" Bos sudah menikah beberapa bulan yang lalu!" kata Danis.
" Tidak! Dia harus menceraikan wanita itu! Dia harus menikahi gue!" teriak Carisa marah.
" Saya akan menikahi Nona!" kata Danis memberanikan diri.
" Apa? Apa lo gila? Lo bukan siapa-siapa selain bawahan!" kata Carisa memandang remeh Danis. Danis hanya diam saja mendengar cemooh Carisa, karena dia tahu siapa Carisa.
" Tapi saya bisa membuat Nona bahagia!" kata Danis.
" Jangan kurang ajar lo, Danis! Lo nggak mungkin bisa memberikan apa yang gue butuhkan!" kata Carisa masih mengejek Danis.
" Saya bisa, Nona! Saya memiliki simpanan!" kata Danis.
" Tapi lo nggak sekaya Brian!" kata Carisa.
" Tapi saya yakin saya bisa memberikan apapun yang Nona mau, termasuk anak kita!" kata Danis.
" Jangan kurang ajar,lo! Ini anak Brian! Dan hanya akan menyandang nama Manaf dibelakangnya!" kata Carisa semakin marah.
" Tapi Bos tidak akan mau menerima anak itu!" kata Danis.
" Kalo dia tidak mau mengakuinya, biar keluarganya yang memutuskan!" kata Carisa akan pergi dari ruangan Danis.
" Nona tidak bisa kemana-mana! Pembicaraan kita belum berakhir!" kata Danis.
" Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!" kata Carisa lalu mencoba membuka pintu ruangan itu, tapi Danis telah menguncinya.
" Berikan kuncinya!" kata Carisa.
" Maaf! Saya tidak bisa!" kata Danis. Sontak Carisa merasa marah dan mendekati Danis. Dia kemudian menampar Danis dengan keras. Plakkk!
" Jangan berbuat diluar kekuasaan lo! Atau gue akan melakukan sesuatu yang akan membuat lo menyesal seumur hidup!" kata Carisa didepan wajah Danis. Tapi bukan Danis namanya jika dia tidak bergeming, dengan cepat dia berdiri mendekati Carisa yang merasa risih didekati Danis hingga dia mundur. Saat tubuh Carisa menyandar di pintu, dengan cepat diraihnya tengkuk Carisa dan diciumnya bibir gadis itu. Carisa meronta-ronta tapi Danis telah mengunci kedua tangan dan kakinya. Carisa serasa dejavu, seakan dia pernah mengalami peristiwa itu. Seakan dia pernah merasakan bibir Danis dan sentuhan Danis. Beberapa saat Carisa terbawa suasana dan menikmati cumbuan Danis.
Sementara itu Brian menunggui Fatma yang pingsan di kamar tadi. Dokter datang akan memeriksa Fatma.
" Dimana istri lo?" tanya Heru, teman Brian yang seorang dokter.
" Apa maksud lo nanya dimana dia?" tanya Brian dengan wajah marah.
" Lo bilang dia pingsan? Dan lo suruh gue datang!" kata Heru.
" Tapi gue nggak mau lo pegang-pegang dia!" kata Brian datar.
" Gimana gue meriksa kalo nggak megang, bro?" tanya Heru heran dan sebel sama temannya yang posesif ini.
" Mau gue cabut ijin lo? Ato gue buang ke laut penuh hiu?" ancam Brian.
" Heran, gue! Kenapa istri lo mau punya suami posesif kayak lo!" kata Heru kesel.
" Karna gue tampan dan kaya!" sahut Brian sombong.
" Pake dijawab lagi! Nggak usah bilang semua sudah tahu kalee!" kata Heru tambah sebel.
" Kenapa lo nggak bawa perawat kesini kampret! Lo bilang lo dokter, tapi IQ lo jongkok!" sindir Brian.
" Sialan! Tapi bener juga lo!" kata Heru baru nyadar. Kemudian Heru menelpon ke RS dan menyuruh Riri, asisten perawatnya untuk datang.
" Tunggu senbentar, asisten gue udah OTW!" kata Heru.
" Lalu gue harus biarin istri gue pingsan!" kata Brian marah.
" Lo nggak mau gue yang meriksa, gimana sih?" ucap Heru. Brian merasa geram, dia masuk ke dalam kamar.
" Brikan ini dihidungnya!" kata Heru pada Brian sambil melempar sebuah botol kecil minyak. Brian menangkap botol tersebut dan masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya istrinya yang masih tergolek pingsan diatas ranjang. Brian membelai khiran Fatma dan mengecup keningnya.
