Chapter 4 - Bab 3

Seminggu sebelumnya.....

Bulan yang sedang melihat kalender mendengus kurang semangat. Uang sakunya nampaknya tidak akan mencukupi untuk acara bulan depan. Lima minggu dari sekarang Bulan harus mengikuti olimpiade yang mengharuskan dia tinggal dikarantina selama tiga hari. Untuk kebutuhan pribadi tidak disediakan oleh panitia.

Meskipun Bulan adalah penerima beasiswa, tetapi tetap saja dia membutuhkan tambahan uang untuk pegangan selama karantina. Tidak memungkinkan untuknya meminta tambahan dari Mbak Dian maupun Mas Agus. Keluarga dari Mas Agus yang sedang sakit mengharuskan tabungan keluarga ini terambil.

Meminta dari ketua panti pun tidak masuk hitungan Bulan. Adik-adik panti lebih membutuhkannya. Donatur panti semakin berkurang, keadaanya juga sulit untuk mereka sekarang.

Jikalau tidak ada beasiswa, bisa dipastikan Bulan harus berhenti bersekolah. Untung saja kerja kerasnya membuahkan hasil baik. Jadi setelah lulus sekolah menengah pertama dan mendapatkan beasiswa, dia ikut tinggal dengan Dian dan suaminya di kontrakan sederhana.

Bulan ikut membantu Dian mengerjakan kerja borongan yang bisa dibawa pulang ke rumah. Kadang menjahit tas kue, kadang kopiah, kadang sarung bantal atau apapun kerjaan yang bisa dibawa pulang. Untuk saat ini pesanan sedang sepi, jadi juga berkurang pendapatan yang diterima mereka.

Berbaring di atas ranjangnya Bulan memikirkan berbagai cara agar menghasilkan uang, tentu dengan cara yang halal. Biar hidup pas-pasan di panti, tapi penanaman nilai akhlak dan moral di jaga ketat oleh pengurus. Didikan mereka ketat untuk anak-anak panti. Mengharuskan mereka tetap bersyukur dengan keadaan mereka, karena di luar sana banyak yang lebih tidak beruntung dari mereka.

Mereka diajari beberapa keterampilan yang bisa menghasilkan uang. Usai sekolah, mereka menjahit, membuat kerajinan, bahkan ada yang membuat berbagai macam kuliner untuk di titipkan di warung-warung terdekat. Hasilnya mereka berikan pada ketua panti untuk dikelola.

Donatur untuk biaya hidup dan pendidikan anak panti tidaklah banyak. Hanya seorang pengusaha tua saja yang menjadi donatur tetap. Setiap bulannya mengirimi uang yang cukup untuk kebutuhan pokok. Untuk itu anak-anak panti masih harus berjuang untuk kehidupan yang lebih layak.

Panti asuhan tempat Bulan tinggal dulu tidak terlalu besar. Hanya ada sepuluh anak di sana. Yang tertua adalah Dian dan Asih, dan sepantaran dengan Bulan ada tiga anak. Dan usia di bawah Bulan ada empat anak. Satu anak kelas dua sekolah menengah pertama, dua anak masih kelas empat sekolah dasar, dan yang terakhir kelas dua.

" Cari kerja di luar bisa gak ya? atau ikut warungnya Bik Tikah aja, bantu cuci piring sama beres-beres. Kan lumayan deket dari rumah, jadi pulang sekolah bisa langsung ke sana."

" Kalo deket gitu, sama Mbak Dian juga pasti dibolehin, udah kenal juga sama orangnya. Lebih aman." ujar Bulan sendiri.

" Minta izin Mbak Dian ah, moga aja dibolehin." Bulan langsung bangkit dan mencari Dian di ruang tengah. Jam segini biasanya Dian sudah mantengin sinetron karena memang kerjaannya sepi dan sudah selesai dari sore hari.

" Mbak, Bulan mau izin nih. Mau kerja bantuin Bik Tikah diwarungnya. Boleh ya?" kata Bulan saat duduk di samping Mbak Dian sambil makan kripik singkong.

" Warung Mbak Tikah ujung gang? memang buka lowongan?" tanya Dian.

" Ya besok pulang sekolah mau tanya-tanya dulu. Tapi minta izin dulu sama Mbak, nanti udah diterima kerja Mbaknya gak bolehin." jawab Bulan

" Kalo bisa tanya-tanya dulu ditempat lain, tau sendiri warungnya buka 24 jam. Nanti malah sekolah kamu yang kerepotan. Nilai kamu harus tetep tinggi biar bisa dapetin beasiswa."

" Ya kan tanya dulu kerjanya gimana, sampe jam berapa. Kalo gak cocok ya gak usah diambil. Selama udah bisa pulang jam 10 malem, udah cukup kok. Bulan masih bisa ngatur waktu buat belajar."

