WAKTU berlanjut semakin sore, seluruh siswa pun dibubarkan. Tapi tidak dengan Rahma, ia masih terus saja mengerjakan tugasnya di kelas dan berharap guru yang akan ia temui itu belum pulang.
Masih ada setengah jam lagi, batin Rahma.
Lembar demi lembar ia goreskan dengan tulisan. Tanpa bantuan teman-temannya. Ia yakin, ia dapat melakukannya ini sendiri.
Brraakkk...
Rahma terkejut dengan suara jendela yang tiba-tiba saja tertutup dengan kerasnya. Ia merasa sedikit takut, namun ia harus segera menyelesaikan tugasnya itu. Tenang, tidak ada apa-apa. Semua akan baik-baik saja, batin Rahma.
Sebentar lagi tugasnya akan selesai, tentu saja hal ini membuat dirinya senang. Karena waktu tidak akan memenjarakannya begitu lama di sekolah.
"Lebih baik aku segera mengumpulkan tugas ini, sebelum akhirnya guru itu pulang." Rahma bergegas ke ruang guru dan berlari. Ia harus melewati lorong panjang untuk menuju ruang guru. Lorong itu terlihat gelap dan sepi, kebanyakan orang harus beramai-ramai jika ingin melewati lorong itu.
Krekkk…krekkk
Rahma terhenti sejenak tepat di depan pintu yang kelihatannya sangat tua itu. Ia terus memandangi pintu itu. Dalam pikirannya, ia merasa tadi jelas mendengar suara engsel pintu yang di putar. Namun ia merasa aneh, tidak ada apapun yang terjadi. Pintu masih tertutup rapat dan juga dengan rantai yang mengitari pegangan pintu berpasangan dengan gembok.
Tiba-tiba saja seseorang memegang bahu Rahma dan ia terkejut. "Ngapain?"
"E-e-enggak. Siapa ya? Anak baru juga?" tanya Rahma.
"Iya. Kenalin namaku Pandu," Pandu mengulurkan tangannya.
"Rahma," sambut Rahma.
"Kenapa belum pulang?"
"Mau ngumpulin tugas dulu, Ndu"
Pandu mengangguk mengerti. Dan mereka terus saja bercerita hingga pada akhirnya mereka sampai di ruang guru. Rahma masuk ke ruangan dan tampaknya ia tidak menemukan gurunya itu. Mungkin terlalu sore sekarang, jadi guru itu pergi meninggalkan sekolah.
"Ndu, aku pulang dulu. Kamu enggak ?"
"Aku masih ada rapat ekskul basket," jawab Pandu santai.
Pandu dan Rahma berpisah di kala sore di sekolah. Rahma berjalan keluar gerbang, sedang Pandu berjalan masuk ke dalam gedung aula.
Aneh sekali jam segini masih rapat.
Tidak mudah menjadi yang tergiat di antara kawan-kawannya. Rahma memang harus rela kehilangan hobi main game online-nya demi tugas. Bagi mereka para pecandu game online, tentu saja berat untuk melepaskan kebiasaannya itu demi hal yang lebih penting. Tapi berbeda bagi Rahma, asal dia bisa membuktikan yang terbaik tidak mengapa.
Malam itu rasanya ia hanya berteman dengan kawanan jangkrik yang terus beradu suara, pergi entah kemana penghuni rumah terkecuali Rahma.
Tokk..tokk..tokkk…
Keanehan terjadi malam itu, sudah berada di pukul 10 masih saja ada orang yang ingin berkunjung ke rumahnya. Mungkin saja itu keluarganya yang pergi keluar lalu segera kembali karena lupa mengajak Rahma. Tapi perasaan Rahma tidak berkata seperti itu, ada sesuatu yang janggal. Jika benar keluarganya, setidaknya mereka mengirimkan pesan kepada Rahma. Ia ingin berjalan ke ruang tamu dan membukakan pintu, namun rasanya segan sekali.
Tokk…tokk…tokkk…
Suara ketukan pintu terdengar semakin keras, membuat Rahma semakin resah. Akhirnya ia memutuskan untuk membukakan pintu. Meski ada sedikit rasa takut yang tersembunyi.
Saat ia membuka pintu, keanehan itu nyata. Rahma tidak menemukan seorang pun di balik pintu itu. Hanya pepohonan dan lampu rumahnya yang terlihat. Ini membuat Rahma merinding dan ingin segera mengunci pintu rumahnya itu.
Tiba-tiba saja, "Dorrr!"
"Pandu!? Apaan sih?! Enggak lucu tahu!" bentak Rahma pada Pandu yang ternyata sedang menjahilinya.
"Ya sorry, I don't know you are alone."
"Ya deh. Kok tahu rumahku? Darimana?" tanya Rahma sinis.
"Ada deh. Eh udah malam, tadinya aku mau main tapi enggak jadi."
