Chereads / suami yang dingin : pernikahan yang tidak aku inginkan / Chapter 4 - Terpaksa Tidur Satu Kamar

Chapter 4 - Terpaksa Tidur Satu Kamar

Seminggu berlalu hingga tiba hari Kamis, hari ini keluarga Livia akan datang. Sebelumnya Livia dan Eri sudah mendiskusikan bagaimana sikap mereka selama keluarganya menginap di rumah ini.

"Liv, barang-barang yang ada dikamarmu sudah kamu kemasi kan? nanti kamu masukan ke kamarku tapi nggak usah dikeluarin, tetap di dalam koper" perintah Eri.

"sudah semua, tenanglah saya tidak akan merebut lemari Bapak" Jawab Livia sambil memasukan koper kedalam kamar Eri.

Kamis sore pukul 16.30 keluarga Livia datang, mereka bahagia bisa bertemu Livia, Eri dan Amanda dalam kondisi sehat.

"Nak Eri, terimakasih sudah menjaga Livia dengan baik. Baru sebulan sudah tambah gemuk aja anak ini" goda Pak Ridwan kepada anak dan menantunya.

"Hahaha, iya om..eh pah, Livia sepertinya betah tinggal disini" Jawab Eri gugup.

"Mah, Pah, Airin, Makan dulu yuk, pas banget kita udah siapin makanan. Silahkan duduk di meja makan, Livia ambil Manda dulu ya, kasihan dia dikamar sendirian" Livia berlari kecil menaiki tangga ke kamar Amanda.

Livia turun menggendong Amanda sambil menimangnya, ia menyayangi dan merawat Amanda seperti Anak kandungnya sendiri. Terkadang saat Eri melihat Livia menimang Manda, Eri membayangkan seandainya Livia adalah Tria, ia pasti sudah memeluknya dan mencium keningnya.

"Mah Pah, sudah saatnya istirahat. Livia antar ke kamar kalian, dan Airin, kamarmu dibawah ya. Kamu kan sendiri dan kecil, jadi kamarmu juga kecil ya, hehheehe" Livia menggoda adiknya yang paling manja.

**

Sudah pukul sembilan malam, orangtua dan adik Livia sudah berada di kamar masing-masing. Eri dan Livia memasuki kamar mereka sesaat setelah menidurkan Amanda.

"Liv, kamu tidur di ranjang saja biar aku yang tidur di sofa" perintah Eri sambil mengambil bantal dan selimut cadangan dari almari.

"Oh iya Pak, selamat beristirahat" Jawab Livia sedikit canggung karena sudah satu bulan ia tinggal dirumah itu dan baru kali ini mereka menghabiskan waktu bersama saat malam hari. Livia sebetulnya tidak bisa tidur, ia berusaha memejamkan matanya tetapi hanya mata saja yang terpejam, kesadarannya masih penuh.

rrrrrrrrtt rrrrrrt rrrrrrt

Handphone Eri bergetar beberapa kali lalu ia mengangkatnya "Halo selamat malam, ada apa Rud ? kenapa menghubungiku malam-malam begini?".

"Pak Eri, maaf pak saya mengganggu istirahaf bapak, tapi ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Pak, ada yang menghancurkan pondasi stadion yang sedang kita bangun, saya rasa ini ulah salah satu perusahaan konstruksi yang kalah tender dan tidak suka dengan kita. Saya sudah siapkan tiket keberangkatan ke Kalimantan untuk saya dan pak Eri besok pagi. Kita harus segera selesaikan masalah ini dan ambil tindakan pencegahan karena tidak mungkin kita membangun pondasi dari awal lagi pak, kita punya batas waktu pembangunan" Rudi menjelaskan masalah yang sedang menimpa proyek Eri di Kalimantan.

Eri tampaknya tidak sabar menunggu pagi, ia mengemasi barang-barang yang akan di bawa ke kalimantan. Livia sebetulnya mendengar obrolan panik antara Eri dengan Rudi yang merupakan asisten pribadi Eri di perusahaan, ia ingin membantu mengemasi barang suaminya tetapi takut jika Eri tidak berkenan. Bagaimanapun juga Eri adalah suami sah Livia, tetapi Livia masih canggung untuk memposisikan diri sebagaimana mestinya tugas seorang istri karena selama ini sikap Eri selalu dingin. Tapi malam itu Livia memberanikan diri pura-pura terbangun dari tidurnya dan mencoba membantu Eri.

"Loh Pak, Pak Eri mau kemana malam-malam begini ?" tanya Livia.

"Liv, ada urusan penting di kantor. Proyek stadion di kalimantan tidak berjalan lancar, sampaikan maafku kepada keluargamu karena pergi tanpa pamit tapi malam ini aku harus berangkat dan mampir kekantor dulu untuk mengambil beberapa berkas. Belum bisa dipastikan berapa lama saya disana, saya titip Amanda" Pesan Eri sambil mengemasi barang kedalam koper.

"Biar saya bantu kemasi barangnya pak" Livia menawarkan bantuan tapi ternyata Eri menolak, dan itu tidak membuat Livia kecewa karena ia sudah terbiasa menghadapi sikap dingin Eri.

Saat sarapan siap, semua orang di rumah itu berkumpul di ruang makan, hanya Eri yang tidak tampak.

"Liv, kemana suamimu ? nggak ikut sarapan bareng?" Tanya papa Livia.

"Mas Eri ada tugas dadakan pa, tadi subuh ia berangkat ke Kalimantan bersama asistennya. Mas Eri juga meminta Livia menyampaikan permohonan maafnya karena tidak bisa mememani kalian selama berada dirumah ini" Jawab Livia sambil menggendong dan memberikan susu kepada Amanda.

