PANDU adalah seorang siswa berbakat di sekolah. Ia pernah menjuarai pertandingan basket bersama teamnya. Tahun 2013 lalu ia adalah seorang mantan peserta Olimpiade Matematika. Kecerdasan dan bakatnya itulah yang membuat teman-temannya iri padanya. Karena selain itu, ia juga mendapatkan seorang juarawati di kelasnya. Tentu saja para pemuda di kelasnya sangat iri pada Pandu.
Suatu hari, Pandu tidak tahu ia sedang dijebak oleh kawan sekelasnya itu.
"Ndu, ada buku baru di perpustakaan. Mau baca enggak?" tanya Firman teman sebangku Pandu. Ia pun juga tidak suka kepada Pandu. Ia tersenyum kecut ketika mendapati dirinya berhasil menjebak Pandu.
Pandu hanya mengangguk dan pergi ke perpustakaan bersama Firman.
Setelah sampai di perpustakaan, Firman menunjuk ke arah rak buku paling pojok. Dimana buku baru itu berada.
"Mana, Man?" tanya Pandu.
"Cari aja," jawab Firman yang berada di pintu perpustakaan. Dan ia tengah memberikan kode kepada teman lainnya agar segera menjalani rencananya.
Pandu terus mencari buku baru dan tanpa sadar Firman dan Difki sudah berada di belakang Pandu. Dan terlihat Difki sedang menggenggam sebuah kayu.
"Ndu, ini bukunya," ujar Firman.
Pandu menoleh dan…
Buuukkkk…
Pandu terjatuh dan ada sedikit darah yang keluar dari keningnya. Ia tidak sadarkan diri.
Firman dan Difki membawa Pandu yang masih dalam kondisi pingsan ke sebuah gudang yang berada di lorong sekolah. Mata mereka awas karena takut ada yang melihat. Karena sekolah mereka masih dalam jam pelajaran semua.
Setelah mereka sampai di gudang, mereka menempatkan Pandu di pojok gudang. Gudang terlihat begitu kotor dan usang.
"Udah kan?" tanya Difki.
"Udah ayo kita keluar," jawab Firman.
Mereka keluar dari gudang dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ditinggalkannya Pandu yang terbaring di atas lantai dengan kening berlumur darah di gudang.
"Pulang bareng Pandu 'kan, Ka?" tanya Sita.
"Iya. Tapi mana ya? Kita belum lihat dia lho dari tadi," ujar Raka.
"Coba tanya teman sekelasnya,"
"Iya juga, eh itu Firman tuh. Firman!" Raka menunjuk Firman yang berada di depan pintu kelasnya.
"Apa?" sahut Firman.
"Lihat Pandu enggak?" tanya Raka.
"Enggak,"
Belum selesai bertanya, Firman sudah melangkah pergi dari kedua orang teman dekatnya Pandu. Ia malas jika ditanyai hal itu, apalagi baru saja ia melukai dan memasukkan Pandu ke dalam gudang.
Raka dan Sita terus mencari Pandu hingga malam hari, namun hasilnya nihil. Di setiap sudut sekolah tidak ia temukan. Kecuali gudang. Mereka memang tidak diperbolehkan masuk kesana karena keadaan gudang yang tidak baik.
"Ka, gimana ini? Pandu enggak ada," tanya Sita.
"Kenapa enggak kita ke rumahnya aja? Siapa tahu dia emang udah pulang duluan,"
"Huffttt,"
Raka dan Sita pergi ke rumah Pandu. Berharap Pandu baik-baik saja di rumah. Mereka sangat sedih sekali jika terjadi apa-apa dengan Pandu.
Tokkk…tokkk…tokkk…
"Permisi," ucap Sita.
Tidak lama kemudian, terbukalah pintu rumah dan keluarlah seorang wanita paruh baya. Ia adalah Ibunya Pandu.
"Ada apa ya?" tanya beliau.
"Kita sedang mencari Pandu, apakah Pandu sudah di rumah, Bu?" tanya Sita.
"Dia belum pulang. Saya juga khawatir takut ada apa-apa dengan dia," Ibunya mengkhawatirkan sekali Pandu. Ternyata ia belum juga pulang.
"Hah?" pekik Raka.
"Yaudah, Bu. Besok kita cari lagi. Kami yakin kok, Pandu pasti baik-baik aja." Sita mencoba menenangkan Ibunya Pandu.
Akhirnya malam itu mereka memutuskan untuk pulang dan mencari Pandu di keesokan harinya.
