Chapter 3 - Pernikahan

Tibalah hari pernikahan itu, dilangsungkan dengan sederhana di halaman rumah Eri Pramudya yang sangat luas. Tamu undangan hanya beberapa, dari keluarga Eri hanya tampak Ayahnya yang sudah sangat Tua dan kedua adik lelakinya. Ibunda Eri sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Mertua Eri tak tampak hadir dalam acara itu, pastinya mereka sangat terkejut dengan keputusan Eri untuk menikah lagi. Hanya Keluarga Livia yang tampak senang karena mereka tidak tahu apa yang terjadi. Livia yang masih tampak muram sedang di make up di Kamar pengantin yaitu kamar Eri, ya mereka menggunakan kamar Eri sebagai kamar pengantin agar pernikahan ini tidak terlihat janggal, padahal sebetulnya mereka akan tidur di kamar terpisah. Yu Surti yang saat itu sudah keluar dari rumah sakit pun ikut hadir diantarkan putranya menggunakan kursi roda, hanya Yu Surti, Eri dan Livia yang tahu tentang tujuan awal pernikahan ini. Pernikahan tanpa ada rasa cinta, pernikahan paksaan atau pernikahan ancaman entahlah yang pasti ini hanya menguntungkan sepihak yaitu pihak Eri.

Penghulu sudah datang, Eri pun sudah berada di kursi akad nikah. Eri tampak gagah dengan setelan Jas Abu-abu tua, eri memang tidak terlalu tampan tetapi dia memiliki wajah yang kharismatik, tubuhnya tinggi kekar, rambutnya rapi, dan aroma tubuhnya selalu wangi, tak ada yang menyangka ia adalah duda 38 tahun dengan satu anak. Awalnya ia tidak menampakkan wajah sedih, beberapa saat kemudian ia seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tria, maafkan aku. Bukan aku menghianatimu, aku hanya tidak ingin kehilangan Amanda setelah aku kehilanganmu. Maafkan aku Tria. Aku akan berusaha membahagiakan Amanda sekuat tenaga, dan Kamu akan selalu jadi cinta terbaikku" Gumam Eri dalam hati dan ia terlihat mengusap wajah dengan kedua tanganya seperti sedang mengamini sebuah doa.

"Pak Eri, Pak Ridwan, apakah pernikahan sudah siap dimulai ?" Tanya penghulu.

"ya kita sudah siap" Jawab Pak Ridwan, ayah Livia.

Pak Ridwan menjabat tangan Eri dengan sedikit rasa tegang meskipun ia sudab pernah menikahkan Livia sebelumnya, tapi ia menaruh harapan kali ini adalah pernikahan terakhir Livia.

"Saya Nikahkan dan Saya kawinkan engkau dengan Putri kandung Saya, Livia Arista Putri Ridwan dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai" Ayah Livia menahan Haru.

"Saya terima Nikah dan Kawinya Livia Arista Putri Ridwan Binti Ridwan Ghazali untuk diri saya sendiri dengan mas kawin tersebut Tunai" Eri melakukan akad dengan lancar dan satu tarikan nafas.

"Sah Sah Sah" Sorak semua keluarga dan para tamu undangan yang hadir. Kemudian Livia di gandeng oleh Mama dan Adiknya keluar dari rumah Eri, ia sangat cantik dengan kulitnya yang putih bersih, matanya berbinar, tubuhnya yang berisi membuat ia tampak cocok mengenakan kebaya putih dibalut ratusan mutiara. Livia pun duduk di samping Eri dan menandatangani berkas pernikahan. Eri biasa saja melihat Livia, begitupula Livia tampak biasa saja melihat Eri, karena keduanya tidak menyimpan rasa sama sekali. Bagi Livia pernikahan ini musibah, bagi Eri pernikahan ini hanya untuk tameng agar mertuanya tidak mengganggu hidupnya dan mengambil Amanda.

