**
Toko yang dimaksud oleh Daiki pada Ruri adalah sebuah gedung bertingkat dua yang berada di sudut area Shibuya. Lantai pertama gedung itu adalah sebuah Lamp Shop yang di desain dengan nuansa biru muda dengan wallpaper dinding yang beraneka tekstur gambar yang indah. Ruri meletakkan puluhan jenis lampu yang berbentuk macam-macam di Lamp Shop miliknya dengan label dirinya sebagai designer lampu. R.U.R.I adalah brand yang dipatenkannya pada setiap lampu yang didesainnya.
Bentuk lampu yang cantik dan unik serta dari bahan berkualitas A membuat rancangan Ruri terkenal di Jepang maupun di manca negara. Ruri tidak hanya mendesain lampu untuk ruangan besar tapi dia juga merancang lampu-lampu duduk dengan berbagai bentuk. Rancangan itu sesuai umur konsumennya seperti anak-anak, orang tua, bahkan desain lampunya yang bertema gadis remaja sangat digandrungi para remaja Jepang dan luar negeri. Ruri bisa mendesain lampu dengan bentuk seperti peri dengan rumahnya bahkan sebuah lampu mewah yang terbuat dari kristal-kristal swarovski yang mahal. Semua lampu yang didesain dan dirancangnya memiliki nilai jual hingga jutaan Yen bahkan ada beberapa yang bernilai ribuan Dollar. Tapi Ruri juga meletakkan harga standar sesuai saku konsumen kalangan menengah tanpa mengurangi kualitas lampu tersebut.
Lantai kedua adalah kantor pribadinya bersama para karyawannya yang hanya terdiri 4 orang saja dengan 2 orang pemuda dan 2 orang gadis. Ke empatnya masih muda dan rata-rata masih dalam masa kuliah. Ruri tidak pernah menuntut mereka untuk bekerja habis-habisan di tokonya. Dia memberikan jadwal bagi mereka sesuai waktu luang mereka sebagai seorang mahasiswa. Hanya karena mereka sangat menghormati dan menyayangi Ruri, biasanya mereka justru menyesuaikan jadwal kuliah mereka dengan jadwal mereka untuk menjaga toko.
Ruri lulusan jurusan Art&Design di Universitas Tokyo atau biasa disebut Todai sebagai mahasiswa unggulan. Selama perkuliahan dia selalu menerima beasiswa yang membuatnya merasa sedikit lega karena tidak terlalu memberatkan keluarga Watanabe dalam urusan kuliah. Meskipun keluarga Watanabe sama sekali tidak pernah mempermasalahkan biaya pendidikan tapi sejak Ruri menyadari bahwa dirinya ada ditengah-tengah keluarga itu karena dirinya yang sebatang kara, sejak itulah dia berusaha mendapatkan beasiswa di tiap jenjang pendidikannya. Dia sadar bahwa keluarga Watanabe sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk pendidikan kepolisian Daiki dan dia tidak ingin menambah beban itu pada mereka.
Kadang Ruri ingat bagaimana Sakura mengeluh terang-terangan padanya bahwa Ruri selalu mengejar beasiswa kerena tidak mau dibiayai oleh dia dan Takao. Namun tiap kali pula Ruri membantah dengan keras seraya memeluk wanita tua itu. "Tidak, Bibi. Aku hanya tidak ingin kau merasa berat oleh urusanku."
Maka Sakura akan memeluknya dan mengetuk kepalanya. Dia akan dipeluk dengan erat oleh wanita itu. "Jika aku merasa diberatkan olehmu, untuk apa aku menerimamu masuk ke dalam kehidupanku waktu kau berumur 7 tahun, anak bodoh!"
Ruri selalu merasa hangat ketika menyandarkan wajahnya di dada Sakura. Wanita itu bagai ibu kedua baginya. Sakura selalu hadir di masa-masa buruknya. Di saat dia membutuhkan pelukan hangat seorang ibu, Sakura selalu ada untuk memeluknya. Di saat dia mendapatkan menstruasi yang pertama dan dia menangis -Daiki mencoba mencari tahu apa yang membuatnya menangis- dengan lembut Sakura meraihnya dan membantunya menghadapi itu.
