Temaram mulai menyelimuti langit, seolah menyuruh mereka para kandidat untuk segera memulai misi. Ain bersama dengan 8 orang kandidat yang berasal dari kelompok 1, 2, dan 3 sudah berkumpul di gerbang utama Centra Head Cerberus. Heim dan Vabica juga ikut berada di sana.
Heim bertugas untuk memegang kelompok 3. Sedangkan Vabica memegang kelompok 2, tempat Riev dan kembarannya berada. Tidak lama mereka menunggu, datanglah sebuah mobil hitam besar beroda 6 dikendarai oleh seorang pria yang bertugas sebagai pengamat kelompok 1. Di sisi kanan dan kiri mobil itu terpasang Lambang Cerberus sebagai identitas.
Mereka tidak bisa menggunakan Trava karena terlalu mencolok kalau bepergian melalui jalur udara. Lagipula, hutan tempat tujuan mereka tidak begitu jauh. Jadi mereka harus menempuh jalur darat menggunakan mobil khusus pasukan Cerberus.
Sekitar 2 jam lamanya perjalanan mereka tempuh sampai akhirnya mobil itu berhenti. Mereka harus parkir jauh dari tempat tujuan guna mencegah pergerakannya diketahui oleh para bandit Night Blood.
Setelah perkemahan bandit itu terlihat, mereka segera mengatur strategi. Kelompok 1 langsung menempati titik di dekat pintu masuk perkemahan. Kelompok 2 bersiaga di atas bukit bersama dengan kelompok 3. Mereka ditemani oleh Vabica dan Heim yang langsung memerhatikan gerak-gerik keenam kandidat, menilai seberapa detailnya perencanaan mereka.
Mereka beruntung memiliki Kiev di kelompok. Senjata Kiev merupakan senjata jarak jauh berupa senapan. Dengan begitu, pasti akan mudah bagi kelompok 2 untuk melumpuhkan penjaga yang berada di sekitar tenda utama tempat pemimpin Night Blood berada.
Sedari tadi Ain hanya terdiam memerhatikan area perkemahan bandit yang ada di bawah bukit kecil tempat mereka berada. "Ada yang aneh," ujar Ain dengan alis berkerutnya.
"Ada apa?" tanya Heim. Heim juga sudah menyadari ada sesuatu yang tidak beres di sana. Namun ia menjadikan momen itu untuk menilai kemampuan pengamatan Ain.
"Aku sempat mencari info soal bandit Night Blood. Mereka kelompok barbar yang senang berpesta-pora. Setiap malam mereka berpesta dengan hasil jarahan dari kota dekat perkemahan mereka. Tapi kali ini begitu sunyi. Terlalu sepi untuk 'Night Blood' yang terkenal barbar," Ain menempelkan kepalan tangan kanannya di dagu sembari berpikir. Ia punya kebiasaan memasang pose itu kalau tengah berpikir keras.
Heim tersenyum puas mendengar jawaban dari Ain. "Kau benar. Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi kita tidak boleh mundur. Semua, bersiaplah."
Ain sempat melirik sebentar ke arah Agna. Ia melihat alis Agna yang mengkerut. "Mungkin benar apa yang ia katakan," pikir Ain.
Setelah sinyal diberikan, kelompok 1 mulai bergerak. Mereka menyerang secara terang-terangan di pintu masuk perkemahan, cukup jauh dari tempat Ain dan yang lain berada.
[•X-Code•]
Kelompok 1 berhasil mengalihkan perhatian. Banyak bandit yang berlari ke pintu utama. Kelompok 2 dan 3 berlari dari atas bukit menuju ke sisi kanan perkemahan, tempat terdekat dengan tenda utama.
Riev berlari paling depan bersama seorang gadis yang ada di kelompoknya. Ain, Lond, dan Agna berlari di belakang mereka. Sedangkan Heim dan Vabica mengikuti dari belakang sambil menilai sekaligus bersiaga jikalau ada hal tak diinginkan terjadi.
Riev menyentuh cincin miliknya, mengeluarkan senjata berbentuk tongkat dengan sabit besar yang tajam di ujungnya. Senjata miliknya dikenal dengan sebutan Scythe. Senjata yang konon dipakai oleh dewa kematian dalam cerita-cerita dongeng.
Dengan Scythe itu Riev menebas beberapa penjaga yang bersiap menghadang mereka. "Sekarang!" ujar Riev pada gadis yang ada di kelompoknya. Gadis itu mengeluarkan cambuk, namun ia terjatuh karena kakinya terbelit cambuk miliknya sendiri. Gadis itu gugup sampai tidak bisa mengendalikan cambuknya sendiri.
