Sekitar setengah tahun telah berlalu.
Alasan ku mengatakan "sekitar" karena aktivitasku yang hanya terdiri dari tidur
lalu bangun dan seterusnya, membuat hari-hari yang kulewati terasa samar.
Ternyata bayi benar-benar menghabiskan banyak waktu untuk tidur, kemudian
bangun karena merasa lapar. Aku merasa seolah berada dalam mimpi panjang
dan aneh, dan karena itu pikiranku bisa bertahan dari rasa bosan.
Satu-satunya informasi yang bisa kudapatkan adalah, bahwa situasi ku saat ini
bukanlah mimpi atau khayalan belaka. Rasanya terlalu hidup dan terlalu nyata.
Dan aku tidak bisa bayangkan apa yang orang lain pikirkan saat pertama kali
melihat celana dalam mereka diganti oleh undead.
Aku terpaksa harus menerima kalau aku adalah seorang bayi yang tak bisa
melakukan apapun lebih jauh selain merangkak, menghabiskan hari-hariku
dirawat oleh tiga mahluk undead.
Setelah sekian lama, aku mulai mengerti pembicaraan mereka.
Ada beberapa teori dalam ilmu bahasa —aku ingat beberapa bagian— kalau otak
bayi itu tidak benar-benar papan tulis kosong, sebaliknya, mereka memiliki kemampuan untuk secara bertahap membentuk dan mempelajari bahasa dari
suara di sekitar mereka semenjak lahir. Meskipun ingatanku masih samar,
sepertinya aku masih bisa mengingat beberapa pengetahuan lama ku.
"Ba… Ba…" Aku berusaha menggunakan lidah dan tenggorokanku untuk
membuat sebuah kata, namun organ itu masih belum sempurna, jadi itu tidak
bekerja dengan baik.
Aku tidak bisa mencampur adukan cara bagaimana aku mengontrol tubuh
lamaku sebelum aku mati dengan yang sekarang. Kemampuan berbicara, sesuatu
yang ku kuasai sebelumnya, namun sekarang aku mengalami kesulitan.
Demikian pula, aku masih belum bisa berjalan dengan benar.
Bagaimana kalau aku seperti ini selamanya? Tak bisa berjalan maupun berbicara,
ini membuatku merinding.
"Cup-cup. Ingin pelukan?" Mungkin karena menyadari kegelisahanku, mummy
itu tersenyum padaku, seolah mencoba membuatku tenang.
Dia mengenakan jubah tua yang lusuh sama dengan yang dikenakan oleh para
pedeta kuno, dua orang disampingnya memanggilnya Mary.
Meskipun aku sedikit ragu tentang menilai kecantikan seorang wanita,
mengesampingkan penampilannya sebagai mummy, aku punya firasat kalau dia
mungkin seorang wanita cantik semasa hidupnya. Dia memiliki tubuh yang
ramping dan anggun, dengan kedua matanya selalu terjaga agar tidak turun.
Kulitnya seperti kulit pohon mati, namun tak ada goresan. Dari sana, aku bisa
menebak fitur wajah tanpa cela yang pasti ia miliki semasa ia hidup. Rambutnya
yang pirang dan bergelombang harus kuakui menjadi kusam seiring berjalannya
waktu, namun masih tebal dan indah.
"Bagaimana kalau kita sedikit jalan-jalan di luar sebentar?"
Kau mau membawaku ke luar?
"Heheh, akhirnya kamu tersenyum juga." Katanya. Sudah lama aku penasaran
tentang apa yang ada diluar kuil ini… ini kuil kan?.
Dengan tubuhku saat ini, akan sangat sulit bagiku untuk pergi dan melihat-lihat.
Aku telah lama menanti kesempatan dimana aku bisa pergi keluar.
"Kita berangkat!" Dia mengangkatku. Aku merasakan semacam keharuman
ringan yang mengapung. Ini bukan bau yang tidak menyenangkan. Sejenis kayu?
Ini mengingatkan ku pada aroma dupa seperti yang mungkin kalian duga dari
wanita tua.
Sedikit merasa tenang, aku membiarkan diriku menikmati baunya.
Mary memelukku saat dia melangkah perlahan melewati kuil yang remang-
remang.
Lantainya adalah papan batu berbentuk persegi. Cahaya ringan mengalir dari
jendela loteng pada puncak langit-langit kubah yang luas dan tinggi. Terdapat
ceruk pada dindingnya yang memberikan kesan tempat suci orang Jepang, dan di
dalamnya terdapat patung-patung yang kemungkinan besar adalah dewa-dewa
kuil ini.