Tiap kali Ruri mengenang Sakura, airmatanya selalu berlinang. Dia membelai foto Sakura yang selalu terletak di meja kerjanya di antara foto-fotonya bersama Daiki. Di ruang kerjanya yang mungil tapi indah oleh interior, Ruri memajang hampir semua foto dirinya bersama Daiki termasuk foto-foto tumbuh kembang mereka tiap tahunnya. Kadang jika Daiki datang dan melihat ruangannya, pria itu akan tertawa dan berkata. "Ini sudah persis seperti galeri foto."
Ruri menyentuh wajah Daiki pada saat pria itu dilantik sebagai polisi. Mereka semua berfoto tepat di depan gedung pendidikan kepolisian Tokyo. Pria itu sangat tampan bersama seragam polisinya.
Bagi Ruri, Daikilah penyemangat hidupnya. Hanya bersama Daiki semua rasa takut dan cemas lenyap. Semenjak kecil Daiki selalu membelanya tanpa memikirkan dirinya sendiri. Kejadian di pulau Odaibalah yang membuat Ruri sadar betapa pria itu sangat menyayanginya. Dia tidak sanggup membayangkan jika nanti Daiki menikah.
Suara ketukan pintu membuyarkan nostalgia Ruri. Dia mengangkat mukanya dan melihat seraut wajah cantik muncul dari balik pintu. Senyum Ruri terkembang.
"Rui? Ada apa?"
"Ada pria muda di lantai bawah, Nona. Katanya dia mendapat panggilan dari anda," jelas Rui.
Ruri teringat akan janji temunya pada seorang calon karyawan. Dia mengangguk pada Rui. "Bilang padanya aku menunggu di sini."
Sementara itu di lantai bawah, seorang pria muda bertubuh sedang sedang berkeliling menatap semua jenis lampu yang dipajang di rak-rak etalase toko itu. Tiap kali dia berhenti pada sebuah lampu, dia akan berdecak kagum. Senyum tipis selalu muncul di wajah tampannya.
Jarinya yang panjang meraih sebuah lebel nama designer yang tergantung di tiap lampu. Dia memperhatikan label R.U.R.I dengan seksama.
Suara langkah kaki menuruni tangga putar di belakangnya menarik perhatian pria itu. Dia memutar tubuhnya dan melihat gadis muda yang manis tadi datang mendekatinya.
"Anda diijinkan untuk ke ruangan Nona, Tuan....."
"Mamoru. Namaku Mamoru."
****
Daiki membuka pintu ruang interogasi dengan kasar dan langsung duduk di hadapan pria tersangka pembunuhan, Jiro Miura.
Dalam beberapa detik Daiki menatap Jiro dan dalam hati menilai bahwa pria di depannya ini memiliki wajah datar yang jelek. Dia juga melihat bahwa kemeja kusut yang dikenakan tubuh tegap itu dari merek mahal. Kuku-kuku jari pria itu terlihat terpotong rapih. Bahkan di dalam ruangan pengap itu Daiki dapat mencium aroma parfum mahal.
"Apa kau pernah mengunjungi Toshima?" Daiki mengeluarkan pertanyaan pertamanya.
Wajah Jiro masih terlihat datar. "Aku tidak pernah ke sana".
Daiki menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. Dia menatap pria di depannya dengan tajam. Tangannya bergerak mengeluarkan dompetnya, membuka dan menarik keluar secarik kertas kusut dari saku dompetnya.
Daiki memajukan tubuhnya dan merapihkan kertas kusut itu di atas meja. Jari telunjuknya yang ramping menekan kertas itu dengan pandangan tak lepas dari pria berwajah datar itu.
"Ini adalah artikel pembunuhan 19 tahun lalu di Toshima. Akemi Kondoo, ibu dari satu orang anak menjadi korban penusukan sebuah pisau lipat yang sangat tajam. Apa kau ingat?"