"Cih!" Riev merasa geram. Ada sedikit rasa menyesal ia rasakan karena sudah memilih gadis ceroboh itu sebagai anggota kelompoknya. Tugas yang seharusnya diselesaikan oleh gadis itu kini harus diselesaikan oleh Riev.
Akhirnya, Riev sendirilah yang melesat menebas para penjaga. Untungnya Kiev membantu dengan menembak para penjaga yang hendak menyerang Riev dari arah belakang dan samping, arah yang tidak terlihat oleh Riev.
Suasana perkemahan ricuh oleh serangan para kandidat Cerberus. Namun kondisi di sana masih tetap rancu bagi Ain. Ia tidak menyangka kalau para bandit bisa semudah itu dikalahkan. "Lalu, selemah apa pasukan keamanan Munkan sehingga tidak bisa menghadapi bandit yang sangat lemah ini?" pikirnya.
"Maju!" dengan lantang Riev memberi komando setelah berhasil membuka jalan untuk kelompok 3. Para bandit masih tersisa banyak, namun Riev dan Kiev mampu menghalau mereka.
"Ain, berhati-hatilah," ucap Riev sambil menatap Ain dengan tajam begitu mereka berpapasan. Ain mengangguk sembari terus berlari menuju tenda utama yang lebih besar dan mewah dibandingkan tenda lain. Tenda itu mirip tenda yang sering dipakai oleh kelompok sirkus, bedanya tidak berwarna-warni. Hanya ada warna hitam legam yang terlihat di permukaan tenda.
[•X-Code•]
Bau amis darah menyeruak begitu mereka masuk ke dalam tenda, memberi sensasi mencekam. Banyak jasad yang telah terpotong beberapa bagian, bergelimpangan di sana. Di bagian tengah tenda, duduk seorang pria paruh baya. Pria itu menenteng kepala buntung, kepala ketua bandit Night Blood.
Kehadiran sosok pria itu membuat mata Heim terbelalak. Tubuh Heim bergetar hingga giginya mengeluarkan suara gemertak.
Pria itu berdiri lalu melempar kepala yang ia tenteng sebelumnya.
"Grief!!!" pekik Heim. Ia menyentuh cincin miliknya hingga sebilah pedang yang besar muncul berwarna biru menyala namun sedikit transparan. Pedang itu tidak terbuat dari logam, melainkan Plasma yang dibentuk sehingga menyerupai benda padat. Mereka biasa menyebutnya 'Plasma Padat'. Itulah teknologi persenjataan pasukan Cerberus. Lain dengan senjata Prototype yang diberikan pada para kandidat yang masih terbuat dari logam.
"Kalian mundurlah! Walaupun kalian bertiga, kalian tidak akan bisa mengalahkannya!" pekik Heim sambil berlari ke arah pria yang dipanggil Grief itu.
Heim menebas Grief dengan cepat. Namun Grief berhasil menghindar, bahkan Grief meluncurkan serangan bertubi pada Heim dengan sangat cepat. Saking cepatnya sampai hampir tak terlihat.
Berbagai bentuk pukulan Grief luncurkan, lalu diakhiri dengan tendangan yang menimbulkan suara keras di bagian perut Heim. Heim terpental jauh, mendekat ke arah Ain yang hanya terpaku mengamati setiap pergerakan Grief.
Heim yang terjerembab di tanah berusaha bangkit, namun ia malah memuntahkan darah. Tubuhnya gemetar hebat akibat serangan Grief.
"K-Kau…." Heim menatap Grief dengan tajam. Grief tersenyum lebar hingga gigi taringnya terlihat.
"Cerberus. Mudah sekali memancing kalian," Grief menyeringai meremehkan.
"Apa… Tujuanmu….?!" Heim berusaha berbicara walau sakit. Perut yang perih membuatnya kesulitan untuk bernapas.
Grief menunjuk Agna yang terlihat pucat. "Aku ingin membawa gadis itu."
Mendengar perkataan Grief, Ain memasang posisi siaga di depan Agna. Ia berniat untuk melindungi Agna.
Grief kembali tersenyum lebar melihat sikap Ain. "Bocah sok pahlawan, huh?" ujarnya meremehkan. Namun Ain tidak berkata sepatah katapun.
Lond yang sedari tadi terdiam, mengeluarkan kapak miliknya sambil menarik Agna dengan kasar. "Master!! Aku berhasil! Bolehkah aku bergabung denganmu sekarang?!" ia mendekap Agna.
Heim terkejut sekaligus marah melihat Lond, yang ternyata bersekongkol dengan Grief.