" Hah...maafin Mbak ya, kali ini gak bisa bantu kamu. Mbak mau cari kerja diluar juga gak enak sama langganan yang sudah ada." kata Dian dengan wajah lesu.

" Apaan sih Mbak, kan udah biasa kita kayak gini. Dulu di panti kan kita juga diajarin kuat, masak sekarang udah letoy gitu. Mbak itu udah ter the best buat aku." kata Bulan sambil mengacungkan dua jempol di depannya.

" Mungkin karena udah tua ya, makanya jadi lemes. Hahahah." kata Dian sambil tertawa.

" Iya, udah tua sering lupa juga. Makasih ya Mbak untuk semua." balas Bulan sambil memeluk leher Dian.

###########################

Keesokan harinya...

Sepulang sekolah Bulan langsung mampir ke warung Bik Tikah. Berharap di sana dia bisa diterima kerja bantu-bantu. Jadi bulan depan dia sudah gak pusing dengan biaya tambahannya.

" Oh,,,,,gak ada lowongan ya Bik." kata Bulan lesu.

" Iya Neng, yang bantu Bibik aja udah lima orang. Itupun yang satu sering nganggur, ditambah anak Bibik yang sering kesini bantu-bantu. Jadi maaf ya." kata bik Tikah.

" Gak pa-pa Bik. Permisi." pamit Bulan dengan tidak semangat.

Rencana yang diharapkannya bisa membantu ternyata gagal. Mau tidak mau dia harus berusaha mencari lagi kerja lainya. Sebelum pulang Bulan mampir ke tempat orang yang biasanya memberi kerja borongan pada Dian dan dirinya di rumah. Sesampainya di sana Bulan juga harus kecewa dengan jawaban si paman.

Ini rumah ketiga yang di sarankan si paman tadi. Rumah orang selain paman tadi yang suka memberi borongan pada warga sekitar. Hasilnya sama, kerjaan sepi tidak ada banyak yang bisa dibagikan.

Dengan langkah pelan Bulan pulang kerumahnya. Hari ini sudah senja, dia sudah lelah berkeliling kesana kemari. Besok sepulang sekolah dia akan mencari kerja lagi.

Sesampainya di depan rumah, terlihat Agus sedang bersiap untuk keluar. Istrinya berdiri di depan pintu mengantar kepergian suaminya.

" Baru pulang Bulan?" tanya Agus.

" Iya Mas, tadi tanya-tanya di warung mbak Tikah, ternyata belum butuh orang katanya." jawab Bulan sambil mencium tangan Agus dan istrinya.

" Emang susah jaman sekarang nyari kerja, apalagi kamu masih sekolah. Orang pasti pikir-pikir kalo mempekerjakan kamu. Cari pelan-pelan dulu, nanti Mas bantu tanya-tanya ditempat lain, moga ada."

" Iya Mas, makasih."

Agus pun mengucapkan salam dan langsung pergi menggunakan motor bebeknya. Motor yang sudah lama menemaninya sejak awal berpacaran dengan Dian. Dulu, sewaktu Bulan kecil, dia sangat senang saat di ajak jalan-jalan naik motor bertiga. Hanya itu yang menjadi hiburan mewah untuk hidup Bulan yang sederhana di panti.

Agus sudah menganggap Bulan seperti adiknya sendiri. Saat kecil, dia selalu nempel sama Dian. Kadang sampai kewalahan saat ingin berdekatan dan bercanda berdua. Selalu ada mata kecil yang mengikuti setiap gerak kedua orang tersebut. Benar-benar pengawas cilik yang merepotkan.

" Mas mau kemana Mbak malem-malem begini?" tanya Bulan.

" Ke rumah Ibuk, katanya kangen mau ketemu. Abis dari rumah sakit kok belum di jenguk. Mbak sih udah sering ngingetin, tapi Mas mu susah dibilangin. Gini nanti Ibu ngiranya Mbak gak bolehin Mas mu sambang ." jawab Dian.

" Kapan sih Mbak Ibunya Mas Agus nganggap Mbak sebagai anaknya sendiri? Paling enggak kayak anak mantu gitu." desah Bulan kecewa.

" Pasti suatu hari nanti Ibu bisa nerima kita sebagai keluarga, bukan hanya Mbak aja." jawab Dian sambil mengelus rambut bulan.

" Masuk yuk, dah maghrib nih. Gak baik galau-galauan di depan pintu. Bisa kesambet setan. "

" Iya, setannya ketawa kayak gini. "

" HIIIII..HIIIII..HIIIII..HIIIII...."

Mereka berdua masuk ke dalam rumah dengan tertawa bersama. Sejenak bercanda berdua melepas penat dan beban pikiran. Waktunya berdoa pada sang pencipta.