Dengan acuh tak acuh, pria itu melayangkan pandangan malasnya pada artikel yang ditunjuk Daiki. Sikap itu membuat Daiki naik pitam. Dia memukul meja dan berdiri dengan dua tangannya menekan meja. Wajahnya dimajukannya tepat di depan wajah Jiro.
"Aku ingatkan kau! Apa kau mengenal Kenji Fujita hah?!" bentak Daiki.
"Anak itu sudah emosi jika menyangkut kasus itu. Aku akan menyusulnya," tanpa menunggu persetujuan Ichiro Nakano, Hideo segera keluar dari ruangannya dan berlari menuju ruang interogasi.
Daiki semakin dongkol melihat senyum miring Jiro. "Aku tidak mengenal nama itu," kalimat percaya diri itu hampir melemahkan semangat Daiki. Namun foto sidik jari yang dilihatnya melalui email milik Hideo membuat dia mengeraskan rahangnya.
Kedua tangannya bergerak mencengkram kerah leher Jiro dan menarik kasar agar pria itu berdiri.
"Kuberi tahu, sidik jari sialanmu itu berada pula di pisau lipat itu! Sama persis dengan sidik jari yang terdapat pada pentungan yang kau gunakan untuk membunuh pemilik Bank Asing di Saitama." Daiki mendesis tajam di wajah yang sejenak tampak pucat.
Melihat perubahan yang sangat singkat itu membuat Daiki semakin kencang mencengkram kerah leher Jiro. "Kau bekerja untuk siapa?" Tanya Daiki dingin.
Pintu terbuka dengan kasar. Hideo muncul bersama Detektif Kagawa.
"Terima kasih Detektif Watanabe. Interogasi saya ambil alih," senyum Kagawa .
Seluruh Divisi yang ada di kepolisian Tokyo mengenal Detektif Daiki Watanabe adalah detektif muda yang tajam dan keras dalam tugasnya menyelidiki kasus, persis seperti ayahnya di jamannya. Sudah banyak kasus kejahatan dipecahkan oleh Daiki bersama sang partnernya, Hideo Katoo. Sepak terjang keduanya membuat banyak atasan sangat kagum.
Sebenarnya Daiki dan Hideo berada di naugan Divisi Cyber Crime. Divisi yang menangangi kejahatan dunia maya. Keduanya ahli dalam meretas jaringan internet maupun komputer mana pun termasuk sistem CCTV. Karena keahlian mereka, banyak Divisi Krimanal lainnya meminta mereka masuk dalam tim pemecahan kasus.
Sama seperti keduanya, para kepala Divisi yang berada di Kepolisian Tokyo merasa tidak puas ketika kasus pembunuhan 19 tahun lalu yang terjadi di Toshima dtiututup begitu saja oleh para petinggi Kepolisian. Bahkan ketika Komisaris yang dulu saat mengetahui bahwa Detektif Takao Watanabe dan Detektif Yoshio Katoo diam-diam menyelidiki kasus tersebut, kedua orang detektif itu diminta untuk melepas lencana mereka sebagai polisi dan detektif.
Namun ketika sebuah pembunuhan lain terjadi dan terindentifikasi bahwa terdapat kesamaan sidik jari yang ditinggalkan pada barang bukti untuk membunuh, menguatkan sebagian kepala Divisi yang ada di Kepolisian Tokyo bahwa kasus pembunuhan 19 tahun lalu berkaitan dengan pembunuhan yang baru mereka temukan di masa sekarang. Bahwa pada dasarnya, pembunuhan 19 tahun lalu sengaja untuk ditutup untuk sebuah kepentingan seseorang atau kelompok. Yang menjadi teka teki bagi mereka adalah MOTIF PEMBUNUHAN TERSEBUT!