"Ya udah sana kamu pulang!" Rahma mengusir Pandu dengan begitu kesalnya. Dan segera mengunci pintu rumahnya itu. Berharap tidak akan ada kejadian seperti ini lagi.
Rahma terus terjaga malam itu. Ia masih saja memikirkan, bagaimana bisa Pandu tahu keberadaan rumahnya. Sedangkan ia saja tidak melihat atau merasakan ada seseorang yang mengikutinya pulang. Sungguh aneh sekali dengan Pandu. Namun, Rahma berharap semua ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ia sedang tidak ingin memikirkan sesuatu.
Rahma berangkat dengan tergesa-gesa. Hari ini ia terlambat untuk bangun pagi, tidak ada yang membangunkannya. Entah pergi kemana keluarganya hingga pagi ini belum juga pulang.
"Aduh gawat! Dasinya ketinggalan di laci," Rahma takut jika ia datang ke sekolah tanpa berdasi akan membuatnya di hukum kembali.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Aduh itu siapa lagi sih, tanya Rahma dalam hatinya.
Saat pintu rumahnya dibuka, alangkah terkejutnya. Lagi-lagi Pandu datang ke rumah Rahma. Rahma malas sekali melayani kedatangan orang yang tidak jelas tujuannya.
"Nih dasinya," Pandu menyodorkan sebuah dasi yang sepertinya memang miliknya Rahma. Namun, Rahma bingung. Darimana Pandu bisa tahu kalau ia sedang kehilangan dasinya. Sangat aneh.
Rahma mengernyitkan dahinya bingung. Kok ini anak bisa tahu sih? Aku kehilangan dasi. Arrgh, tapi ya sudahlah apa salahnya berterima kasih.
"Mau berangkat? Sama siapa?" tanya Pandu.
"Iya sendirian aja,"
"Ikut aku aja yuk? Daripada telat nanti kamu enggak boleh masuk," Pandu mengajak Rahma untuk berangkat bersamanya dengan mobilnya yang berwarna merah-hitam.
Rahma tidak bisa mengelak lagi, waktunya memang benar-benar sudah mepet. Dan beberapa menit lagi, pelajaran akan dimulai.
Mobil Pandu melaju begitu cepat. 10 menit saja mereka berdua sudah sampai di sekolah. Rahma merasa akan mati hari itu juga, jantungnya yang berdegup kencang karena Pandu mengemudikan mobilnya yang begitu cepat. Mereka segera turun dari mobil dan berlari menuju kelas mereka masing-masing.
"Udahlah, besok aku enggak mau ikut kamu lagi. Cukup hari ini aja," ujar Rahma dengan kesal dan meninggalkan Pandu tepat di depan pintu gudang yang berada di lorong sekolah, tempat mereka bertemu pertama kali.
Pandu tidak dapat menghalangi keputusan Rahma, ia hanya terdiam dan membiarkan Rahma pergi hingga akhirnya hilanglah sosok Rahma dari hadapannya. Ia merasa benar-benar bersalah. Ia pikir perbuatannya itu akan membuatnya berterima kasih dan bangga bisa membuatnya tidak telat sedikit pun.
"Baik murid-murid Ibu sekalian, sampai sini dulu pembelajaran geografinya. Minggu depan jangan lupa kita ulangan bab ini yah," jelas Bu Dira. Ibu Dira adalah guru geografi pertama di sekolahnya Rahma. Jelas, dia memang mengetahui tentang sekolahnya itu. Namun tidak sedikit pun pertanyaan, mau ia jawab. Ia terlalu tidak suka untuk membuka masa lalu sekolah ini.
"Ma, acara hari ini mau ngapain?" tanya Deas.
"Aku mau di rumah aja. Mau ngerjain tugas juga kan,"
"Oke lah,"
Rahma berlalu meninggalkan Deas dan dua orang teman lainnya. Ia berjalan begitu cepat, takut jika bertemu lagi dengan Pandu dan akhirnya mengajaknya untuk pulang bersama. Melewati kembali lorong dengan gudang angkernya. Dan…
Bruukkk….
"Aduh," keluh Rahma.
"Eh maaf, enggak sengaja sumpah!" ucap seseorang.
"Iya enggak apa-apa kok," Rahma sembari bangkit dan membersihkan roknya yang agak kotor.
"Syukurlah,"
Rahma mencoba menatap orang yang menabraknya itu, "Eh kamu?"
"Kenalin, namaku Dimas." Seseorang itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Rahma.
"Rahma,"
"Dari awal kita belum kenalan, jadi bingung kalau ketemu kamu. Hehehe," ujar Dimas.
Bukannya udah tahu namaku ya? Batin Rahma.
Sejak hari itu mereka baru mengenal satu sama lain. Meski sudah sering kali mereka bertemu di waktu yang tidak direncanakan, tiada sempat seperti hari ini mereka saling kenal.