi besok dia akan mencoba untuk mengajar lagi. Dia tidak akan menyerah. Untuk berbagi ilmu dengan anak-anak di sana.
Mahira berjalan dengan lesu. Dia akan memberitahu teman-temannya tentang masalah ini. Saat melewati sebuah pos ronda yang hanya terbuat dari bilik kayu sederhana, Mahira melihat Edo bersama laki-laki berpeci sedang mengajar mengaji anak-anak. Edo tampak akrab dengan lelaki itu.
'Itu ngajar ngaji aja boleh. Masa aku ngajarin baca tulis aja dilarang. Dasar preman tengil.'