Chereads / Aku Ingin Tidur Denganmu / Chapter 3 - 3. Indah

Chapter 3 - 3. Indah

"Astagfirullahaladzim." Nizam terus beristighfar selama dalam perjalanan menuju rumahnya. Teringat kembali bagaimana raut murka sang ayah tadi membuat Nizam merasa bersalah. Nizam bukan tidak ingin berbakti, bukan pula dia suka menyakiti hati. Dia hanya tidak mau menyusahkan Zahro apalagi sampai menjangkitinya, Nizam tidak ingin. "Maafkan saya, Yah, Zahro. Saya nggak mau menyakiti kalian, tapi saya nggak mempunyai pilihan."

Nizam melajukan Pajero-nya dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu 30 saja dia sudah sampai di kediaman pribadinya. Rumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Sesampainya di rumah, Nizam langsung menuju ke bilik air untuk membersihkan diri. Selesai, dia pun gegas menuju petiduran.

Nizam terlentang seraya menatap kosong ke langit-langit. Dia sungguh tak menyangka kalau dirinya baru saja membatalkan pinangan untuk Zahro. Salahnya, semula Nizam berniat mengunjungi kediaman keluarga gadis itu untuk membatalkan khitbah secara baik-baik. Sayang Nizam terlalu pengecut. Beberapa kali dia mengurungkan niat itu hingga tibalah hari ini. Nizam selalu merasa seperti lelaki yang konyol kala teringat kembali bagaimana mantapnya dulu dia berjanji. Namun, kini, Nizam tak dapat menepati. Dia terkekeh sumbang.

Air pun merangsak keluar dari sudut mata Nizam. Kesedihan seketika menyerebak memenuhi dadanya. Nizam bersusah hati. Dia masih mencintai Zahro dan belum ikhlas melepaskan gadis itu. Nizam sangat ingin memilikinya. Namun, di sisi lain, dia sadar betul keadaannya. Hanya saja secuil daging di ulu Nizam yang belum rida ditinggalkan Zahro. Sulit, dia membutuhkan waktu. "Ya Allah, tolong aku," batinnya seraya tersedu.

Mencintai itu memang mudah, yang sulit itu saat ingin memilikinya tetapi, Tuhan tidak menghendaki. Rasanya itu lebih sakit daripada ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya. Bila putus bercinta, setidaknya pernah bisa saling memiliki. Sementara Nizam, dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan sedetik pun untuk memiliki gadis pujaannya. Terlalu berrisiko.

"Azam, sudah saatnya." Zahro menepuk bahu Nizam yang tengah melamun.

"Hmmm?" Nizam bingung.

Zahro tersenyum manis. "Ucapkan kalimat itu agar kamu bisa menghalalkanku. Raih tangan papa, Azam."

Nizam melihat sosok ayah Zahro duduk di hadapannya mengajak untuk berjabat tangan. Kemudian pandangan Nizam beralih melihat sekeliling. Suasana dekorasi putih dan hiasan bunga warna warni tampak mempercantik tempat itu. Nizam amat terkejut kala menyadari dirinya tengah berada di pernikahannya sendiri.

"Ambil tangan papaku, Azam. Lapalkan ijab kabulmu." Zahro.

Nizam menatap Zahro yang duduk di sampingnya lalu menurut dengan hati yang mantap.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Nizam Airlangga bin Ahmad Abdul Sakar dengan anak saya, Zahrotussita Aamira dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat, dibayar tunai." Pria paruh baya yang menjabat tangan Nizam menghentakan genggamannya.

"Saya terima nikahnya Zahrotussita Aamira binti Rizal Firmansyah dengan mas kawin, seperangkat alat salat, dibayar tunai,"

Seketika seruan "sah" pun menggema memenuhi ruangan tersebut. Nizam amat bahagia. Dia juga dapat melihat senyuman suka cita Zahro kepadanya. "Alhamdulillah," ucap Nizam bersyukur.

"Mas." Zahro meraih tangan Nizam lalu mengecupnya.

Nizam pun lekas mencium kening Zahro lalu memeluknya erat. "Zahro, aku mencintamu. Terima kasih karena kamu sudah mau menjadi istriku."

Zahro pun mengeratkan pelukannya tanpa menyahut.

Tiba saat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Laungan azan membangunkan Nizam dari lelap serta membuyarkan mimpi indahnya. "Ya Allah, ternyata itu hanya mimpi." Dia mengusap wajahnya penuh sesal. "Om Firman kan, sudah meninggal." Nizam teringat mendiang ayahhanda Zahro yang sudah meninggal dari sejak gadis itu kecil. Namun, fokusnya teralih saat Nizam melihat jam dinding. "Astagfirullah." Segera dia bangun lalu melesat menuju kamar mandi.