Pemikiran itulah yang diutarakan oleh Ichiro ketika dia memanggil timnya untuk membahas kasus pembunuhan yang baru saja terjadi. "Dalam kasus ini kita harus menyelidiki dulu hubungan antara Jiro Muira dengan Peter McKenzie, Direktur Bank Asing di Saitama. Menurut laporan dari tim penyidik, Bank Asing di Saitama tersebut sedang mengalami kemerosotan dalam pasar modal sehingga melakukan negosiasi modal pada sebuah perusahaan besar di negara barat. Kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti catatan tentang hal yang menghubungkan Bank Asing Saitama dan perusahaan besar tersebut. Aku secara resmi meminta agar Detektif Watanabe dan Detektif Katoo dari Divisi Cyber Crime bergabung bersama timku. Lagipula sidik jari Jiro yang terdapat pada pentungan sama dengan yang terdapat pada pisau lipat untuk membunuh Akemi, 19 tahun lalu." Ichiro menghentikan sejenak kalimatnya. Dia mempelajari raut wajah Daiki dan Hideo.
Dengan perlahan Ichiro menyambung kalimatnya. "Dan aku bermaksud membuka lagi kasus 19 tahun lalu yang membuat kedua seniorku harus melepas lencana mereka."
****
Di saat bersamaan. New York City.
"Tuan Muda, Nona Sayuri sudah datang."
Junichi melompat dari duduknya dan berlari keluar dari ruang kerjanya. Sepasang kakinya yang panjang melangkah lebar-lebar menuju di mana Sayuri berada. Junichi langsung berjalan menuju sebuah balkon yang sengaja didesain dengan model Victorian yang menghadap taman bunga mawar merah milik Sayuri. Junichi sengaja membangun balkon melengkung itu khusus bagi Sayuri untuk dapat melihat dari atas keindahan taman mawarnya. Tunangannya itu sangat menyukai mawar merah dan tidak pernah menyukai bunga lainnya. Dan setiap kali wanita itu datang, hal pertama yang dilakukannya adalah menuju teras Victoriannya dan menatap taman bunga mawar itu.
Junichi melangkah ke teras di mana dilihatnya pemandangan yang selalu sama. Sayuri yang cantik akan duduk di meja bulatnya dan matanya hanya tertuju pada taman mawarnya. Seperti saat itu, Junichi melihat Sayuri duduk tenang di sana dengan fashionnya yang memukau. Dia berjalan mendekat tanpa suara.
Sayuri begitu asyik menatap bunga-bunga mawar merahnya yang mekar dengan indahnya di taman ketika dirasakannya sebuah kecupan hangat mendarat pada sisi pipinya disusul oleh sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang.
"Hai," bisik Junichi mesra pada cuping telinga Sayuri. Rangkulannya pada tubuh ramping itu semakin erat membuat Sayuri bersuara.
"Kau nyaris meremukku," cetusnya halus.
Junichi tersenyum dan melonggarkan pelukannya tapi tidak melepaskannya. "Bagaimana Paris? Apakah ayah dan ibumu senang di sana?" tanya Junichi dengan berbisik pada tunangannya.
Tanpa melepas matanya dari taman bunga di bawah sana, Sayuri menjawab anteng. "Mereka menyukai Paris." Sapaan mesra Junichi sama sekali tidak diresponnya membuat pria tampan itu akhirnya menyerah dan menjauhkan wajahnya. Pada akhirnya Junichi harus menghentikan segala caranya untuk menggoda Sayuri. Dia melepaskan pelukannya dengan hati-hati dan duduk di depan Sayuri.
Seolah baru sadar bahwa dia tidak sendirian, Sayuri menoleh Junichi dengan senyum manisnya. "Taman mawar itu begitu cantik membuatku nyaris melupakan sekitarku, Jun." Sayuri tersenyum begitu manisnya membuat rasa jengkel Junichi menguap entah ke mana.
Sayuri kadang membuatnya nyaris menjambak rambutnya sendiri. Wanita itu memiliki kepribadian yang aneh sejak pertama kali mereka bertemu 10 tahun lalu. Ketika itu usianya 20 tahun dan Sayuri 16 tahun. Orang tua Sayuri adalah pemilik perusahaan baja terbesar di Benua Amerika dan merupakan sahabat ayahnya.
