Tiga tahun yang lalu setelah Nizam melamar Zahro.
Nizam tengah dalam perjalanan menuju tempat kerja. Pria beratribut safety itu memacu kuda besi gedenya dengan kecepatan tinggi. Tiba saat Nizam sampai di jalanan lurus besar, dia yang terlena pun kembali mempercepat laju kendaraan tersebut. Sampai Nizam terlambat menyadari ada seorang ibu-ibu yang hendak menyebrang jalan.
"Astaghfirullah! Aaaaaa!!" jerit Rima kala melihat motor besar melesat cepat ke arahnya.
Nizam yang terkejut pun reflek mencengkram rem motor tersebut dengan kuat seraya memalingkan stangnya ke arah lain. Langsung dia terpental dan berguling-guling keras di permukaan jalan dengan diiringi pekikkan badan kendaraan yang bergesek dengan aspal.
Tak selang lama, orang-orang segera berlarian ke arahnya untuk menolong. Tubuh Nizam begitu lemas saat dibopong menuju mobil bak terbuka. Napasnya memburu dengan debaran tak menentu. "Ya Allah, apakah aku akan mati?" batinnya.
Sekujur tubuh Nizam gemetar dengan kepala terasa pusing berputar-putar. Dia tak dapat memahami apa yang disampaikan oleh orang-orang yang menolong. Alhasil, Nizam pun hanya bisa pasrah meski dia tak tahu akan dibawa ke mana.
Sesampainya di rumah sakit, Nizam segera mendapatkan tindakan medis.
"Siapa keluarganya?"
Tampak dua orang pria yang mengantar Nizam saling menatap. "Kami bukan keluarganya, kami hanya menolong mengantarkannya kemari." Salah seorang dari mereka pun menyerahkan ransel milik Nizam kepada perawat tersebut manakala pihak rumah sakit akan membutuhkan identitas pasien.
Perawat pria itu langsung menerimanya lalu lekas kembali menuju ranjang Nizam. "Keluarganya belum ada yang datang, Dok. Sepertinya belum ada yang memberitahu."
"Coba kamu cari ponsel di tasnya."
"Baik, Dok." Perawat pria itu pun lekas mencari di dalam tas punggung Nizam. Setelah ketemu, segera dia menghubungi kontak yang dinamai "Ayah". Selesai memberitahu pihak keluarga pasien, cepat dia menuju ke bagian administrasi untuk menyetorkan tanda pengenal Nizam.
Raut wajah panik dan cemas kedua orang tua Nizam kentara terlihat kala tiba di rumah sakit.
"Zam Zam, ya Allah!" Yulia-ibunya langsung menangis saat tiba di ranjang sang anak.
"Zam Zam." Ahmad-ayahnya tampak khawatir. Dia takut tatkala ada luka dalam di tubuh sang anak.
Nizam hanya bisa diam dengan sesekali meringis menikmati perih di serentetan luka yang terdapat pada sekujur tubuhnya.
"Selamat siang." Dokter IGD mendekati mereka.
"Gimana keadaannya, Dok? Apa ada luka dalam?" tanya Ahmad yang gelisah.
"Alhamdulillah, sejauh ini pasien nggak menunjukan adanya gejala luka dalam, Pak. Hanya terdapat beberapa lecet saja," jelas Dokter. "Tapi, kita harus tetap melakukan tes untuk memastikannya."
"Iya, Dok." Ahmad dan Yulia merasa agak lega. "Terus kapan kami bisa membawanya pulang? Apakah anak saya harus menjalani rawat inap?" tanya Ahmad lagi.
"Nggak, Pak, nggak usah. Hari ini, segera setelah cairan infus-nya habis, pasien boleh pulang," jawab Dokter. "Dan untuk hasil tesnya, baru akan bisa diambil besok."
"Iya, Dok. Terima kasih." Ahmad.
"Sama-sama, Pak." Dokter IGD itu tersenyum dengan ramah lalu undur diri.
"Gimana perasaanmu, Zam?" Yulia menatap miris sang anak.
"Lemas dan sakit-sakit semua, Bu."
Air mata Yulia pun kembali luruh. "Ya Allah, Zam, banyak banget lukanya." Dia tidak dapat mengendalikan kesedihan saat melihat begitu banyak luka di tangan dan kaki sang anak.
Ahmad hanya mampu mengelus lembut punggung sang istri. Hingga satu jam kemudian, cairan infus Nizam akhirnya habis dan dia pula diperbolehkan pulang.
"Ayo, Nak. Ibu bantu kamu ke mobil."