"Jadi begitu….?" ujar Ain tenang. "Aku paham sekarang," Sambungnya lagi. Ain merubah posisinya yang semula memasang kuda-kuda, kini berdiri tegak dengan tangan masuk ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Grief terdiam mendengar perkataan Ain. Sedangkan Heim menatap Ain dengan tatapan heran, tidak mengerti maksud dari perkataan Ain.
"Apa maksudmu… Ain….?" ujar Heim lirih sembari memegangi perutnya yang masih terasa sakit luar biasa.
"Agna membisikan sesuatu padaku saat aku memperkenalkan Lond padanya. Dia mengucapkan satu kalimat, 'Pengkhianat'. Awalnya aku tidak memahami maksudnya. Beberapa kali aku mencoba menghiraukannya. Tapi Agna sepertinya ingin memberitahu sesuatu. Aku tahu Agna bukan gadis biasa. Ia memiliki daya analisa yang luar biasa. Ia bisa mengetahui segala data tentangku. Bahkan sampai mengetahui golongan darahku. Itu artinya, dia punya kemampuan membaca DNA seseorang. Tidak mustahil baginya untuk mengetahui seorang pengkhianat. Tadinya aku masih belum tahu, pengkhianat seperti apa Lond. Lalu soal kondisi perkemahan ini. Master Heim juga sudah merasakan ada yang tidak beres di sini. Instingku berkata kalau ini ada kaitannya dengan Lond," jelas Ain dengan tenang. Sebenarnya ia merasa takut pada Grief. Namun Ain yang tidak bisa mengungkapkan perasaan malah jadi terlihat tenang. Itu sebuah keuntungan baginya.
"Hahaha. Menarik. Tapi, percuma saja," ucap Grief dengan penuh rasa percaya diri.
"Oh ya? Aku tidak yakin soal itu," Ain menjawab dengan rasa percaya diri yang tak kalah dari Grief.
Bruuk! Tiba-tiba saja Lond ambruk ke tanah. Tubuhnya dipenuhi jarum-jarum yang tertancap di beberapa titik. Heim masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Namun setelah Heim menoleh pada Agna, barulah ia tahu apa yang terjadi. Senjata Agna adalah jarum dengan jumlah yang tak terbatas.
"Kau sudah menyadarinya, Master? Senjata Agna adalah jarum-jarum itu. Dia punya daya analisa yang tinggi. Tentu dia bisa mengetahui titik syaraf dari tubuh seseorang. Aku sudah membuktikannya," jelas Ain pada Heim.
"Iya! Dia membuatku ditusuk jarum sampai tak bisa bergerak!" ujar Riev. Ia bersama dengan Vabica masuk ke dalam tenda, menyusul mereka yang sudah berada di dalam terlebih dahulu.
Ain menoleh lalu menatap Riev dengan tajam.
Riev memahami maksud tatapan Ain, ia tersenyum lalu berkata, "Tenang saja. Kiev sedang memanggil bala bantuan. Sebentar lagi para Master akan tiba. Butuh waktu beberapa menit saja untuk tiba ke sini dengan menggunakan Trava." Ain mengangguk pelan.
Heim yang masih berusaha untuk berdiri mengamati kedua pemuda itu. "Ain… Kau merencanakan semua ini? Hanya dengan berbekal satu kata dari Agna….?" Heim masih tidak menyangka kalau Ain bisa menyusun siasat seperti itu dengan petunjuk yang begitu minim.
Ain hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan Heim. Benaknya tengah berpikir keras, mencari cara untuk bisa bertahan di sana.
"Riev, Master Vabica, tolong bawa Master Heim dan Agna pergi," ujar Ain setelah cukup lama terdiam.
"T-Tunggu Ain! Jangan gegabah!" bantah Heim yang berusaha bangkit untuk menghampiri Ain.
Namun Riev merangkul dan membawanya pergi.
"Riev?!" Heim berusaha untuk kembali, namun tubuh lemahnya tak kuasa melawan tenaga Riev yang memboyongnya keluar.
"Master, Apa Master tidak memperhatikan tangan Ain?" tanya Riev dengan tenang.
Heim hanya terdiam mendengar perkataan Riev. Dia memang sempat melihat Ain memasukan kedua tangannya ke dalam saku, tapi ia tidak menyangka kalau ternyata ada hal lain yang Ain rencanakan. Awalnya ia sempat mengira sikap Ain itu tidak berarti apa-apa.
[•X-Code•]
Begitu Riev, Heim, Vabica dan Agna berada di luar tenda, barulah Ain mengeluarkan tangannya dari saku jaket miliknya. Ia menggenggam bola kecil di tangan kanan dan kirinya. Ia melempar bola itu ke tanah, menimbulkan ledakan kecil yang diikuti keluarnya asap tebal dengan cepat dari dalam bola.