Mereka bertemu pada sebuah pesta yang diadakan oleh Nyonya Fukada. Saat itu Junichi menemani ayahnya dan mulai bosan pada acara pertemuan para pebisnis tersebut. Dari kecil Junichi sudah tahu bahwa ayahnya adalah seorang mafia besar atau biasa disebut sebagai Yakuza jika di Jepang, yang bergelut dengan dunia abu-abu di mata kanak-kanaknya. Namun ketika dia beranjak dewasa, dia sudah sangat memahami dunia macam apa yang digeluti ayahnya dan kelompoknya. Dunia penuh kelicikan dan kekejaman bagaikan makanan utamanya setiap hari. Ayahnya membawanya memasuki dunia miliknya dan mulai memperkenalkannya pada para kelompoknya. Mengajarinya secara perlahan untuk mengenali orang atau kelompok yang dapat masuk dalam cengkramannya. Junichi menikmati dunia itu di samping tugasnya untuk menyesaikan kuliahnya di Jurusan Bussiness di New York University. Tapi malam itu dia merasa bosan dengan pesta tersebut dan membuatnya menyelinap untuk mencari udara segar.
Junichi ingat pertama kali dia bertemu Sayuri. Ketika dia berjalan di sekitar taman buatan nyonya rumah, perhatiannya tertuju pada sebuah balkon kamar yang terbuka. Perhatiannya semakin menjadi ketika melihat seseorang mulai merambat menuruni balkon. Seorang gadis yang memakai gaun tidur menyelinap turun dari balkon dan berlari menuju luar taman. Melalui remang cahaya lampu taman, Junichi melihat siluet wajah gadis itu dan dia terpesona akan kecantikan itu.
Karena rasa tertariknya serta penasaran membuat Junichi membuntuti ke arah perginya Sayuri dengan diam-diam tanpa diketahui gadis itu. Ternyata gadis itu menuju keluar pintu taman dan berlari keluar dari area rumah mewahnya. Junichi berpikir bahwa gadis itu akan bertemu dengan kekasihnya secara diam-diam, ternyata gadis itu justru menemui sepasang suami isteri pemulung yang berada di sudut blok. Junichi yang mengintai dari dinding tembok sebuah rumah melihat bagaimana gadis itu yang kemudian diketahuinya adalah anak tunggal keluarga Fukada, mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik jaketnya. Tenyata bungkusan itu isinya adalah makanan yang dibungkus Sayuri secara diam-diam dari dapur rumahnya. Saat itulah Junichi langsung jatuh cinta pada Sayuri.
Dia mengatakan rasa tertariknya pada Sayuri langsung di hadapan Osamu Fukada seminggu kemudian. Dia mengatakan ingin menjadikan Sayuri tunangannya. Osamu tampak ragu untuk menyetujui permintaan Junichi namun dengan cerdik pemuda itu langsung mengatakan bahwa dia mengetahui bahwa perusahaan baja milik pria itu sedang mengalami kesulitan modal. Junichi menjanjikan akan meminta ayahnya untuk membantu Osamu Fukada keluar dari kesulitan tersebut. Tanpa pikir panjang lagi Osamu berjanji akan mempertemukan anaknya pada Junichi dan menerima usulan Junichi untuk bertunangan.
Kecerdikan Junichi dapat dikatakan adalah kelicikan paling hebat dalam memanipulasi lawannya. Ayahnya tidak pernah menentang apa pun kehendak Junichi. Pria tua itu menyadari bahwa Junichi memiliki darah murni dirinya. Dia hanya memupuk dan mengembangkannya. Dia tahu bahwa seminggu setelah pesta itu, Junichi mulai mencari tahu tentang perusahaan baja milik Osamu Fukada.
Lebih dari sebulan Junichi menunggu dengan sabar hasil dari permintaanya. Melalui mata-matanya, dia mengetahui bahwa Sayuri menentang keras permintaannya. Namun sebulan kemudian, Osamu datang ke rumah keluarga Kimura dan mengatakan bahwa Sayuri menerima permintaan Junichi untuk menjadi tunangan pemuda itu.
Junichi menatap wajah cantik itu. Sayuri menjadi miliknya hingga sekarang. Namun dari awal Sayuri tidak ingin disentuhnya sebelum mereka menikah. Dan tentu saja demi memiliki Sayuri, Junichi menyanggupi permintaan itu. Dia memuaskan hasrat terpendamnya pada tunangannya yang cantik kepada wanita-wanita yang bersedia untuknya. Meski pun begitu dia tetap mendamba Sayuri, mendamba lahir dan batin wanita itu.