"Nggak apa-apa, Bu. Aku udah nggak pusing dan udah bisa jalan sendiri." Nizam masuk ke mobil kedua orang tuanya, sendiri.
Keesokan harinya, Nizam yang sudah membaik pun datang ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes. Namun, saat dia memintanya ke bagian Laboratorium, petugas di sana malah menyuruh Nizam untuk mengambil hasil tes tersebut di dokter yang menanganinya kemarin.
Kendati Nizam lekas menuju ruangan dokter yang ditunjukan sang pegawai rumah sakit tadi. Kemudian dia mengetuk pintu yang tergantung nama Dokter Nurohman dan saat terdengar orang di dalamnya mempersilakan, Nizam bergegas masuk.
"Oh, Nizam. Silakan duduk," ucap Dokter.
Nizam mengangguk segan lalu mengikuti arahannya.
"Mau ngambil hasil tes?"
"Iya, Dok."
Dokter itu pun tampak membuka laci di bawah meja kerjanya untuk mengambil map. Setelah ketemu, dia lekas membuka map tersebut lalu membacanya. "Hasil rontgen bagian kepala dan dada, oke. Alhamdulillah nggak ada cedera berarti di kedua bagian tubuh tersebut."
"Alhamdulillah." Nizam ngeplong.
Dokter Nurohman tersenyum simpul. "Saya belum membacakan semuanya."
"Baik, Dok."
Dokter Nurohman tampak membaca isi map itu dengan cermat lalu kembali beralih kepada Nizam. "Saya tahu kondisi badanmu sedang baik-baik saja sekarang, tapi saya harus memberitahumu sesuatu. Supaya kamu bisa berhati-hati lagi nanti kedepannya."
"Ada apa, Dok?" Nizam agak penasaran.
"Jangan khawatir, kita masih bisa melakukan pencegahan."
"Pencegahan?"
"Tolong dengarkan saya baik-baik." Dokter itu tampak menatap Nizam dengan serius. "Nizam, hasil tes darahmu kemarin telah menunjukan kalau kamu positif terjangkit virus HIV," jelasnya perlahan.
Bak tersambar petir di siang bolong, Nizam amat tercengang dengan berita itu. "Ha-HIV?" Kenyataan itu cukup keras menghantam batin Nizam. Pemuda itu melengung. Dia masih mencoba mencerna perihal yang baru saja diketahuinya kini.
Dokter pun mengangguk dengan roman wajah sendu. "Tenangkan dirimu, Nizam. Virus itu nggak akan langsung berkembang dan kami mempunyai obat yang bagus. Kita bisa menghambat perkembangan virus itu melalui perlakuan yang tepat dan kamu bisa melanjutkan kembali hidupmu seperti biasa."
Nizam bergeming dengan rona wajah tegang. Tatapannya membuntang dengan sorot kosong. Pusatnya tak henti merapalkan penjelasan Dokter Nurohman barusan. "HIV? Aku HIV?" hatinya gelisah dengan disertai kecemasan. Seketika Nizam merasa tak keruan. Dia memijat keningnya dengan wajah yang sudah tegang dilumuri keringat. Nizam syok.
Air pun langsung menggenangi telaga matanya. Manik yang semula berbinar itu segera berubah merah. Tak berputus asa, Nizam lekas menampar pipinya dengan keras, memastikan kalau itu bukan mimpi. Kemudian gegas dia menelungkupkan kedua tangannya ke muka kala merasakan sakit. Dia tersedu dengan detak jantung tak kerasan.
Dokter Nurohman menatap iba ke arah pemuda di depannya. Dia kasihan saat melihat lelaki semuda Nizam harus tertular virus tersebut. Dokter Nurohman dapat melihat raut yang kentara akan syok dan kesedihan. Dia pun ikut terhanyut terbawa perasaan. "Kamu harus kuat, Nizam. Ini bukan akhir dari hidupmu."
Nizam tidak mendengarkan, sebab dia masih dikuasa syok dan ketakutan, serta rasa sedih yang menikam. Ini buah dari pergaulan bebasnya dulu. Sekarang dia merasakan sendiri akibatnya. Hukuman karena perbuatan bodohnya yang suka menzalimi diri sendiri. Nizam menyesal. "Ya Allah, apa ini hukuman dari-Mu untukku?" kalbunya meracau.
Assalamuallaikum. Makasih kepada
pembaca yang sudah mau memasukan cerita
ini ke pustakanya.
Semoga kalian akan terhibur.☺️🙏❤️