SEMINGGU telah berlalu, hanya menunggu waktu untuk pengumuman nilai saat ini yang para siswa nanti.
Rencana tidak mungkin gagal kali ini, Rahma dan Dimas mengajak Deas, Fani dan Fia. Mereka berlima berencana mengadakan camping di puncak malam ini. Dan sebagai kepersiapan mereka, pulang lebih awal dan membeli kebutuhan merupakan hal pokok.
"Yas, punya tenda kan?" tanya Rahma pada Deas yang sibuk memilih cemilan.
"Punya lah,"
"Eh, Fia sama Fani emang berani camping? Nonton horror aja takut, gimana kalau tidur di tengah hutan?" Rahma terkekeh.
"Mungkin ada keajaiban," ujar Deas disusul dengan tawa kecilnya.
"Eh guys, udah belanjanya?" tanya Dimas.
"Tinggal nunggu si kembar," jawab Deas.
"Emang ada?" tanya Dimas.
"Maksud Deas, si itu Fia sama Fani. Hehe. Ya mereka berdua soalnya hampir sama gitu. Jadi kita namain mereka si kembar," sela Rahma.
Dimas hanya mengangguk mengerti, dan setelah mereka menunggu lama si kembar. Akhirnya mereka pulang dan melanjutkan untuk mempersiapkan yang belum. Mereka pulang ke masing-masing rumah mereka. Dan Dimas tidak keberatan jika ia harus mengantarkan mereka satu per satu ke jalan berbeda dan berjarak lumayan.
Tinggal Rahma yang belum berada di rumah, ia masih dalam perjalanan pulang setelah teman-temannya diantarkan. "Eh, Dim. Tapi beneran nih kesana?"
"Kenapa emang?"
"Takut ada apa-apa aja. Soalnya perasaan aku enggak enak," jawab Rahma.
"Ya berdoa aja semoga baik disana. Udah dibawa santai aja,"
Mungkin hal ini beresiko kecil bagi Dimas yang tidak mengerti apa yang tengah dirasakan oleh Rahma. Tapi Rahma mencoba untuk tetap tenang dan membuat baik keadaan.
Akhirnya, sampailah Rahma di rumahnya. Dan ia berpesan kepada Dimas agar segera pulang. Karena perjalanan menuju tempat yang menjadi tujuan itu tidak dekat. Rahma segera masuk ke rumah dan mempersiapkan barang-barangnya.
Drrttt…drrttt…
Ponsel Rahma bergetar, sebuah pesan masuk.
Kok Pandu bisa tahu? pikir Rahma. Ia tidak mau berpikiran negatif. Ia harus keep calm dan pesan dari Pandu tidak ia balas.
Ia masih butuh kesiapan yang matang untuk bersuka-ria malam ini. Ia pun tidak mau terjadi sesuatu nanti.
Tiinnn…tiinnn…
Terdengar suara klakson mobil. Dimas dan teman-teman Rahma yang lainnya sudah menunggunya di luar.
"Bentar," teriak Rahma.
Rahma mencoba mengecek perlengkapannya. Ia rasa tidak ada lagi yang ketinggalan. Semua sudah ada dalam tas ranselnya. Rahma segera berlari keluar rumah dan menuju mobil Dimas berkumpul dengan teman-temannya.
"Oke. Sebelum kita berangkat, alangkah baiknya kita berdoa dulu. Berdoa mulai," ujar Dimas.
Semua orang tenang dalam mobil. Berdoa dengan khusyuk, memohon perlindungan kepada-Nya. Semoga acara berjalan dengan lancar.
Perjalanan mereka mulai senja itu. Tidak dengan keheningan, berlalu dengan penuh tertawa riang. Untunglah tidak macet perjalanan ke puncak sore itu. Sehingga mereka bisa dengan cepatnya sampai di tempat tujuan mereka.
"Akhirnya kita sampai juga," ucap Deas.
Mereka semua melepas penat sejenak dengan berduduk-duduk santai dibawah pohon. Sebelum akhirnya mereka merakit tenda yang mereka bawa masing-masing.
"Sejuknya," ucap Fia.
"Jarang-jarang kita bisa kek gini," timpal Fani
"Eh, rakit tendanya ayo. Udah pada ngantuk kan?" tanya Rahma.
"Yaelah, belum kali. Kita masih mau menghirup udara sejuk dulu," jawab Deas.
Dimas hanya tersenyum melihat tingkah empat orang gadis yang tengah berdebat akan aktivitas mereka.
Hari semakin malam, selesailah sudah mereka berlima mendirikan tenda untuk istirahat mereka. Suara serangga malam menemani kesunyian dan padangnya api unggun yang mereka buat malam itu.
"Dim, why bisa pindah kesini? Padahal di Bandung 'kan sejuk," tanya Rahma.
"Ada deh. Lagian aku juga mau ngerasain di Jakarta tuh kek gimana. Nanti juga pulang lagi ke Bandung," jawab Dimas.
"Kapan?" tanya Rahma.
"Nanti pas nikah sama kamu," Dimas tertawa dirinya menggombali Rahma.