****
Sayuri menatap pria tampan di hadapannya. Sudah 10 tahun dia dijual orang tuanya pada pria yang menjadi tunangannya itu. Dia tidak bisa menilai hatinya sendiri pada Junichi. Pria itu menuntutnya secara halus untuk menjadi miliknya. Memaksa orangtuanya yang pada dasarnya adalah budak nafsu dari apa yang disebut harta dan uang, memintanya untuk menerima Junichi sebagai tunangan.
Saat itu Sayuri adalah remaja yang memiliki dunianya sendiri. Dari kecil wataknya sudah aneh sehingga ketika remaja, dia mempunyai dunia barunya bersama remaja lainnya. Dunia barunya begitu bebas dan berwarna maka wajar saja dia menolak keras ketika ayahnya menyuruhnya menjadi tunangan anak dari seorang mafia yang sama sekali belum ditemuinya.
Tapi suatu malam naas mengubah hidupnya. Ketika itu dia berada di sebuah klub bersama teman-temannya, ketika dia pergi ke kamar kecil, tiba-tiba saja mulutnya dibekap oleh seseorang menggunakan masker. Saputangan yang membekap mulutnya ternyata dibubuhi obat bius sehingga dalam setengah sadar dia diseret oleh orang itu pada suatu ruangan remang-remang di klub tersebut.
Di antara obat bius yang membuatnya hampir tidak sadar, dia mendengar suara orang berbicara dalam bahasa inggris pada orang lain dalam ruangan itu.
"She is here, master."
Sayuri berusaha melawan obat bius yang mulai menguasainya. Dia hanya mampu melihat bahwa seseorang bertubuh jangkung dengan dada yang bidang dan memiliki otot-otot perut yang kencang mendekatinya. Dia merasakan bagaimana orang itu berada di atasnya. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah yang menatapnya itu karena sedikitnya penerangan di ruangan itu tapi dia dapat merasakan bahwa tangan pria itu mengelus pipinya dengan lambat.
"Jangan..." Sayuri masih mampu untuk meronta namun suaranya tenggelam oleh apa yang terjadi selanjutnya. Tenaganya hilang sama sekali dan dapat merasakan rasa sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya. Rasa sakit itu membuat dia menangis. Dia menjerit sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Ketika dia terbangun beberapa jam kemudian, dia menyadari bahwa dia hanya sendirian di kamar mewah VIP klub tersebut. Harga dirinya yang selalu dijaganya dengan begitu hati-hati kini seolah terlempar begitu saja di jalanan. Kenyataan pahit itu membuat Sayuri menjambak rambutnya. Dia kehilangan satu-satunya miliknya yang paling berharga!
Merasa bahwa dirinya sudah tidak sempurna lagi membuat Sayuri menerima permintaan Junichi dan berniat mencari penjahat itu. Begitulah akhirnya dia menjadi milik Junichi. Namun watak anehnya kembali muncul. Dia hampir tidak pernah memperdulikan Junichi. Dia tahu bahwa pria itu bersama banyak wanita di belakangnya namun dia tidak mau ambil pusing. Dia tahu Junichi memuja dirinya dan akan kembali padanya.
Sayuri menyentuh punggung tangan Junichi dan menggenggamnya. "Apa kau bakalan pasti ke Jepang?" tanyanya halus.
Junichi tersenyum dan mengelus jemari ramping dengan kuku berwarna merah itu. Membawanya ke bibirnya dan menciuminya dengan penuh penghargaan. "Tentu saja. Aku berencana mengambil alih sebuah perusahaan di sana. Kau harus segera bersiap, sayang. Kemungkinan kita akan berangkat minggu depan."
Sayuri memandang bagaimana dengan lembutnya Junichi menyentuh jemarinya. Bagi gadis kebanyakan menjadi milik pria di hadapannya merupakan sebuah kebanggaan. Junichi begitu baik dan royal. Tapi Sayuri tidak pernah bisa merasa nyaman bersama Junichi.
