Chapter 15 - Khayalan

Sebuah kedai kecil dengan beberapa meja di dalamnya, lumayan ramai sesuai dengan pangsa pasarnya, banyak pelajar dan remaja lainnya yang nongkrong disini, termasuk di meja sebelah sana

Seorang pelayang meletakkan isi nampannya ke meja, dia mempersilahkan tamu kedainya dan berlalu melanjutkan pesanan yang lainnya

Miya memasang wajah sumringah dan menatap ke arah tiga teman prianya yang juga menarik senyuman ramah, nereka bertemu lagi hari ini

" mm.. seperti di pesan ku, aku kesini mau memberikan ini " Max membuka pembicaraan menyita perhatian yang lainnya, Miya memperhatikan dua undangan dari tangan Max, wajahnya meraut takjub

" birthday party ! " seru Miya tak percaya, matanya melirik Max, dan pria itu mengangguk ragu

" wah.. sebentar lagi kau tujuh belas tahun ! hebat ! " puji Miya dengan wajah senangnya, dia meraih dua undangan itu dan membuka satu sampulnya

" wow, ini keren banget sih ! " puji Miya mendapati desain undangan nuansa hitam putih dengan tiga dimensi detail di dalamnya, mata gadis itu terus saja membesar dan mulutnya terbuka tak henti hentinya memuji

" kau pikir ini keren ? " tanya Max tak percaya, maslaahnya dua sobat dia yang berada di sini berpendapat jika undangan itu adalah hal konyol

" iya, ini keren banget " puji Miya membuat wajah malu Max kembali percaya diri

" mama ku yang membuatnya " kalimat Max barusan menambah takjub wajah Miya

" woow, kau memiliki mama terbaik ! " Max semakin berbesar hati mendengar pujian Miya dan acungan jempol gadis di hadapannya ini, Max melirik sinis kedua sobatnya, dan keduanya segera membuang muka, menyeruput santai minuman mereka tanpa merasa berdosa

Max sedang berpikir kalau ide dari mamanya itu tidak seburuk pendapat temannya yang sok tau ini, buktinya Miya terlihat takjub dan senang ikut bergabung dalam undangan pestanya, mungkin selera sobatnya saja yang payah

" apa pesta dengan menara kue dan stelan jas lengkap itu memalukan ? " tanya Max ragu pada Miya, gadis itu melongo kini dengan raut tak mengerti, tapi sepertinya Max menginginkan jawaban yang jujur darinya

" maksud mu, menara kue tinggi dengan pisau panjang di tangan ? " tanya Miya meyakinkan bayangannya, Max mengangguk

" waaah itu sih keren banget ! itu impian ku, memakai gaun dan memegang pisau dengan pria tampan mengenakan suit lengkap, aah.. sweet dream banget kan ! " Max mengangguk setuju, kepalanya mulai berpikir, apa itu mimpi setiap gadis ? selama ini dia melakkukan sweet dream itu bersama mamanya, apa tahun ini harus berbeda mengingat usianya yang akan menuju tujuh belas tahun, sepertinya dia membutuhkan seorang gadis di sampingnya, Max berpikir seperti itu

" mm.. apa Bumi masih lama ? " tanya Max kemudian, Miya mengangguk mengiyakan

" kau bisa titip aku jika mau, tapi kalau kau ingin menyerahkan sendiri kau harus menunggu dua jam lagi " terang Miya dengan seruputan nya, Max mengangguk saja

" tapi aku harus pulang terlebih dahulu, aku ada jadwal private hari ini " Miya segera beranjak dari kursinya, gelas minumannya sudah kosong, dia segera berpamitan dan lih dahulu pulang

" oiyaa.. sampai bertemu di pesta ! " suara Miya dari balik dinding kaca tak tembus ke dalam, tapi dari gerakan bibir itu bisa di tangkap oleh Max, pria itu gersenyum dan mengayuhkan tangannya, dia melambaikan tangan ke arah Miya yang berjalan mundur di luar sana, Max tertawa kecil

" mereka terlihat akrab " bisik Edo di telinga Langit, dan Langit hanya membalas dengan senyum kecil

" ah, aku lupa ! " suara tinggi Max membuat Edo dan Langit heran, temannya itu segera menekan layar ponsel menghubungi seseorang

