Chereads / Yogyakarta in Love / Chapter 2 - |YIL 01|

Chapter 2 - |YIL 01|

Jangan meremehkan orang menjomlo karena bisa jadi, nasibmu lebih buruk darinya.

•||•

Namanya adalah Erlangga. Iya. Erlangga Mahardika. Sosok laki-laki berusia 29 tahun yang tahun ini akan memasuki umur ke 30 pada bulan Agustus mendatang. Diumurnya yang memasuki penghujung 29 tidak serta merta membuat Erlangga ingin mempersunting wanita untuk ia kasihi dan sayangi.

Sang Papa—Revan dan juga adik-adiknya sudah berusaha membantu Erlangga dalam mencarikan Kakaknya jodoh. Namun sayang seribu sayang, rasa enggan untuk menikah masih saja melekat di dirinya.

"Mas Langga?"

Erlangga menoleh dan menatap ke ambang pintu. Sosok Sabima dengan pakaian khas orang kantoran menyapa matanya. Adiknya itu kini bekerja di perusahaan sang Papa guna menggantikan Papanya yang mundur dari jabatannya sebagai CEO perusahaan karena umurnya yang semakin bertambah tua.

"Ada apa, Bim?"

Bima—begitu orang memanggilnya—merangsek masuk dan menutup pintu kamar Erlangga. Kaki panjangnya bergerak mendekati sang Kakak yang sedang duduk menghadap jendela dengan iPad di tangannya. "Tiket kereta lo nih, Mas."

Tangan Bima menyodorkan sebuah tiket dengan tujuan Stasiun Tugu Yogyakarta pada Erlangga yang kini tersenyum manis.

"Asik! Makasih, Bim!"

Bima hanya berdehem kecil. "Lo kenapa ngotot banget mau naik kereta sih, Mas? Padahal naik pesawat lebih enak. Lebih cepat."

Erlangga tertawa kecil mendengarnya. Membuat Sabima yang dari tadi berbaring di ranjang sang Kakak menjadi terbangun. "Kenapa ketawa lo?" tanya Bima pada Langga.

"Hak gue, dong?"

Sabima berdecak.

"Bima, Bima, selera lo dari dulu emang nggak pernah berubah, ya. Masih selalu tinggi." Erlangga bangkit dari ranjang dan memilih mengambil sling bag Eiger berwarna biru dongker lalu memasukan iPad beserta handphone-nya ke dalam sana. Ia juga mengambil charger dan powerbank serta memasukannya juga ke sana.

"Maksudnya, Mas?"

"Ya... Selera lo dari dulu tuh selalu tinggi, Bim. Nggak salah sih sebenarnya. Nggak ada aturan tertulis kalau kita nggak bisa berselera tinggi selagi uang di kantung lo memadai, tapi kalau gue jadi lo, dari pada menghabiskan lima ratus sampai jutaan rupiah buat bisa naik pesawat, gue rasa, uang segitu bisa gue jajanin di Yogyakarta sana." Ada kekehan di ujung kalimatnya.

Sabima mendengus. Erlangga dan segala keprihatinannya akan hidup terkadang memang membuat Sabima berpikir kalau Kakaknya ini pelit.

"Ya itukan lo, Mas, bukan gue. Lagipula kalau gue pikir-pikir ya, penghasilan lo selama jadi tukang bangunan juga nggak dikit, Mas. Malahan uang lo bisa lebih banyak dari gue," kata Bima.

Kini giliran Erlangga yang mendengus. "Uang gue bisa banyak karena job gue, Bima. Beda sama lo yang berpenghasilan tiap bulan. Sedangkan gue? Gue emang gede penghasilannya, tapi sekalinya nggak ada klien, yaudah, gue nggak megang uang." Tangan Erlangga bergerak membuka lemari baju dan menatap kaus-kausnya di sana.

"Tapi kan selama ini lo selalu dapet job, Mas. Siapa sih yang nggak kenal Erlangga Mahardika? Arsitek tampan dengan segala prestasi dibidangnya? Gue yakin, orang-orang juga bakalan mempertimbangkan lagi buat nyari orang yang biasa aja ketimbang milih lo, Mas."

"Gue biasa aja, kok. Nggak usah terlalu berlebihan."

Sabima menarik napas. "Yaudah deh, suka-suka lo." Mata Sabima melirik jam di tangan kirinya yang sudah menunjukan waktu 17.00 sore. "Kereta lo berangkat jam berapa, Mas?"

Erlangga menarik resleting celana jeans yang dia pakai lalu menoleh menatap Sabima sambil mulai mengancingkan kancing kemeja flannel-nya. "Jam setengah tujuh. Anter gue ke Senen, yuk!"

•••••

—Kacang goreng!