Sial! Apa dia sengaja menggodaku? batin Soni. Walaupun dinding kaca itu dari bahan riben, tapi karena lampu yang dinyalakan di dalam kamar Dina, maka isi kamar itu bisa terlihat walau sedikit samar. Dina kemudian melepas roknya dan menyisakan celana dalamnya. Kembali Soni menelan salivanya. Dina yang sengaja melakukan itu tersenyum, karena dia bisa melihat gerak-gerik Soni dari ponselnya yang terhubung dengan CCTV diapartementnya. Dina mengambil sebuah kaos tanpa lengan dengan panjang sepaha, dia keluar sambil membawa peralatan dan obat.
" Maaf, lama!" kata Dina.
" Nggak apa-apa!" jawab Soni berusaha menutupi kegugupannya.
" Ini, Son!" kata Dina yang telah duduk di sebelah Soni.
" Iya!" kata Soni membuka kotak tersebut dan mulai mengobati luka Dina. Konsentrasi Soni terbelah dengan pemandangan tubuh Dina dibalik kaosnya yang sedikit transparan. Soni bisa melihat dada busung Dina dan juga paha Dina yang mulus.
" Kamu nggak pa-pa, Son?" tanya Dina pada Soni. Soni hanya diam saja tidak menjawab, dia memendam hasratnya yang mulai bergelora. Sesekali Dina menggigit-gigit bibirnya di depan Soni saat merasa nyeri. Setelah selesai menangani luka Dina, Soni menutup kotak tersebut. Dina berdiri lalu membawa kembali kotak tersebut ke kamarnya. Dina masuk ke dalam kamar mandi.
" Ahhhh!" teriak Dina. Soni yang mendengar langsung berlari ke dalam kamar mandi, alangkah terkejutnya dia melihat Dina dengan tubuh toples, tiba-tiba berlari memeluk dirinya.
" Ada ulat, Son! Aku jijik!" kata Dina tidak malu. Soni terdiam kaku ditempatnya, dia sudah tidak bisa menahan lagi, miliknya telah bereaksi. Dengan cepat dia melepaskan tubuh Dina dan pergi meninggalkan wanita itu yang berdiri terpaku karena niatnya tidak berhasil terlaksana.
Pagi menyapa dunia dengan memberikan sinar matahari yang menghangatkan penghuninya. Disalah satu kamar di sebuah RS seorang Dokter dan suster memasuki sebuah kamar VVIP.
" Selamat Pagi!" sapa dokter itu.
" Selamat Pagi, dokter!" jawab Fatma.
" Saya Dokter Cecil, yang menggantikan Dr. Dina untuk sementara waktu, karena beliau berhalangan hadir hari ini!" kata Cecil. Brian yang sedang berdiri didekat brankar istrinya dan sedang menyuapinya, hanya melirik sebentar.
" Iya, dokter!" kata Fatma dengan tersenyum. Sementara Brian pergi ke kamar mandi.
" Saya periksa dulu, Nyonya Zahirah!" kata Cecil, Fatma menganggukkan kepalanya.
" Silahkan, dokter!" jawab Fatma yang membaringkan tubuhnya setelah tadi duduk karena sedang sarapan.
" Semua baik-baik saja! Nyonya boleh pulang hari ini dan tolong apa yang telah disampaikan Dr. Dina dipatuhi, ini demi kesehatan dan keselamatan ibu dan bayinya!" tutur Cecil. Tidak lama kemudian Brian keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya sedang berbicara dengan Fatma.
" Trima kasih, dokter!" kata Fatma.
" Sama-sama! Saya permisi! Selamat Pagi!" kata Cecil.
" Selamat Pagi!" jawab Fatma.
" Dokter Cecil!" panggil Brian.
" Ya?" jawab Cecil.
" Dokter selain disini, praktek dimana?" tanya Brian datar.
" Saya kalau malam praktek dirumah, Tuan!" jawab Cecil.
" Bisa saya minta kartu namanya? Saya mau dokter menjadi dokter kandungan istri saya!" kata Brian.
" Hah? Dokter Dina?" tanya Cecil kaget.
" Apa dokter tidak mau?" tanya Brian.
" Tentu saja dengan senang hati saya menerimanya, Tuan!" jawab Cecil dengan gembira karena dia tahu siapa Brian sebenarnya.
" Baiklah!" kata Brian. Kemudian Cecil mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Brian.
" Permisi!" kata Cecil. Kemudian pergi meninggalkan kedua pasangan yang sedang bahagia itu.
" Sayang! Apa kamu sudah tidak apa-apa?" tanya Brian mengecup pipi istrinya. Fatma tersenyum malu dengan pipi merona mendapat kecupan lembut dari suaminya tercinta.
" Iya, Habib! Aku merasa sangat sehat!" jawab Fatma sambil memeluk pinggang suaminya.