Dengan halus Sayuri menarik tangannya. Terlihat sorot mata Junichi yang kecewa. "Sayuri...aku sedang rindu padamu. Selama seminggu kau bersenang-senang di Paris..."
"Kurasa kau juga bersenang-senang di sini," potong Sayuri seraya meraih cangkir tehnya. Meneguknya dengan anggun.
Dari balik cangkirnya, Sayuri dapat melihat perubahan wajah tunangannya.
Di saat seperti itu, Junichi mendengar suara asistennya. "Ayah anda datang dan meminta anda datang ke ruangan kerja."
Junichi segera berdiri dan berjalan mendekati Sayuri. Dikecupnya pipi tunangannya itu. "Aku menemui ayahku dulu."
Junichi tersenyum dan berjalan meninggalkan Sayuri yang tanpa sadar bernapas lega.
Di ruang kerjanya, Junichi melihat ayahnya duduk di sofa yang langsung menghadap televisi layar datarnya. Dia melihat bahwa pria tua itu sedang menonton sebuah acara berita channel Jepang.
"Ayah, Sayuri ada di teras." Junichi menyapa ayahnya namun hanya disambut dengan deheman.
Junichi mendekat dan menatap layar televisi. "Sepertinya ada berita menarik..." kalimat Junichi menggantung di udara ketika matanya nyalang pada berita yang berasal dari Tokyo.
Berita tentang tertangkapnya seorang tersangka pembunuhan pemilik Bank Asing Saitama malam kemarin waktu Jepang.
Wajah Jiro Miura sang tersangka sangat jelas di berita yang mengabarkan bahwa kepolisian Tokyo akan mengusut kasus pembunuhan itu dengan serius karena kebetulan yang luar biasa sidik jari tersangka terdapat pada alat bukti pembunuhan 19 tahun lalu yang menimpa Akemi Kondoo atau Nyonya Fujita, pembunuhan di Toshima.
".....saat ini pihak kepolisian sedang mengusut keterkaitan pembunuhan Bank Asing dengan pembunuhan 19 tahun lalu yang sudah ditutup...."
Bagian itu tak terdengar lagi oleh pria tua yang duduk tersandar di sofa. Dengan tenang dia menatap anaknya yang tampak mengetatkan rahangnya.
"Kau lihat barusan? Kurasa kau bisa mengatur semuanya."
Junichi mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia menempelkan benda itu di telinganya. Wajahnya yang tampan membentuk seraut wajah bengis dengan sepasang bibir terkatup rapat. Tampaknya di seberang sudah menyambut panggilannya.
"Bereskan keparat sialan itu! Sekarang juga!" Lalu dia menutup ponselnya dan menatap pria tua yang duduk dengan tenang di sofanya. Di samping lututnya terletak sebuah tongkat kuningan ciri khasnya. Tatapannya yang tajam menjurus pada anak lelakinya yang menjulang dan gagah. Senyum tipis bermain di wajahnya.
"Kau telah kupersiapkan untuk waktu seperti ini. Saatnya sudah tiba anakku. Waktunya melakukan semua yang kau rencanakan sejak usiamu 11 tahun." Sambil mengusap ujung tongkatnya, Shinobu Kimura tersenyum pada anak lelakinya, Junichi Kimura.
****
Ruri menatap pria yang kini duduk di hadapannya. Dia kembali membaca CV serta kualifikasi yang ada di tangannya.
"Hm...Tuan Hozy..Mori.." Ruri menatap dengan penuh penilaian.
Pria itu tersenyum. "Mamoru..anda bisa memanggilku Mamoru, Nona. Semua orang yang mengenalku memanggil seperti itu." Mamoru menjawab dengan ringan.
Ruri mengerutkan keningnya. Mamoru berusia 24 tahun. Kualifikasinya sebagai lulusan Economic and Bussiness di salah salah satu Universitas terkemuka di Washington DC sangat menjanjikan. Ruri membutuhkan seseorang yang dapat mengatur keuangan usahanya juga kontrak-kontrak bisnis yang akan dilakukannya dalam waktu dekat. Meski pun pria itu enggan menggunakan nama aslinya, bagi Ruri hal itu bukan masalah. Kadang dia sendiri juga tidak ingin menggunakan marganya.
