Chapter 6 - Perlakuan Kasar

Hari ini Livia sudah di perbolehkan pulang kerumah, ia hanya di jemput sopir.

"pak Yanto, bagaimana kondisi di rumah?" Tanya Livia lirih.

"Aman bu, ada Mama bu Livia yang merawat non Amanda dan membantu pekerjaan rumah. Tapi Bapak, beliau selalu pulang larut malam" Jawab pak Yanto.

Apakah ini karena aku ? Apa dia benar benar berfikir jika aku hamil dengan lelaki lain ? Hiiiiikksss, tiba tiba air mata Livia mengalir deras. Pak Yanto yang melihat ia menangis jadi sedikit bingung.

Sesampainya dirumah, Livia masuk ke kamarnya. Livia lupa kalau Mamanya masih di rumah Eri.

"Mama, eh maaf aku salah buka pintu" Livia mencoba mencari alasan. Livia kemudian masuk ke kamar Eri, ia melihat barang barang pribadinya ada di kamar itu.

(syukurlah Pak Eri sudah memindahkan barangku kesini) gumamnya dalam hati. Livia kemudian merebahkan badannya ke ranjang Eri, badan Livia akhir-akhir ini terasa lemas, pusing, tapi tidak mual. Kata dokter, hal tersebut wajar terjadi pada ibu hamil.

ceklek,,

Eri membuka pintu kamar dan melihat Livia diatas ranjangnya. Ia masih memendam amarah, meskipun tidak mencintai Livia, tetapi ia merasa dibohongi dan di coreng nama baiknya.

SREET !

Eri menyingkap selimut Livia dan menarik kasar tangan Livia.

"Jangan tidur di Ranjangku ! Perempuan murahan seperti kamu tidak pantas menempati ranjang ini. Tidur di sofa saja, atau segera pulangkan saja Mamamu itu agar kamu bisa tidur dikamarmu. Menjaga dan merawat Amanda itu tugasmu, jangan malah enak-enakan tidur dengan lelaki lain" Lontaran kata-kata kasar menghujani telinga Livia, tidak hanya hatinya yang terluka tetapi juga kakinya yang menabrak nakas samping ranjang saat Eri menarik kasar tangannya.

"Awh," Livia kesakitan memegangi kakinya yang sedikit berdarah, kemudian ia mengelus perutnya sembari berkata pelan "maafkan mama jika kamu mendengar kata kata kasar papamu nak" Livia meneteskan air mata. Ia sudah sangat tidak tahan dengan perkataan maupun perbuatan kasar Eri.

"Bayi ini anakmu !" teriak Livia saat Eri sedang berjalan keluar kamar.

"Apa maksud omong kosongmu ? Kapan aku pernah menyentuhmu ?" Eri tidak percaya kemudian pergi begitu saja mengendarai mobil entah kemana.

Livia menundukan badannya dan menekuk kakinya untuk dijadikan sandaran kepala dan menangis sejadi-jadinya.

Di dalam mobil yang dikendarainya, Eri terlihat bingung dan berfikir. Kenapa Livia menyebut itu anaknya ? Eri coba mengingat apa yang terjadi karena mereka pernah satu kamar saat keluarga Livia menginap dua bulan lalu. Tapi Eri tidak mengingat apapun, ia hanya mengingat saat mabuk ia bermimpi berhubungan dengan Tria.

Pukul 01.30 dini hari Eri pulang ke rumah, ia melihat pak Yanto masih ada di teras rumah.

"pak, sudah malam kok masih disini ? nggak di gigit nyamuk?" tanya Eri sambil berjalan memasuki rumah.

"pak Eri, eh anu pak, tadi Ibu menunggu bapak sampai larut malam, setengah jam yang lalu mungkin beliau baru tertidur. Saya suruh Jumi ambilkan selimut karena ibu bersikeras ingin menunggu bapak" Yanto berbicara sambil berjalan di belakang Eri.

"cih, apa-apaan sih perempuan ini ? Mau apa dia menungguku pulang, cari perhatian ?" gumam Eri dalam hati.

