Devano sampai di Jakarta sekitar pukul sebelas malam. Terpaksa dia harus memakai taxi untuk menuju ke rumahnya. Suasana malam di Jakarta berganti dengan kehidupan malam yang hingar bingar. Devano sangat merindukan saat-saat dirinya bersama dengan teman-temannya di club malam.
Tiba-tiba ingatannya melayang saat ia menyentuh tubuh Aliya. Gara-gara perempuan itu hamil, dia harus melarikan diri sampai ke Singapura. Dia memang seorang playboy yang suka bergonta-ganti pacar tetapi dia tidak pernah melakukan perbuatan sejauh itu seperti yang dia lakukan dengan Aliya. Entah kenapa dia tubuh Aliya membuatnya tergoda.
Devano yang belum tahu arti tanggung jawab, memilih untuk lari meninggalkan Aliya. Sebenarnya kali ini Devano terpaksa pulang ke Jakarta, karena dia diancam oleh ayahnya akan dicabut semua fasilitas yang ia miliki. Dia berharap Aliya sudah menyerah untuk mencarinya. Untung saja dia tidak pernah memberi alamat asli pada Aliya.
Beberapa waktu yang lalu temannya sempat menelepon kalau Aliya beberapa kali mencarinya. Ditambah lagi sahabat Aliya yang bernama Bima yang juga ikut mencarinya. Devano merasa khawatir jika kedatangannya ke Jakarta, akan membuat Aliya meminta pertanggungjawaban dari lelaki itu.
Devano tiba di rumah setengah jam kemudian. Ia melihat lampu jika dalam rumahnya yang masih menyala.
"Ting tong Ting tong." Devano memencet bel rumahnya beberapa kali. Kata penjaga rumahnya, orang tuanya dan Zivana sedang menunggunya di dalam.
Zivana membukakan pintu untuk Devano. Sudah dari tadi, Zivana dan kedua orang tuanya rela untuk tidak tidur terlebih dahulu hanya untuk menyambut kedatangan Devano.
"Eh Kak Vano sudah pulang. Ayo masuk Kak. Ayah dan bunda sudah menunggumu." Zivana berusaha untuk setenang mungkin, dia hanya ingin agar kakak laki-lakinya itu tidak lari lagi.
"Selamat malam Ayah, bunda," sapaan Devano membuat kedua orang tuanya menoleh ke arahnya. Ayah Devano menatapnya dengan tajam. Ingin rasanya beliau meluapkan emosinya saat itu juga. Dan ingin rasanya dia menampar Putra satu-satunya itu. Tapi dia berusaha untuk mengendalikan diri agar putranya ini mau untuk diajak berdiskusi menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi putranya itu.
"Bersihkan dirimu dulu Vano. Ayah dan bunda menunggumu di sini. Kami ingin bicara sama kamu."
"Kartu kredit tidak jadi diblokir kan Yah? Kan Vano sudah pulang." Vano memang tak bisa hidup tanpa semua fasilitas dari orangtuanya.
"Sudah kamu bersihkan tubuhmu dulu lalu ganti pakaian. Setelah itu duduklah di sini. Kami akan menunggumu di sini. Ada sesuatu yang penting, yang harus kami bicarakan.
"Baiklah ayah." Vano meninggalkan mereka, dia lantas membersihkan tubuhnya lalu mengganti pakaiannya.
Fatih dan Arini, kedua orang tua Devano dan Zivana, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka tidak bisa membiarkan Devano lari dari tanggung jawab. Apalagi ini menyangkut harga diri anak gadis orang. Jika dia berada di posisi mereka mungkin mereka sudah memenjarakan Devano.
"Ayah sebenarnya mau bicara tentang apa sih?kayaknya serius amat." Devano kini sudah terlihat segar dan sudah berganti pakaian dengan kaos putih dan celana jeans pendek, menghampiri kedua orang tuanya lalu duduk di depan mereka seolah tidak ada kesalahan yang pernah ia perbuat.
"Vano, sekarang Jawab dengan jujur pertanyaan ayah. Apa benar kamu sudah menghamili anak gadis orang?"
"Maksud Ayah apa?" Vano pura-pura tidak tahu. Karena memang pada dasarnya dia tidak pernah ingin bertanggung jawab pada aliya.
"Ya Ayah sudah tahu semuanya. Ayah minta besok pagi kamu ketemu dengan orang tuanya Aliya. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kalau perlu kamu menikahinya besok pagi."
"Apa-apaan ini ayah? kenapa datang datang dicecar pertanyaan seperti ini? Vano tidak tahu apa yang kalian bicarakan."
"Kapan lu jangan pura-pura tidak tahu. Zivana sudah tahu semuanya. Alasan Apa yang mendasari kak Vano pergi ke Singapura. Aku bersyukur karena dipertemukan dengan perempuan yang kakak hamili." Zivana mewakili kedua orang tuanya untuk menekan kakaknya.