" Istriku sangat manja akhir-akhir ini!" goda Brian.
" Apa kamu tidak suka aku begini?" tanya Fatma cemberut.
" Hahaha! Istriku sedang marah! Tentu saja aku suka sekali, sayang! Apapun yang kau lakukan padaku, aku akan menerima dengan senang hati!" jawab Brian. Pelukan Fatma membuat hati Brian merasa berbunga, entah mengapa dia sangat bahagia saat Fatma bermanja padanya.
" Aku akan ke bagian administrasi!" kata Brian mendekati Fatma lalu mengecup kening dan bibir istrinya itu.
" Hati-hati, Habib!" kata Fatma.
" Iya, Qolbi!" jawab Brian tersenyum.
" Peluk lagi!" pinta Fatma manja. Brian memeluk erat istrinya dan mengusap-usap punggungnya.
" Sudah?" tanya Brian.
" Belum!" jawab Fatma lalu dia menggosokkan kepalanya ke dada Brian.
" Sayang! Aku harus puasa selama sebulan! jangan menggodaku!" kata Brian yang merasa gosokan Fatma bisa membuat dirinya mencari rumahnya.
" Maaf! Aku merasa dada kamu sangat nyaman, Habib!" kata Fatma.
" Aku tahu! Bos kecilku pasti suka dengan dada abinya!" bisik Brian lembut.
" Abi?" ucap Fatma.
" Iya! Dia akan memanggilku Abi! Seperti dirimu, sayang!" kata Brian. Mata Fatma berkaca-kaca mendengar ucapan suaminya.
" Aku ingin ke rumah Abi dan Ummi!" kata Fatma.
" Iya! Kita akan kesana minggu depan!" kata Brian.
" Kok, minggu depan?" tanya Fatma sedih.
" Apa kamu lupa jika aku harus ke Singapore untuk 5 hari?" kata Brian mengingatkan.
" Astaghfirullah! Aku hampir lupa, Habib!" jawab Fatma.
" Apa istriku sudah jadi pelupa?" goda Brian.
" Tidak! Cepatlah! Aku tidak ingin sendiri disini!" kata Fatma cemberut. Brian tersenyum dan keluar dari kamar itu.
" Selamat Pagi!" sapa Soni yang muncul beberapa saat setelah Brian keluar.
" Selamat Pagi!" jawab Fatma yang saat itu sedang duduk di atas brankarnya sambil memainkan ponselnya.
" Bagaimana keadaan istri sepupu lemari es gue?" tanya Soni sambil duduk di kursi dekat brankar Fatma.
" Lemari es?" ucap Fatma mengerutkan dahinya lalu meletakkan ponselnya di atas nakas.
" Sorry! Gue biasa menjuluki dia lemari es! Abis mukaknya itu lho, kayak lemari es, dingin banget!" tutur Soni.
" Astaghfirullah, Soni! Kamu itu!" kata Fatma kaget, sebenarnya dia ingin tertawa karena apa yang dikatakan Soni memang sedikit banyak ada benarnya.
" Jangan bilang sama dia, ya! Bisa mampus gue!" kata Soni lagi.
" Your secret safe with me!" jawab Fatma.
" Gimana keadaan lo?" tanya Soni.
" Alhamdulillah baik!" jawab Fatma.
" Baguslah! Apa lo akan pulang hari ini?" tanya Soni lagi.
" Iya!" jawab Fatma.
" Baguslah! Boleh pesen sedikit?" tanya Soni.
" Apa?" tanya Fatma.
" Lo ganti dokter aja! Jangan dokter Dina!" kata Soni serius.
" Apa ada yang salah dengan Dokter Dina?" tanya Fatma pura-pura.
" Gue nggak suka aja! Gue kuatir dia..." Soni terdiam.
" Dia kenapa?" tanya Fatma semakin penasaran.
" Gue takut dia akan menggoda lemari es!" kata Soni tegas. Fatma menghela nafas lalu melihat Soni sesaat.
" Apa dia seperti itu?" tanya Fatma ingin tahu tentang Dina.
" Gue nggak kenal baik, tapi sebaiknya lo jauh-jauh dari dia!" jawab Soni mengambang.
" Apa dia pernah melaukan sesuatu sama lo?" tanya Fatma hati-hati.
" Bisa dibilang seperti itu!" jawab Soni.
" Apa yang lo lakuin disini?" tiba-tiba suara berat Brian sudah memenuhi kamar itu.
" Halo, bro!" sapa Soni. Wajah Brian yang menggelap menatap dirinya, membuat Soni sadar jika dia terlalu dekat dengan istri sepupunya itu. Dengan cepat Soni berdiri dan menjauh dari brankar.
" Dia hanya menyapaku, Habib!" kata Fatma.
" Pergi! Sebelum..."
" Habib! Kemarilah!" potong Fatma sambil membuka kedua tangannya sebagai tanda meminta Brian mendatanginya.