Dua bulan berlalu sejak kejadian malam itu, Livia sudah melupakan perbuatan Eri, ia tengah disibukkan dengan tumbuh kembang Amanda di usia yang sudah menginjak 5 bulan. Amanda tumbuh menjadi balita kecil yang menggemaskan, Livia merawat dan memantau tumbuh kembang Amanda dengan sabar dan telaten.
Perusahaan Eri sudah bisa menyelesaikan masalah yang menimpa proyek pembangunan stadion. Kehidupan mereka berjalan normal seperti biasanya sampai suatu pagi saat hendak menyiapkan sarapan, Livia pingsan ketika sedang menuruni tangga. Ia terjatuh kemudian ditolong oleh Pak Yanto, pembantu sekaligus sopir keluarga Eri Pramudya.
"Jum, Jumi, Minah tolong ini ibu terjatuh dari tangga" Teriak pak Yanto memanggil kedua pembantu dirumah itu.
"Astaghfirullah ibu, bu, bu Livia !" Jumi menggoyang-goyangkan badan Livia tetapi tidak berhasil membangunkannya.
"Mbak Jumi, astgahfirullah mbak, kaki ibu berdarah mbak !" Minah berteriak Panik.
"Cepat panggil bapak dikamarnya !" pinta Jumi kepada Yanto.
Yanto berlari menaiki tangga menuju kamar Eri, tetapi ia mendengar Amanda menangis kencang. Yanto kebingungan mana yang harus ia lakukan, masuk ke kamar non Amanda atau memanggil pak Eri. Akhirnya ia memilih untuk mengetuk pintu kamar pak Eri.
"Pak, Pak Eri" Yanto mengetuk pintu kamar Eri.
Eri membuka pintu kamar dan segera berlari ke kamar Amanda yang tengah menangis kencang, ia pikir Yanto mengetuk pintu kamarnya untuk memberitahu kalau anaknya menangis. Yanto masuk ke kamar Amanda saat Eri tengah menggendong putri kecilnya.
"Kenapa pak Yanto? Ini Livia kemana sih kok bisa Amanda sampai menangis kencang begini" gerutu Eri kepada Yanto.
"Pak, bu Livia pak ! Ibu jatuh dari tangga dan pingsan, eh pingsan lalu jatuh, eh gimana ya tadi ? saya lihat ibu memegang kepalanya, lalu terjatuh. Artinya apa ya pak ? pingsan dulu baru jatuh atau jatuh terus pingsan ?" Yanto tampak kebingungan saat menjelaskan kronologinya.
"Hah ! Jatuh dari tangga ? Ceroboh sekali sih perempuan ini. Sudah 3 bulan berada dirumah ini, apa belum hafal letak tangganya !" Eri kesal dan berjalan menghampiri Livia yang masih pingsan.
"Pak, Ibu jatuh lalu kakinya berdarah pak !" Teriak Minah yang masih panik saat itu.
Eri melihat ada darah segar mengalir di kaki Livia, tiba-tiba ia teringat mantan istrinya yang juga terjatuh dari tangga, ia juga melihat ada darah segar mengalir di kaki istrinya yang tengah hamil besar saat itu. Seketika Eri tampak panik dan memerintahkan Yanto untuk menyiapkan mobil dan segera membawa Livia ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, Livia segera di bawa ke UGD. Livia masih belum sadarkan diri ketika berada di rumah sakit.
Beberapa saat kemudian Livia mulai sadar, ia sayup-sayup mendengar pembicaraan dokter dengan Eri.
"Pak Eri, syukurlah istri bapak baik baik saja, tidak ada benturan di kepala dan tidak ada cedera di kaki" belum selesai dokter menjelaskan kondisi Livia, Eri memotong pembicaraan mereka.
"Kenapa Livia berdarah jika tidak ada luka di kakinya dok?" tanya Eri penasaran.
"Nah itu tadi yang ingin saya sampaikan, kandungan bu Livia cukup kuat. Usia kandungannya saat ini 7 Minggu. Tadi memang sedikit ada perdarahan tp tidak apa-apa. Tetapi istri bapak harus tetap di rawat disini dulu untuk memastikan keadaan janinnya benar-benar tidak apa-apa" dokter memberikan penjelasan.
Livia yang mendengarkan percakapan itu terkejut bukan main, pantas saja ia terlambat datang bulan 2 bulan ini, pantas saja ia sering merasa mual dan pusing, ia pikir hanya masuk angin biasa. Apa yang harus ia lakukan dengan bayi yang ada di kandungannya? Livia bahagia tetapi juga bingung. Berbeda dengan Eri, ia terkejut tapi juga menahan emosi mendengar berita kehamilan Livia.
**
Livia di rawat di ruang VVIP, ia harus bed rest selama seminggu. Ia mencari handphonenya tapi tidak ada, ia lupa saat datang kemari dalam keadaan pingsan jadi tidak mungkin ia membawa handphone.
Ceklek...
Eri masuk ke kamar Livia dengan raut wajah masam.
"Pak Eri, syukurlah kamu datang. Saya sedang mencari handphone, saya ingin menghubungi Mama agar ia datang kerumah membantu merawat Amanda selama saya di rawat disini" belum selesai Livia berbicara, Eri menampar pipi istrinya yang sedang terbaring lemah.
PLAK !
"Wanita tidak tahu diri ! Baru 3 bulan tinggal dirumah saya, sudah tidak betah untuk tidur dengan lelaki di luar sana. Setidaknya jika kamu ingin berhubungan dengan lelaki di belakang saya, pakailah kondom ! kalau sudah begini kamu akan semakin merepotkan. Tinggal di rumah saya, tetapi tidur dengan lelaki lain di luar sana, cih..." Cibir Eri.
Livia shock dengan tamparan Eri yang mendarat di pipinya. Ia meneteskan air mata dan menangis tersedu-sedu. Ia tidak bisa berkata apapun saat itu karena masih shock dengan kata-kata Eri yang sangat merendahkan harga dirinya. Ia tidak terima atas penghinaan itu, selama 3 bulan ia tidak pernah keluar rumah kecuali mengantar Amanda kerumah sakit dan belanja bulanan bersama pembantu.