"Kenapa kamu bisa yakin kalau kakak yang menghamili gadis itu."
"Memangnya kakak tidak kenal dengan Aliya? atau sengaja pura-pura tidak kenal? Sebelumnya dia tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Sekali dia jatuh cinta, kakak malah menghancurkan masa depannya. Emangnya kakak tidak ingat punya adik perempuan? Apakah kakak tidak memandang aku?"
"Omonganmu semakin ngelantur Zivana. Kakak sama sekali tidak mengenal Aliya." Vano terlihat tak acuh.
"Oh begitu ya Kak? Habis manis sepah dibuang. Kakak benar-benar merendahkan harga diri seorang wanita. Setelah kakak menghamilinya, Kakak malah lari begitu saja dari tanggung jawab. Apakah seperti itu yang dinamakan laki-laki sejati?" Zivana sampai berdiri memarahi kakaknya.
"Sekali lagi kakak tekankan ya Zi, kakak tidak pernah berhubungan dengan yang namanya Aliya."
"Oke kalau Kakak memang tidak mau mengakui perbuatan kakak, malam ini juga akan aku bawa kakak ke hadapan Aliya. Dan kalau kakak tidak mau mengaku juga, aku akan suruh Ayah untuk benar-benar mencabut semua fasilitas yang Kakak punya. Bagaimana?"
"Oh jadi begitu ya?" Vano ketakutan setiap kali diancam akan dihentikan semua fasilitas. "Baiklah kakak akan mengaku. Kakak memang pernah meniduri Aliya. Tapi Kakak tidak yakin kalau dia itu hamil anak Kakak. Bisa saja kan dia tidur dengan laki-laki lain lalu hamil dengan orang itu. Dan asal mengaku saja itu anak kakak."
"PLAK!!" Zivana menampar keras kakaknya. Zi sudah tidak tahan lagi dengan sikap kakaknya yang terkesan lepas tangan.
"Awww... Sakit Zi.. Kamu ini apa-apaan sih?"
"Itu pantas untuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti kakak. Aku menyesal punya seorang kakak seperti kamu. Kalau memang Kakak meragukan anak yang ada dalam kandungan Aliya, nanti ketika anak itu lahir, kalian tes DNA saja. Yang jelas aku tidak yakin kalau ia bisa melakukannya dengan laki-laki lain."
"Bagaimana kamu bisa yakin? Dia aja dengan suka rela menyerahkan kehormatannya pada kakak, jadi kakak tidak ada kewajiban untuk bertanggung jawab atas dirinya kan?"
Kamu ini benar-benar keterlaluan Vano. Ayah tidak pernah mengajarimu menjadi laki-laki bejat sebagai ini. Ayah malu punya anak sepertimu. Kalau kamu memang meragukan anak yang ada dalam kandungan Aliya, Lalu kenapa kamu menghindarinya sampai ke Singapura. Bahkan kamu rela mengambil cuti kuliah." Vano terdiam. Ia tidak bisa menjawab perkataan ayahnya. Padahal dia juga tahu, saat melakukan itu dengan Aliya, itu adalah yang pertama untuk Dia dan Aliya.
"Pokoknya aku tidak mau menikahi Aliya sebelum anak itu lahir dan aku akan memastikan bahwa anak itu benar adalah anakku lebih dulu."
"Gila kamu ya Kak. Kamu bayangkan saja bagaimana hidupnya Aliya sampai sembilan bulan ke depan? Dia harus hamil tanpa ada suami di sisi-nya. Kakak tidak tahu kan? Bagaimana Aliya berusaha mencari Kakak selama ini? Sampai dia berkali-kali jatuh pingsan hanya karena memikirkan Kakak. Kakak itu benar-benar tidak punya hati."
"Sudah Ayah putuskan, besok kita akan ke rumah Aliya agar kamu bisa segera menikahinya Vano. Ayah tidak mau kamu lari dari tanggung jawab. Bersikaplah sebagai laki-laki dewasa. Kamu berani berbuat harus berani bertanggung jawab."
"Baiklah kalau memang itu maunya ayah. Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhi. Vano mau bertanggungjawab asalkan ayah mau memberikan separuh perusahaan Ayah pada Devano."
"Kakak keterlaluan. Memangnya yang ada di dalam otak Kakak itu hanya harta ya? Memangnya Kakak tidak kasihan pada ayah dan bunda?"
"Kalian tidak usah khawatir, aku janji akan mengelola perusahaan dengan sebaik mungkin. Bukankah setelah menikah nanti, aku harus mencari nafkah untuk anak dan istriku?" Vani terlihat serius membuat Fatih memikirkan hal itu masak-masak.
"Oke.. Ayah akan memberikan separuh perusahaan padamu. Kamu harus bisa mengelola perusahaan dan jangan pernah main-main."
" Baiklah Ayah aku setuju."