"Yaah, padahal Mama pengen jalan bareng kalian sebelum mama pulang. Kita kan pulangnya hari sabtu Liv, rencana awal mau pulang hari minggu tapi takut jalanan macet, daripada capek di jalan kan kasihan papamu" Mama Livia terlihat kecewa.

Sabtu Siang Keluarga Livia berkemas untuk kembali kerumah mereka, Livia mengantarkan sampai depan pintu rumah sambil menggendong Amanda.

"sampai jumpa kembali Cucu Oma yang manis" Mama Livia mencium pipi gendut Amanda.

"Liv, papa pulang dulu ya. Sampaikan salam papa mama dan airin untuk suamimu. Kamu jaga diri baik-baik, jadi istri yang baik Liv" Pesan Papa Livia sambil mencium kening putrinya tersebut.

"Kak Livia, Airin pulang dulu. Kakak pulang dong kerumah, ajakin Amanda gih jalan jalan kerumah kita" Pinta Airin.

"Iya iya pah, mah, rin, Livia jaga diri disini baik-baik kok. Besok Livia pulang deh kalo Mas Eri udah selesai proyeknya. Papa Mama Airin, hati-hati dijalan ya" Livia mencium tangan kedua orangtuanya.

Malam harinya Livia lupa kalau kedua orangtuanya sudah pulang kerumah. Setelah menidurkan Amanda, ia masih siap siap tidur dikamar Eri. Pukul 02.00 dini hari terdengar suara mobil masuk ke garasi rumah mereka. Ternyata Eri pulang dalam kondisi mabuk, ia frustasi dengan masalah yang sedang di hadapinya. Eri berjalan sempoyongan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

ceklek...

ia membuka pintu kamar dengan pelan, ia pikir keluarga Livia masih berada disini. Eri tidak mau mertuanya melihat ia pulang selarut ini dalam kondisi mabuk. Saat ia masuk ke kamar, ia melihat Livia tidur di ranjangnya. Dalam benaknya itu bukanlah Livia melainkan Tria mantan istrinya yang sudah meninggal dunia. Eri mendekat ke ranjang dan menatap Livia.

"Oh Tria, tidurmu nyenyak sekali sampai-sampai kamu tidak mendengar suamimu pulang. Tria, aku merindukanmu. Kenapa kamu pergi lama sekali" Eri meracau sambil membuka pakaiannya. Livia tertidur pulas malam itu sehingga ia tidak tahu jika eri sudah berada tepat di hadapannya.

Eri tidak bisa mengkontrol nafsunya, ia masih berfikir jika yang ada diatas ranjangnya adalah Tria. Eri menyingkap selimut Livia, ia mencumbu leher Livia, ia melepaskan piyama pendek yang dikenakan Livia sambil terus menyebut nama Tria. Eri sudah menindih badan Livia yang sudah tidak mengenakan sehelai benangpun, ia mencium tubuh Livia dan memasukan organ intimnya kedalam organ intim Livia. Disaat itulah Livia terbangun karena merasa kesakitan, ia berontak tetapi kedua tangannya dipegang erat oleh Eri. Eri semakin meracau tidak karuan "Oh Tria, aku merindukanmu, sangat merindukanmu, tubuhmu semakin indah, payudara dan bokongmu semakin besar. Tria jangan tinggalkan aku lagi. Aku sangat mencintaimu Tria"

"Pak Eri sadar ! lepaskan saya, saya Livia bukan Tria. Saya mohon lepaskan saya" pinta Livia sambil meneteskan air mata tetapi ia tidak bisa melepaskan diri karena genggaman Eri terlalu kuat.

Mereka berdua akhirnya tertidur setelah pergulatan suami istri yang begitu hebat, sepertinya Eri sudah terlalu lama tidak berhubungan suami istri.

Esok paginya Livia sudah bangun lebih dahulu, ia mencari pakaian yang dilucuti Eri semalam. Paha dan kemaluannya masih terasa perih, sudah lebih dari satu tahun ia terakhir berhubungan dengan mantan suaminya sebelum bercerai. Livia segera membuatkan susu untuk Amanda yang sudah terbangun dan menangis pagi itu. Setelah itu ia menyiapkan sarapan dibantu oleh kedua pembantunya. Livia masih teringat bagaimana cara Eri menyetubuhinya semalam, ia merasa sakit hati karena Eri menganggap Livia adalah Tria. Tidak ada yang salah, wajar jika Eri masih mencintai mantan istrinya dan tidak menganggap Livia sebagai siapa siapa.

Eri bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tidak menggunakan pakaian, ia teringat semalam ia bermimpi berhubungan suami istri dengan Tria, Ya, Eri hanya berfikir ia sedang bermimpi malam itu. Kepalanya masih pusing akibat ia minum alkohol terlalu banyak. Ia mengambil pakaian kemudian turun ke lantai bawah.

Melihat Eri berjalan ke ruang makan, Livia bingung harus bicara apa. Apa yang akan dikatakan oleh suaminya ? Akankah suaminya sadar jika semalam mereka telah berhubungan intim. Livia memilih diam menunggu Eri mengajaknya bicara.

"Loh Liv, keluargamu blm bangun ? kok belum ada yang sarapan ?" tanya Eri seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

"emm, Papa mama dan airin sudah pulang kemarin sabtu siang. Mereka memintaku untuk mampir kerumah kalau ada waktu luang" Jawab Livia canggung.

"Oh pantas saja semalam kamu sudah kembali tidur di kamarmu" sahut Eri sambil mengoleskan selai coklat pada rotinya.

"ya tuhan, Eri benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam. Baiklah kalau begitu, mungkin ini akan jadi lebih mudah untukku melupakan kejadian semalam dan bersikap biasa saja kepadanya" gumam Livia dalam hati.