Seminggu berlalu sudah. Namun tidak ada kabar atau tanda sekalipun tentang hilangnya Pandu. Sita dan Raka merasa sedih belakangan ini. Dan selalu terlihat murung di sekolah. Namun berbeda dengan Firman juga teman-teman Pandu yang lainnya. Mereka merasa senang karena dapat menyingkirkan orang yang selama ini membuat mereka iri.
Jam istirahat belum dimulai, namun suara riuh para siswa terdengar keras.
"Ada apa nih?" tanya Sita pada kawan sebangkunya.
"Enggak tahu, keknya sih dari bawah."
"Yaudah bentar, aku panggil Raka dulu. Biar bareng," ujar Sita.
"Kamu duluan aja, aku nanti nyusul."
"Oke,"
Sita segera mencari Raka di kelasnya. Tapi sebelum sampai kelas, mereka sudah berpapasan di depan laboratorium bahasa.
"Eh, aku nyariin. Ayo kita ke bawah," ajak Sita.
Raka dan Sita berlari menuju ruangan bawah. Menuruni anak tangga begitu cepat. Dan mereka mendapati di depan gudang begitu ramai. Mereka mencoba menyelinap di antara kerumunan para siswa.
"Permisi, permisi." Begitulah yang diucapkan Raka dan Sita berkali-kali.
Dan…
"Raka!" pekik Sita.
Raka menoleh kepada Sita dan mereka terlihat terkejut sekali. Mereka melihat sesosok mayat terbaring kaku. Pucat dan terlihat darah yang sudah mengering di keningnya. Ia adalah Pandu.
"Raka, lihat itu Pandu. Kenapa gini?" Sita terus menangis dan tidak mempercayai semua ini terjadi.
"Aku juga enggak tahu. Kenapa bisa seperti ini?" Raka juga terlihat menangis.
Firman dan kawannya itu terlihat biasa saja. Bahkan mereka seperti menampangkan wajah kemenangan atas rencana mereka.
Hari itu sangat terpukul sekali antara Sita, Raka apalagi Ibunya. Mereka tidak menyangka siapa yang berani berbuat sekejam itu pada Pandu yang baik.
Jasad Pandu segera dikuburkan dan Ibunya meminta agar ia dikuburkan di samping makam Ayahnya. Semenjak hari itu, gudang tertutup rapat sekali. Tidak ada yang boleh membukanya, dan kuncinya hanya penjaga sekolah saja yang menyimpannya.
"Sita? Udah jangan gitu terus. Kasihan Pandu disana kalau lihat kamu sedih terus," ujar Kirana kawan sebangku Sita.
Sita tetap saja tidak menggubris perkataan temannya itu. Ia tetap melamun sedih, meratapi nasib temannya yang telah pergi akibat ulah orang jahat.
"Weh, weh. Kelas pojok ramai banget. Ada orang kesurupan katanya," teriak salah seorang siswa yang baru saja kembali dari toilet.
Alhasil, seluruh siswa di kelas Sita segera menuju kelas pojok. Dan benar, mereka melihat seorang siswa sedang dirasuki oleh arwah. Dengan sebuah luka yang ada di keningnya.
Apa itu Pandu? gumam Sita.
"Eh, Ta. Kesini juga, kasihan banget itu si Firman sama Difki di amukin terus," tutur Raka.
"Kenapa?"
"Enggak tahu,"
Seluruh siswa mendadak diam saat siswa yang kerasukan itu berteriak agar semuanya untuk diam.
"Dengar, dia adalah seorang pembunuh. Dia sengaja menjebakku untuk pergi ke perpustakaan. Lalu mereka memukulku dan membawaku ke dalam gudang. Mereka membiarkanku terbari lemah tak berdaya begitu saja di dalam gudang. Sampai akhirnya aku harus meregangkan nyawa," tutur siswa yang tengah dirasuki dengan menunjuk ke arah Firman dan Difki.
"Apa?" pekik seluruh siswa terkejut.
"Aku adalah Pandu. Seorang korban kematian atas kedengkian dan iri," ujar siswa itu.
"Ya. Kami emang enggak terima. Semua seakan menuju padamu, Pandu. Kami seperti tidak punya kesempatan. Dan asal kau tahu, aku tidak menganggapmu teman," tutur Firman.
"Jadi selama ini, kau anggap aku apa, hah?" bentak Pandu
"Aku hanya ingin memperalatmu, dan tentu saja kami tidak benar-benar berteman denganmu."