" Qolbi!" panggil Brian lembut di telinga Fatma, tapi Fatma tidak merespon panggilan tersebut. Lalu dibukanya botol tersebut dan dituangkannya sedikit diatas jari telunjuknya kemudian diberikannya ke hidung Fatma untuk dihirup. Setelah beberapa menit, kelopak mata Fatma bergerak, dia menggelengkan kepalanya dan perlahan membuka matanya.
" Qolbi!?" panggil Brian dengan lambut. Fatma memandang suaminya lalu kesekeliling ruangan.
" Dimana dia?" tanya Fatma tiba-tiba.
" Siapa?" tanya Brian.
" Wanita yang mengandung anakmu!" kata Fatma dengan hati yang terasa sakit. Dia tidak mau menjadi wanita yang egois, bagaimanapun dia harus menerima segala konsekuensi tentang masa lalu suaminya.
" Dia pergi!" kata Brian.
" Kamu mengusir dia? Apa kamu tidak mau bertanggung jawab?" tanya Fatma kecewa.
" Tapi bukan aku yang menghamilinya, sayang!" kata Brian tegas.
" Kamu mana ingat? Hanya wanita yang tahu siapa bapak dari anak itu!" sahut Fatma ketus.
" Kamu harus percaya padaku, Qolbi!" kata Brian lembut.
" Aku lebih percaya yang ada dihadapanku!" jawab Fatma. Airmata yang ditahannya menetes begitu saja dipipinya. Brian yang melihat hal itu menjadi sedih dan menangkup wajah istrinya yang menolak untuk memandangnya.
" Tapi apa yang ada dihadapanmu semua bohong! Aku tidak pernah bahkan belum pernah menyentuh Carisa!" kata Brian.
" Oww! Nama dia Carisa! Kamu hafal setiap wanita yang..." Fatma menghentikan ucapannya, hatinya telah dikuasai amarah dan tidak lagi memakai logika.
" Iya, sayang! Dia teman Briana! Dan anak dari teman mama!" jawab Brian. Pintu diketuk dari luar. Tok! Tok!
" Siapa?" tanya Brian geram, Fatma tidur membelakanginya, Brian menghembuskan nafasnya dengan kesal.
" Ya?" Brian melihat seorang wanita dengan pakaian putih seperti perawat.
" Dia yang akan memeriksa istrimu!" teriak Heru dari sofa.
" Masuklah!" kata Brian.
" Permisi, Tuan!" kata Riri, lalu masuk dan tersenyum pada Fatma.
" Permisi, Nyonya!" kata Riri lalu membuka khimar yang menutupi dada Fatma. Brian menatap istrinya dengan mata sayu, dia tahu jika Fatma marah padanya.
" Bagaimana, suster?" tanya Fatma.
" Saya konsultasi dengan Dokter Heru dulu, Nyonya!" kata Riri lalu keluar dari kamar. Brian mendekati Fatma, tapi Fatma dengan pelan membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya. Astaghfirullah! Maafkan aku, habib! Hatiku sangat sakit dan kecewa padamu! batin Fatma dengan mata berkaca-kaca.
" Apa kamu masih marah, sayang? Aku sudah mengatakan yang sejujurnya!" kata Brian menyentuh bahu Fatma.
" Aku ingin sendiri!" kata Fatma.
" Tapi, sayang aku...!"
" Tolong, Yan!" kata Fatma sedikit keras. Brian melepas tangannya, dia kecewa dengan sikap Fatma yang tidak mempercayainya. Brian mengutuk Carisa karena membuat hubungannya dengan Fatma menjadi seperti ini. Jika sampai terjadi sesuatu pada kami, lo akan tau akibatnya, Risa! batin Brian geram. Brian keluar dari kamar dengan wajah murung.
" Bagaimana?" tanya Brian pada Heru.
" Sepertinya istri lo hanya shock saja!" kata Heru.
" Pergilah!" kata Brian dingin.
" Dasar nggak tahu trima kasih! Ayo, Ri!" kata Heru.
" Iya, Dok!" jawab Riri. Lalu Heru dan Riri beranjak dari sofa dan menuju ke pintu.
" Jangan cari gue lagi kalo lo sakit!" kata Heru marah.
" Mau mati?" kata Brian dengan tatapan tajamnya yang seakan ingin menembus jantung Heru. Heru bergidik melihat mata Brian.
" Huh! Dasar orang kaya!" kata Heru sebel. Kemudian mereka pergi meninggalkan kantor Brian, sementara Brian melanjutkan pekerjaannya.
Fatma masih marah pada Brian, selama perjalanan pulang ke apartement dia hanya diam, walau Brian berusaha mengajaknya bicara.
" Kamu sudah mengurus dia, Dan?" tanya Brian.
" Sudah, Bos!" jawab Danis