" hallo, maaf Miya, aku lupa menanyakan sesuatu " Edo menoleh ke arah Langit lagi, dia tak percaya jika perpisahan sebentar itu sudah harus tersambung lagi dengan ponsel

" dia menelepon Miya ? " Edo membuat wajah tak percaya, begitupun Langit, mereka tertawa kecil kompak melihat salah tingkah Max

" apa ponsel Bumi sudah benar ? " mendengar pertanyaan Max membuat bibir Langit tertarik diam, dia ikut menyimak percakapan Max dan Miya

" oh begitu.. baiklah kalau begitu, terima kasih " Max mengakhiri panggilan telponnya dengan wajah kecewa

" kenapa ? " Edo sedikit cemas dengan wajah kecewa Max, atau.. dia hanya sekedar ingin tahu saja

" ponsel Bumi masih rusak " ujar Max sedih, Edo mendatarkan wajahnya, dia tak begitu peduli, hanya begitu saja bisa membuat wajah ceria Max lemas, batin Edo sinis, Langit hanya terdiam, dia sibuk dengan pikirannya sendiri saat ini

Langit ingat dengan kedua adik Bumi, kedua bocah ceria itu, pakaiannya, sepatu nya.. semua itu membuat Langit miris, dia mulai berpikir realistis dengan keadaan Bumi, dan gadis itupun tak pernah sekalipun menyimpan kenyataannya, bibir Langit tertarik, dia tersenyum sendiri, pantas saja gadis itu sangat mengejar pendidikannya, pasti dia menyimpan impian besar di sana, batin Langit takjub

" ah, sudah jam tiga, aku harus menemani mama !! " ujar Max meraih tasnya, dia melihat sebentar jam tangan dan segera berdiri hendak meningglkan kedua temannya

" hey, kau mau kemana ? " tanya Edo ikut berdiri dengan mulutnya yang penuh pasta

" ikuuutt… ikuuutt… nebeng taksi ! " ujar Edo dengan cepat memborong isi piringnya masuk ke dalam mulut, dia segera bergegas menarik tas dan mengajak Langit untuk meninggalkan tempat ini, Langit melepaskan tarikan tangan Edo, membuat temannya itu heran dan mematung sesaat dengan penolakan Langit

" hei, siapa yang akan bayar semua ini.. " seru Langit mwngingatkan jika semua hidangan mereka sudah habis, Edo tertawa dengan mimik konyolnya

" hahahaa.. thanks ya bro ! " ujarnya menyusul langkah Max memasuki taksi biru di depan sana. Langit kembali duduk, dia mendapati kartu undangan yang tertinggal di meja, jarinya mengambil kartu itu dan menatap lama sambil membolak balikkan

" Max bahkan melupakan ini " ujarnya dengan seyuman kecil penuh arti

Langit merebahkan diri di kursi, dia menatap piring yang sudah kosong berinut minuman di gelas yang sudah mengerig, pemuda itu tersenyum konyol, kenapa dia selalu saja bagian bayar membayar, untunglah orangtuanya sudah menyediakan stok pendanaan yang melimpah, tapi penuda itu merasa belum melakukan hal maksimal dengan keberuntungan yang berpihak padanya, pikirannya kembali pada dua bocah kecil tadi pagi, kedua adik Bumi

" Mars.. Pluto.. " gumam Langit berkali kali sambil di sela senyuman kecilnya, dia membayangkan wajah ketiga kakak beradik dibawah satu payung tapi terlihat sangat akrab dan hangat

" mungkin menyenangkan kalau kau bukanlah anak tunggal " gumam Langit

Dia berandai andai bergabung di sana tadi pagi, dia yang datang dari belakang punggung mereka dan merangkul punggung kakak pertamanya dengan hangat, mengejutkan candaan mereka yang seru

dengan senyuman lebar mereka menyambut kedatangan Langit, tangannya yang mengambil alih menggenggam payung, hingga genggaman itu menyentuh punggung tangan Bumi, mereka berdua saling menggenggam erat gagang payung menghalau semuanya dari rintik hujan sementara tangan Bumi yang lainnya melingkar di pinggangnya

" aaaihhh.. " Langit merona sendiri, membuat pelayang cafe mengerutkan dahi