Rahma tersipu malu dan memukul kecil lengan Dimas. "Apaan sih?"
Deas, Fia dan Fani ikut tertawa melihat kejadian kecil itu. Dan malam semakin larut, tiba waktunya untuk mereka beristirahat. Tapi tidak dengan Rahma dan Dimas. Mereka masih tetap ingin merasakan malam hangat bersama api unggun yang dibuat mereka.
"Sejuknya," gumam Rahma.
"Eh, Ma. Sini deh tangan kamu,"
"Kenapa, Dim?"
Tanpa jawaban, Dimas segera meraih saja tangan Rahma. Namun saat Dimas menggenggam tangan Rahma, sesosok bayangan seperti melintas di belakang mereka.
"Ada apa?" tanya Rahma.
"Enggak. Ma, kita kan udah berteman lumayan lama 'kan. Mau enggak sahabatan?"
Rahma merasa hawanya sedang tidak baik-baik saja saat Dimas menanyakan hal itu. Ia merasa ada seseorang di belakangannya yang hendak merasuki tubuhnya. Namun semua itu benar terjadi, sosok itu berhasil masuk ke dalam raga Rahma.
"Ma? Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanya Dimas pada Rahma yang terlihat diam saja.
Keanehan terjadi lagi malam itu. Rahma menatap Dimas dan menyeringai bak memakan mangsanya. Rahma menggenggam kuat sekali tangan Dimas hingga ia mengerang kesakitan.
"Ma, kamu kenapa!? Tolong," Dimas mencoba berteriak meminta pertolongan. Namun tidak ada yang terbangun satu pun dari ketiga temannya itu.
Hingga akhirnya, dibawalah Dimas ke tepi jurang. Ia sangat takut, ia tidak ingin mati malam itu. Tidak habis pikir, apalah yang terjadi pada Rahma malam itu.
"Sadar, Ma! Sadar!" ujar Dimas.
"Stop!" Suara teriakan seorang perempuan terdengar di belakang Rahma.
Rahma berhenti dan menoleh ke belakang. Hampir saja Dimas terjatuh, tetapi ada lagi sesosok pemuda berlari dengan cepat menarik Dimas.
"Jangan siksa dia. Pulanglah. Tempatmu bukan disini," ucap seorang perempuan itu.
"Aku tidak suka dia bersama orang ini, Sita." Rahma menunjuk kepada Dimas.
"Sudahlah, Pandu. Seharusnya kau sadar, siapa dirimu. Bukan ini yang kau lakukan," ujar Sita.
"Tidak!"
Dimas hanya mengerutkan keningnya, bingung mendengar percakapan antara Rahma dan seseorang yang bernama Sita. Apalagi pemuda yang baru saja menolongnya, kini sudah berada di belakang Rahma.
"Raka. Cepat pegang dia!" perintah Sita kepada seorang pemuda itu.
Rahma tidak dapat mengelaknya. Karena Raka sudah dengan cepatnya mengerat Rahma dengan kuat. Sedangkan Sita berjalan cepat sekali seperti kilat menuju Rahma. Dan beraksilah mereka bertiga. Sosok Pandu yang berada dalam raga Rahma terus saja berteriak agar tidak dikeluarkan, namun usahanya percuma. Dua orang yang tidak dikenal itu berhasil mengeluarkannya dan membuat Rahma tidak sadarkan diri.
"Teman kamu sudah baikan. Dia tidak akan bisa kembali ke raga temanmu itu," ujar Sita.
"Kalau begitu, kita pulang dulu. Jaga temanmu, Dimas." Raka terlihat memberikan sesuatu kepada Dimas. Sebuah kalung, seperti tanda sebagai penjaga
Dimas hanya mengangguk mengerti, dan mengabaikan darimana orang itu bisa tahu namanya. Kemudian, pulanglah kedua orang itu dengan entah menggunakan sihir apa cepat sekali mereka menghilang.
Pagi melenyapkan malam yang penuh tragedi. Matahari menghapuskan segala ketakutan yang menyelimuti. Sebelum akhirnya terjadi sesuatu, kelima orang itu memutuskan untuk pulang saja. Karena takut terjadi hal seperti malam kemarin. Dengan rasa sedikit kecewa, mereka pun pulang.
"Sorry, Dim. Semalem…"
"Enggak apa-apa, Ma. Aku ngerti," ujar Dimas.
Sebelum mereka sampai ke rumah, mereka sejenak menghilangkan penat di café. Mereka sepertinya terlihat begitu lesu, hingga mereka banyak memesan beberapa dari menu makanan yang ada.
Rahma yang duduk di sebelah Dimas melihat Pandu sedang duduk menyendiri di sudut ruangan café.
Pandu? Tapi, bagaimana bisa? tanya Rahma pada dirinya sendiri.
"Lihat siapa, Ma?" tanya Dimas.
"Eh enggak, Dim." Rahma menyunggingkan senyum getirnya.
Aku tahu kamu lihat siapa, Ma. Aku juga bisa lihat, gumam Dimas.