Usai melaksanakan salat Subuh, Nizam termenung di atas sajadahnya. Dia terpikirkan mimpi indahnya barusan. "Apa maksud semua itu ya Allah?"

Mimpi itu membuat Nizam selalu membayangkan wajah Zahro. Bahkan konsentrasinya agak terpecah karena hal tersebut. "Ya Allah." Nizam kembali mengusap wajahnya lalu fokus menyetir lagi. 

Namun, sesekali dia akan tersenyum-senyum sendiri, hingga tiba saat Nizam mengingat kondisi tubuhnya, roman murung pun segera menggurat erat di air muka seolah enggan lenyap. "Astagfirullahaladzim. Aku harus lebih tahu diri."

Kini Nizam tengah dalam perjalanan menuju alamat pabrik yang baru saja dikirim Iwan-rekan kerjanya. 20 menit kemudian Nizam pun sampai di lokasi yang dituju. Dia memarkirkan mobil di depan sebuah pabrik terbengkalai yang gerbang besinya telah usang. Segera Nizam menelepon nomor ponsel yang dikirimkan Iwan. Orang yang akan dihubunginya ini merupakan pengurus pembongkaran bangunan tersebut.

[Assalamualaikum] Sambungan telepon pun terhubung.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Pak, ini saya Nizam dari Pt LD Jaya Makmur. Saya sudah sampai di depan gerbang."

[Oh Pak Nizam, sebentar, Pak. Saya ke situ sekarang] Rusli-pengurus pembongkaran itu lekas menuju lawang gedung tersebut.

Sesampainya di sana, Rusli dan Nizam pun bersalaman.

"Pak Nizam, dibawa ke dalam saja mobilnya. Di dalam ada lahan parkir luas."

"Baik, Pak."

Nizam pun menaiki kendaraan lalu memasuki kawasan dan memarkirkan mobilnya. Turun dari roda empatnya, Nizam langsung menghampiri Rusli.

"Berapa perkilonya, Pak, besi tua ini?" tanya Rusli seraya mempersilakan Nizam mengikuti langkahnya.

"Tergantung kualitasnya, Pak. Kalo kelas A harganya 4500 rupiah per kilogram. Kalo kelas B, 4000 rupiah per kilogram."

"Oh." Rusli mengangguk paham.

Nizam dan Rusli pun sampai pada gunungan besi di sisi lain gedung. Tampak puluhan pekerja juga masih sibuk di area pabrik itu memunguti dan melucuti besi serta baja lalu memikulnya ke gundukan. Nizam melihat dengan cermat tumpukan besi dan baja di hadapannya. "Besi-besinya kelihatan masih cukup bagus, nggak terlalu berkarat dan nggak banyak lapisan cat juga chrome."

"Jadi masuk kelas apa, Pak besi-besi ini?"

"Belum bisa saya tentukan, sebab besinya tercampur. Nanti saya akan mengirim beberapa pekerja untuk memisahkan besi-besi ini sesuai kualitasnya, Pak."

"Baik, Pak."

Nizam melihat jam di pergelangan tangan. "Saya rasa sudah cukup melihat-lihatnya, Pak. Kalau begitu, saya pamit. Nanti siang para pekerja saya akan ke sini untuk menyortir dan menimbang beratnya lalu mengangkut besi-besi ini ke penampungan."

"Oh baik, Pak. Mari saya antar ke depan." Rusli.

Nizam hanya membalas dengan anggukan. "Untuk pembayarannya, nanti sore saya akan menemui bapak lagi."

"Siap, Pak."

Nizam yang sudah duduk di kursi kemudi pun menyalakan mobilnya. "Saya duluan, Pak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Kendaraan Nizam pun melaju membelah jalanan hingga 15 menit kemudian dia sampai di peron Pt. LD Jaya Makmur. Langkah Nizam di selasar kantornya pun seketika terhenti saat tiba-tiba ada seseorang memanggilnya. Nizam berbalik. "Zahro?" herannya.

Zahro tersenyum lalu mendekati Nizam. "Assalamuallaikum, Azam."

"Waallaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Nizam tak sanggup menyembunyikan kekagetannya saat melihat gadis itu. Ini seperti kejutan, sebab dikala dia tengah memikirkan Zahro, tiba-tiba saja gadis itu muncul di hadapan. "Ngapain kamu di sini?"

"Saya ingin mengajakmu keluar sebentar, bisa?"

Assamuallaikum.

Makasih buat yang selalu menunggu

cerita ini. Insya Allah memberikan manfaat, yah.

Jangan kapok baca ceritaku.

Makasih.☺️🙏