"Sekuat apapun, dia tidak akan bisa bergerak dalam kondisi seperti ini," ujar Ain sembari mengeluarkan senjata miliknya.
Ia sudah mempersiapkan masker yang dilengkapi dengan infra-red sebelumnya. Sehingga ia bisa melihat menembus asap tebal. Ia pun menyerang Grief dengan cepat. Namun Grief bisa menghindari serangannya. Walau dalam kepulan asap tebal, namun Grief bisa mengimbangi serangan tanpa harus melihat pergerakan Ain.
Mereka berdua hanya menyerang dan menghindar tanpa bisa mengenai satu sama lain. Sampai akhirnya Grief terdiam lalu berkata, "Oke sudah cukup."
Seketika kepulan asap di dalam tenda terhempas keluar, tertiup angin. Jantung Ain berdegup kencang, tubuhnya terasa sangat berat hingga ia terjerembab di tanah dengan posisi telungkup. Ia tidak bisa menggerakan tubuhnya walau seujung jari. Untuk berbicara pun ia tidak mampu.
Grief berjalan pelan lalu berdiri di samping, sejajar dengan kepala Ain. "Tak ku sangka rencanaku bisa digagalkan oleh seorang kandidat Cerberus. Namamu… Ain, bukan? Aku tak sabar untuk berjumpa denganmu lagi," ucap Grief sambil berlalu pergi.
Lond yang sebelumnya terkena serangan Agna hingga lumpuh memanggil Grief dengan lirih saat Grief berjalan melaluinya. Namun Grief tidak menggubrisnya. Grief tidak berhenti, bahkan tidak melirik sedikitpun ke arahnya.
Tidak lama, beberapa Trava datang berkat Kiev yang menyalakan sinyal darurat dari gelang miliknya. Sayangnya, Grief sudah tidak ada di sana begitu bala bantuan tiba. Mereka pun segera dibawa ke dalam Trava. begitu juga dengan Ain dan Lond yang berada di dalam tenda.
Ain berada di dalam Trava yang sama dengan Heim. Mereka berdua terbaring bersebelahan, lemas tak berdaya.
"Master, apa yang Grief lakukan? Tubuhku tiba-tiba saja tidak bisa bergerak. Apakah itu… Sihir?" tanya Ain yang masih menyimpan rasa heran.
"Tidak ada yang namanya sihir. Yang ada hanyalah sesuatu yang belum kita pahami. Kau lupa?"
"Iya, aku tahu. Tapi rasanya seperti terkena sihir."
"Itu teknologi pelumpuh syaraf. Teknologi canggih yang bahkan tidak dimiliki Cerberus. Tapi daripada itu… Ain, apa alasanmu menumbalkan diri di tenda? Jawabanmu akan menentukan kelulusanmu. Cerberus bukanlah pasukan yang bodoh, yang 'mengorbankan diri demi teman'. Kita tidak mengenal kata-kata itu," tanya Heim sambil menoleh ke sebelah kiri, tempat Ain terbaring lemas.
Tubuh Ain sudah mulai bisa bergerak sedikit, namun ia masih merasa sangat lemas. "Aku hanya memerhitungkan tingkat kesuksesan. Grief bahkan bisa mengalahkanmu, Master Beladiri dari Left Head Cerberus. Kalau Riev yang mengulur waktu, bisa dipastikan rencana ini gagal. Ia sudah terlebih dahulu bertarung saat membuka jalan. Agna? Tentu saja dia pilihan terakhir yang akan ku ambil untuk mengulur waktu. Aku juga tidak bisa membiarkan Master Vabica ikut campur. Ini adalah pertempuran kami, para kandidat. Sejujurnya, aku sedikit kecewa dengan tindakanmu, Master. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang membuatmu sampai lepas kendali. Jadi, tingkat keberhasilan tertinggi yaitu dengan menempatkan diriku di posisi pengulur waktu. Setidaknya, kalau aku gagal, hanya ada 1 korban. Bukankah itu yang terbaik dilakukan?" Ain menjelaskan isi pikirannya secara rinci. Hanya ketika menjelaskan rencana atau hal-hal yang berbau misi, Ain bisa berbicara secara luwes.
"H… Hahaha…." Heim hanya tertawa tanpa bisa menjawab perkataan Ain. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi Ain. "Sampai jumpa di upacara kelulusan, Ain," ucap Heim pelan.
Sebenarnya Ain mendengar kata-kata itu. Namun pikirannya masih melayang memikirkan apa yang baru saja terjadi. "Grief…." ucapnya dalam hati.
Dari lubuk hatinya, Ain ingin bertarung sekali lagi dengan Grief. Ia berharap bisa berjumpa untuk bertarung lagi dengan Grief.