Belhart tidak pernah menyentuh Cattarina.
Sekalipun Cattarina telah menggunakan berbagai macam cara agar ia bisa melakukan tugasnya sebagai istri yang sesungguhnya di dalam lingkup pribadi mereka, Belhart tidak pernah sekalipun meresponnya.
Saat dimana semua orang akan menatap Cattarina dengan penuh gairah dan imajinasi yang liar, Belhart justru menatapnya dengan jijik dan tajam.
Hingga akhirnya, semua perlakuannya itu membuat Cattarina menjadi benar-benar gila dan hilang kendali. Ia gelap mata dan beberapa kali mencoba melakukan hal-hal gila yang tidak bisa ditolerir oleh orang lain. Ia bahkan sanggup tertawa di atas penderitaan mereka yang ia sakiti dengan hati yang puas.
Sungguh peran antagonis yang sangat menjiwai perannya!
Oke, sampai di sana dulu pemahaman tentang bagaimana perasaan Cattarina pada Belhart yang luar biasa. Dan bagaimana perlakukan Belhart pada Cattarina yang sangat tidak biasa.
Berkat semua pengetahuannya itu, saat ini Monna ingin sekali membangun jati diri Cattarina yang baru menjadi Cattarina yang berevolusi. Ia harus menjadi Cattarina yang dikenal baik dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan nama dan wajahnya.
Monna tidak ingin menjadi Cattarina, si pemeran antagonis yang bersikap buruk dan senang menyiksa orang. Ia perlu membuat cerita akhir yang bahagia untuk dirinya sendiri dan juga orang lain.
Masa bodoh dengan segala perasaan konyol yang ditumpahkan Cattarina dulu terhadap Belhart. Ia kini bukanlah Cattarina yang dulu.
Tapi apa tepatnya yang harus Cattarina lakukan untuk merubah segala jalan hidupnya menjadi apa yang ia inginkan, Monna masih belum mengetahuinya. Ia masih harus memikirkan caranya. Cara yang aman, yang bisa membuat semua orang di dalam cerita novel ini merasa bahagia, termasuk dirinya.
Sudah sekitar satu jam Cattarina memikirkan ulang semua kejadiannya yang dulu pernah dialaminya saat masih kecil hingga dewasa. Pertemuannya pertamanya dengan Belhart. Perlakuan keluarganya yang menyentuh hati. Dan sifat-sifatnya yang serakah dan egois.
Hingga akhirnya ia tertidur tanpa sadar dan bermimpi buruk.
Mimpi yang awalnya tidak buruk karena ada banyak kilasan kejadian yang memang pernah dialaminya. Mulai dari masa kecilnya yang bahagia hingga pertemuannya dengan Belhart yang langsung membuatnya jatuh hati.
Lalu, hari pernikahannya yang berlangsung dengan megah dan meriah. Serta kehidupannya setelah menikah yang penuh dengan lika-liku. Munculnya orang baru yang merebut perhatian suaminya. Serta kemarahan yang amat besar yang dirasakannya, karena rasa cemburu yang teramat dalam. Hingga akhirnya berakhir dengan mencelakakan Alliesia.
Dalam tidurnya, Monna berulang kali merasa tidak tenang dan nyaman. Ia mengigaukan beberapa kata yang tidak jelas. Dan mulai berkeringat dingin saat mimpi-mimpinya itu beralih ke hari-hari menjelang hari terakhir hidupnya.
Peristiwa mengerikan, yang mengharuskannya menyaksikan seluruh keluarganya digantung dan dihukum mati dengan tembakan. Sampai ia akhirnya melihat mata itu dengan sangat jelas.
Mata gelap yang memancarkan kehausan akan darah. Dan mata tajam yang memancarkan kemurkaan yang teramat besar.
Tatapan yang bahkan sanggup merobek tubuh siapa pun yang melihatnya.
Mata yang hanya ditujukan untuknya. Mata dari orang dicintainya. Mata yang juga menghancurkan segala yang ia punya.
"Aaaa!!"
Monna merasakan perutnya ditusuk dengan kuat oleh sebilah pedang yang terhunus tajam.
Padahal saat ini ia masih sedang tertidur di atas tempat tidurnya. Tapi mimpi itu terasa begitu nyata. Perasaan tidak jelas yang entah apa itu, bercampur menjadi satu.
Antara syok karena terkejut menerima kenyataan, kecewa karena harus berakhir dengan akhir yang seperti itu, dan sedih karena nyawanya berakhir ditangan orang yang paling dipentingkannya seumur hidup dibanding siapa pun itu di dunianya.
Monna bahkan masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya.
"Kau memang pantas mendapatkannya. Seharusnya aku sudah melakukan ini sejak dulu. Aku menyesal karena baru sekarang aku melakukan ini," ucap Belhart yang membunuh, menggema berkali-kali di telinga Monna.
"TIDAK!!"
Monna bangun dari mimpinya dengan sekujur tubuh yang sudah berkeringat deras. Ia mengamati ruangan di sekitarnya dengan perasaan takut. Ia berusaha menahan air matanya yang terus berusaha mengalir.
Tidak!! Itu bukan mimpi! Keberadaannya sekarang di dunia ini juga bukan mimpi!!
Dirinya yang sekarang adalah Cattarina. Wanita yang sudah digariskan takdir, akan meninggal dengan tragis tanpa ampun.
"Tidak!! Itu tidak mungkin!!" Monna berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena menahan syok yang luar biasa dan tangisannya.
"Aku Monna. Dan tidak akan berakhir sebagai Cattarina! Aku Monna!! AKU MONNA!!"
Monna berteriak dengan keras dan kencang. Ia membenci dirinya sendiri sekarang. Kenapa ia harus masuk ke dalam permainan bodoh ini!? Kenapa??!
Jika ada yang mencoba mempermainkannya, siapapun itu, tolong hentikan!!
Ini terlalu mengerikan. Amat sangat mengerikan!!
Monna tidak mau dirinya berakhir sama seperti dirinya yang ada di dalam mimpi. Tidak! Ia tidak mau hidupnya berakhir sama seperti novel yang ia baca itu! Oh, tidak!!! Ia seharusnya tidak membeli buku terkutuk itu!! Buku itu benar-benar seperti buku setan yang menjeratnya.
Monna kembali melihat perut sisi kirinya yang menjadi tempat bagi Belhart akan menghunuskan pedang padanya. Bahkan rasa sakit itu masih terasa nyata. Ia bisa merasakan sakit itu bahkan dalam tubuh Cattarina yang sedang tertidur dan bermimpi.
Dan pada kenyataannya, itu bukanlah mimpi. Itu ada cuplikan tentang kehidupannya di masa depan sebagai Cattarina yang entah bagaimana bisa ia prediksikan.
***