"pak Yanto, tolong bawakan jas dan tas saya ke kamar ya. Biar saya yang bangunkan Livia" perintah Eri.

Eri mendekati Livia, ia melihatnya tertidur pulas. Baru pertama kali ia memperhatikan wajah istrinya setelah 3 bulan lebih mereka menikah. Livia terlihat begitu cantik saat tertidur, ia mengenakan piyama lengan pendek dan celana pendek, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam panjang, badannya berisi dengan buah dadanya yang besar dan indah. Pandangannya terhenti saat melihat pergelangan kaki Livia memar dan ada bekas darah disitu.

(Ya tuhan, aku terlalu kasar padanya. Bagaimana kalau anak dalam kandungannya adalah benar anakku? Aku selama ini tidak pernah memperlakukan Livia dengan baik. Bahkan aku selalu mengeluarkan kata kata kasar di hadapannya) Eri hanya bisa bertanya tanya dalam hati.

Eri mengangkat tubuh Livia untuk dipindahkan ke kamar, tiba tiba ada sesuatu terjatuh dari genggaman tangannya.

"Flashdisk?" Eri terkejut. Ia memasukan flashdisk tersebut ke dalam saku celananya dan kembali berjalan ke kamar Livia. Mama Livia sudah pulang sore tadi, jadi Livia sudah bisa kembali tidur di kamarnya.

Eri masuk ke kamarnya dan menyalakan laptop, ia masukan flashdisk yang tadi dijatuhkan Livia. Hanya ada satu folder disitu, rupanya Livia mencopy rekaman cctv kamar Eri saat kejadian 2 bulan lalu. Eri memang meletakan cctv di kamar, mengarahkan kamera ke pintu masuk agar ia bisa memantau siapa saja yang masuk ke kamarnya. Dari kamera cctv hanya terlihat area pintu masuk dan sedikit terlihat area pintu kamar mandi. Di awal ia melihat Livia masuk ke kamarnya, lalu pukul 2 di hari ia melihat dirinya masuk kamar dengan sempoyongan. Cctv ia percepat hingga pagi hari ia melihat Livia berjalan ke kamar mandi tanpa busana sambil mendekap pakaiannya.

Deg ! Jantung Eri berdegup kencang. Ia segera berlari ke kamar Livia. Entah kenapa dirinya sangat ingin memeluk Livia saat itu, ia merasa bersalah jika benar anak yang ada di perut Livia adalah anaknya.

"Livia maafkan aku, maafkan perbuatan kasarku, maafkan kata kata kasarku. Kamu benar benar mengandung anakku Liv ?" Bisik Eri pelan sambil memeluk kencang tubuh Livia dari belakang. Eri merasakan perasaan yang aneh, kenapa ia begitu nyamam saat memeluk Livia seolah beban yang ada di hatinya terlepaskan.

"Uhuk Uhuk, aaarrgh" setengah sadar Livia berusaha melepaskan pelukan erat Eri.

Eri perlahan melepaskan pelukan itu, ia sadar pelukannya terlalu erat sehingga membangunkan Livia.

"pak Eri !" Livia terkejut melihat Eri ada diatas ranjangnya.

"Liv, aku sudah melihat flashdisk yang kamu simpan. Maafkan aku Livia, aku tidak sadar saat melakukan itu. Maafkan aku berkata kasar kepadamu" Eri menggenggam tangan Livia.

"Tadi saya ingin memberikan langsung flashdisk itu kepada Bapak, saya tunggu bapak tidak pulang-pulang. Malam itu, saya tidak bisa melawan karena genggaman Bapak terlalu kuat. Kemudian pagi harinya bapak berfikir itu..." belum selesai Livia bicara, Eri memotongnya "Sudah Livia, aku yang salah. Satu lagi, jangan panggil bapak kepadaku, aku suamimu bukan ayahmu"

Malam itu, Eri tertidur di kamar Livia. Livia sebetulnya sedikit risih dan aneh melihat perubahan Eri yang seperti itu, tapi ia bersyukur merasa sedikit di perhatikan.