Rasa yakin membuat Ruri tidak terlalu detail mempelajari CV yang ditulis Mamoru. Dia menutup berkas tersebut dan mengatupkan kedua tangannya.
"Baiklah. Mulai besok anda sudah boleh bekerja." Ruri melihat bagaimana Mamoru terlihat sedang membaca pesan di ponselnya. Dia menanti sejenak setelah pria itu menyelesaikan membaca pesan di ponsel.
Mamoru mengangkat wajahnya dari ponselnya dan tertawa. "Terima kasih, Nona. Aku baru saja memberi tahu ibuku bahwa aku sudah mendapatkan pekerjaan di Tokyo."
Ruri berdiri dari duduknya dan keluar dari mejanya. Dia mengantar Mamoru menuju pintu keluar ruangannya. Meskipun cara bicara Mamoru memancing rasa penasarannya, Ruri lebih memilih bersikap masa bodoh.
Ketika Ruri hampir menutup pintu ruangannya, Mamoru terdengar bersuara. "Anda tahu arti nama Mamoru, Nona Ruri?"
Ruri menunda gerakannya dan tidak menjawab. Tapi dia menunggu kalimat Mamoru.
Dengan senyum di wajahnya -sepertinya itu adalah kebiasaannya-pikir Ruri, Mamoru menjawab dengan tenang.
"Mamoru artinya Guardian atau Penjaga. Sampai jumpa besok, Nona." Kemudian Mamoru membalikkan tubuhnya menuruni tangga melingkar.
Ruri mengangkat bahunya dan menutup pintu ruangannya. Ponselnya berbunyi nyaring di atas mejanya. Dia berlari meraih benda itu dan melihat bahwa nama Daiki terpampang dilayar.
"Ada apa?"
"Apa kau sudah selesai?" - suara Daiki.
Ruri melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan angka 7 dan langit di luar jendela tampak mulai menggelap.
"Kurasa aku sudah selesai"
"Aku dan Hideo Senpai ada di apartementmu..." - suara Daiki.
"Ruri, aku menemukan kue pengantin di lemari pendinginmu. Apa yang harus kami lakukan dengannya" - suara Hideo berada di latar belakang suara Daiki.
Ruri tersenyum sambil meraih tas bahunya. Dia berjalan menuju pintu dan keluar seraya mengunci ruangannya tanpa mematikan lampunya.
"Hideo Senpai boleh memakannya" - ucap Ruri pada Daiki di ponsel.
Terdengar Daiki tertawa. "Kau tahu bahwa Senpai sangat gemar memakan kue pengantinmu" - suara Daiki.
Ruri menuruni tangga dengan perlahan. Dia melihat bahwa ke empat karyawannya sedang merapihkan dan menutup lampu-lampu dengan kain satin yang lembut agar terhindar dari debu.
Mereka mengangguk ketika Ruri lewat. Wanita itu memberi tanda bahwa dia akan pulang.
"Hati-hati di jalan, Nona," ucap Rui pada Ruri yang mendorong pintu kacanya.
Ruri melambai mereka dan berjalan menuju jalanan Shibuya yang ramai.
"Aku akan menjemputmu" - suara Daiki.
Ruri berjalan lambat sambil memandang restoran-restoran yang berjejer di sepanjang Shibuya. Dia memasuki sebuah restoran Sushi dan tertawa mendengar kalimat Daiki.
"Tidak perlu, Daiki. Aku bisa memakai taksi." Dia mengakhiri percakapan mereka dengan mengatakan hal itu. Kemudian dia menuju meja pesanan dan mulai memesan sushi dan makanan lainnya untuk dibawa pulang.
Sepasang mata tajam memperhatikan Ruri di luar restoran sushi. Dengan ponselnya yang canggih, dia mengambil semua gerak gerik Ruri melalui kamera ponsel yang bermega pixel besar. Seluruh foto-foto itu dikirimnya melalui pesan SNS.