***

Tamu undangan dan keluarga besar sudah pulang, hari itu merupakan hari yang melelahkan. Beruntung rumah tersebut memiliki 5 orang pembantu dan 3 diantaranya lelaki yang bertugas untuk menjaga kebersihan rumah, 2 orang perempuan bertugas untuk masak dan membantu mengurus keperluan rumah tangga lainnya.

Livia sedang membersihkan make up di kamar Eri karena baju ganti dan peralatan make up lainnya masih berada di sana, sesaat kemudian Eri masuk.

"Ngapain kamu disini ? jangan kamu pikir ini pernikahan sungguhan ya Livia, saya hanya meminta bantuanmu dan nantinya saya akan tetap bayar kamu" Eri mengusir Livia dari kamarnya.

"saya juga tidak pernah bermimpi jadi istri bapak, saya tidak lupa dimana kamar saya, saya hanya perlu membersihkan make up lalu tidur ! tidak perlu Bapak ingatkan tentang bayaran saya, seolah disini saya yang menginginkan uang tersebut !" Jawab livia sambil bergegas mengemasi barangnya yang masih berada di kamar Eri. Saat melewati kamar Amanda, ia mendengar bayi mungil tersebut menangis lalu ia bergegas meletakan barang-barang ke kamarnya dan kembali ke kamar Amanda.

Livia menggendong Amanda hingga ia tertidur di sofa kamar tersebut, sampai-sampai ia tak tahu saat Eri masuk untuk melihat Amanda.

"Liv, maaf bukan maksud saya melibatkan kamu, tapi kamu yang membuat situasi jadi tambah sulit dan terpaksa kamu terlibat. Untuk kamar itu, itu adalah kamarku dengan Tria, tidak mungkin aku membiarkan wanita lain tidur disisiku" Eri berbisik pelan.

***

Sudah satu bulan sejak pernikahan mereka, tetapi Livia belum pernah pulang ke kediaman orangtuanya. Ia sibuk mengurus Amanda, apalagi beberapa hari ini Amanda demam sehingga ia harus bolak-balik ke rumah sakit sendirian karena Eri juga sibuk mengurus perusahaannya yang baru saja memenangkan tender pembangunan stadion di Luar Jawa.

rrrrrrrrrrttt rrrrrrrrrrrttt rrrrrrtttt

Handphone Livia terus bergetar tapi ia tidak sempat mengangkatnya karena sedang membuatkan susu untuk Amanda. Setelah selesai ia baru sempat cek handphone, ternyata Mamanya yang telpon.

Livia kemudian menghubungi kembali Mamanya.

"Mama telpon Livia ? Ada apa Ma ? Maaf Livia belum bisa pulang karena Pak Eri, eh emm maksud Livia Mas Eri masih sibuk dengan urusan kantornya. Amanda juga demam, kemarin Livia bolak balik ke rumah sakit sendirian" cerocos Livia.

"Iya Liv mama ngerti, untuk itu minggu depan mama papa sama Airin yang akan datang kerumahmu. Kita akan nginep disana 4 Hari karena kebetulan Airin Libur dan Papa juga mau ambil cuti. Kamu pasti seneng kan Liv kita semua kumpul dirumahmu" Ujar Mama Livia.

"Hah !? tidur disini ? dirumah Mas Eri maksud mama ?" Tanya Livia terkejut.

"Yaiyalah Liv, dimana lagi ? mau Mama bawain apa Liv?" Tanya Mama Livia lagi.

"eh anu mah tapi, nanti Livia tanya Mas Eri dulu yah. Mah, Livia tutup teleponnya ya, Amanda nangis nih"

tut tut tut..

Livia buru-buru menutup telponnya, bukan karena Amanda menangis tapi karena ia gugup bagaimana kalau orangtuanya datang dan ketahuan ia tidur di kamar berbeda dengan Eri.

"Bagaimana ini ? aku harus telpon Pak Eri untuk memberitahu rencana mama" ujar Livia dalam hati dan segera menghubungi Eri.