Tiba-tiba saja Firman terlempar keluar jendela kelasnya. Firman terjatuh dan berlumuran banyak darah. Seluruh siswa tidak menyangka hal itu akan terjadi, betapa terkejutnya mereka ketika melihat Firman sudah tidak bernyawa.
"Sejahat itu kau," tutur Difki marah kepada Pandu.
"Jahat? Kau dan dia sama-sama seorang pembunuh. Tanpa tahu kesalahan, kau berdua menghilangkan nyawa orang."
Difki tidak dapat berkata lagi, ia melarikan diri dari kelas. Dan semua siswa bubar. Raka dan Sita pun tidak percaya ini. Pandu menatap mereka yang tengah terperangah atas kejadian itu. Ketika Pandu melirik mereka berdua, Raka dan Sita seakan menunjukkan perasaan kecewa.
Setelah kejadian itu, Difki memutuskan untuk pergi sejauh mungkin agar tidak terkena dendamnya Pandu juga. Namun rencana tidak sesuai dengan hasil. Pandu berhasil melenyapkan nyawa Difki yang tengah mengendarai sepeda motornya melewati jembatan. Seorang pengendara lain dibelakang Difki dikendalikan Pandu, agar ia dapat mengenai Difki dengan membenturkan keras sepeda motornya dan tersungkurlah Difki ke sungai.
Berita demi berita terus bertebaran penuh duka. Hampir setengah kawan dari Pandu di kelasnya meregang nyawa akibat ulah Pandu yang selalu meneror mereka. Kedengkian mereka membuat Pandu marah, dan tidak segan-segan ia menghilangkan nyawa mereka. Banyak kematian dari mereka yang tragis. Hingga hampir saja sekolahnya ditutup atas kejadian itu.
Namun setelah, 6 bulan tiada tanda-tanda yang menunjukkan keanehan. Sekolah tetap beroperasi seperti biasa. Semua siswa merasa sudah tenang kala itu.
Suatu hari, Raka dan Sita tengah duduk-duduk di taman. Tempat ketika mereka masih bertiga, mereka selalu menghabiskan waktu bosan mereka di taman. Namun semua hancur sudah, tiada impian lagi kini bagi mereka. Mereka menganggap, semuanya telah kosong.
"Ta? Udah yah? Jangan sedih terus gitu. Bentar lagi kita ujian kan," ujar Raka.
"Tapi enggak bisa. Aku susah ngelupain kenangannya,"
"Ya aku tahu kok, tapi kita ikhlasin aja. Kalau kek gini terus, nanti dia enggak tenang disana."
Sita diam saja mendengar nasihat Raka. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Raka tentang Pandu.
Tiba-tiba Sita melihat Pandu samar dibalik pohon dekat telaga. Sita ingin menyusulnya, namun ia takut jatuh ke dalam telaga yang dalam itu.
"Ka, itu Pandu. Ayo kita kesana!"
"Jangan halu kamu, dia udah meninggal, Ta."
"Tapi aku beneran lihat dia," Sita tetap bersikeras untuk menemui Pandu.
"Itu cuma halusinasi kamu, Ta."
"Yaudah kalau kamu enggak percaya. Biar aku sendiri yang kesana,"
"Jangan, Ta!"
Sita tidak peduli Raka yang terus berteriak dan mengejarnya. Sita terus berlari, hingga akhirnya ia tidak melihat ada sebuah batu di depannya. Ia terjatuh, dan masuklah ia ke dalam telaga. Raka tidak tinggal diam, ia berniat menolong Sita. Namun saat ia sudah terjun, ia tidak dapat berenang. Tewaslah mereka berdua di telaga taman itu.
Tidak ada yang tahu atas kematian Raka dan Sita hari itu. Hingga akhirnya, setelah 3 hari taman ramai pengunjung dan salah satu pengunjung melihat secercah kain terapung. Ditemukanlah jasad Raka dan Sita yang teramat pucat.
Kini tidak ada lagi harapan, impian, dan kebahagiaan diantara mereka bertiga. Mereka sama-sama telah tiada. Dahulu sekali mereka punya mimpi yang besar. Namun semenjak Pandu tiada, semua perlahan menyusulnya.
Sejak saat itu juga, sekolah mereka menyimpan dan menutup rahasia tragedi itu secara rapat. Dan mereka memberitahu siswa agar tetap diam dan tidak membuat ricuh tentang kabar itu. Apalagi sampai membuka gudang, sangat dilarang karena mereka percaya arwah Pandu kembali ke dalam gudang setelah kejadian kematian teman-temannya selesai.