Satu per satu, patung-patung itu lewat di depan mataku saat kami berjalan.
Salah satunya menggambarkan pria mengesankan dengan nuansa yang berat,
yang berada dalam kondisi puncaknya, dia membawa pedang berbentuk seperti
petir di tangan kanannya dan satu set timbangan di tangan kirinya.
Selanjutnya adalah wanita gemuk yang tersenyum penuh kasih sayang,
membawa seikat padi dan bayi yang dipeluk dengan aman di pangkuannya.
Ada juga seorang pria bertubuh moustachio[9] dengan perawakan pendek dan
gemuk, dengan nyala api yang membara di belakangnya, tangannya
menggenggam palu dan tang.
Lalu seorang pemuda androgini yang tersenyum ramah, dia memegang segelas
anggur dan sejumlah koin emas, dia dikelilingi oleh pictograph yang
menggambarkan hembusan angin.
Berikutnya adalah seorang gadis muda mengenakan kain tipis yang terangkat ke
pinggangnya, dia memegang busur di salah satu tangannya, dan menariknya
dengan tangan yang satunya lagi, dia mungkin seorang peri.
Selanjutnya seorang pria tua bermata satu yang memancarkan kecerdasan berdiri
di depan semacam prasasti, memegang tongkat dan buku yang terbuka di
tangannya.
Mungkin mereka adalah lambang dari agama panteon politeistik, pikirku. Entah
bagaimana, aku merasa bisa mengetahui keyakinan macam apa yang ada di balik
masing-masing dewa ini hanya dengan melihat patung mereka.
Tapi aku tidak tahu tentang yang berikutnya.
Tidak ada latar belakang. Mungkin itu dimaksudkan untuk melambangkan
kegelapan? Sosok itu mengenakan jubah dengan tudung yang menutupi
matanya. Nuansa yang kelam dan tanpa cahaya melekat pada dirinya.
Satu-satunya fitur penting adalah tongkat panjang yang dipegangnya, yang pada
ujungnya tergantung sebuah lentera. Jujur saja, patung yang satu ini memberi ku
kesan langsung akan Dewa kematian.
Anehnya, aku merasa tertarik ke dalam lentera itu.
Tentu saja, hampir tidak mungkin bagi Mary mengetahui apa yang dipikirkan
anak di pangkuannya, dia pun terus berjalan. Mataku terus memperhatikan
patung-patung itu sampai yang terakhir.
Akan ada kesempatan lain untuk melihatnya dari dekat, pikirku. Aku melakukan
yang terbaik untuk menyingkirkan obsesi aneh ku.
Kami terus melaju, lebih jauh dan lebih jauh lagi, lingkungan sekitar ku berubah
semakin gelap, sampai aku hampir tidak bisa melihat apapun. Langkah Mary
bergema dalam kegelapan.
Setelah beberapa saat, Mary berhenti di bawah lengkungan yang diukir dengan
tanaman merambat, lalu meletakkan tangannya di atas pintu besi yang tampak
berat. Saat pintu itu mengeluarkan suara berderit yang nyaring, seberkas cahaya
menerobos celah, lalu perlahan menyebar. Setelah pintu itu terbuka cukup lebar,
Mary melangkah keluar.
"Ah …" Bidang penglihatanku langsung terbuka.
Angin sepoi-sepoi berhembus melewatiku.
Ini masih fajar, dan kabut pagi yang tipis menggantung di udara pada kaki bukit.
Sebuah kota batu terbentang di bawah kami, dibangun sampai ke tepi danau
yang luas. Suasananya mengingatkanku akan abad pertengahan, atau bahkan
lebih tua. Aku bisa melihat menara tinggi dan saluran air yang dibangun dengan
serangkaian lengkungan yang indah.
Semuanya sudah tua dan tinggal puing-puing.
Banyak atap bangunan telah runtuh, lalu plester di dinding juga telah jatuh,
menyisakan bangunan dalam keadaan yang rusak parah. Rumput tumbuh melalui
celah-celah di paving blok jalan, lalu tanaman merambat hijau dan lumut
menempel pada dinding bangunan. Kota ini hancur di antara tanaman hijau,
seolah menikmati istirahat yang tenang setelah serangkaian peristiwa yang
terjadi di sini.
Matahari pagi bersinar lembut di atas semua itu.
Mataku terbuka lebar. Ini adalah pemandangan yang begitu menakjubian, hatiku
bergetar.
Aku merasa seolah angin menerobos menembus tubuhku, dari kakiku sampai ke
kepalaku. Bagian dalam kepalaku terasa sangat jelas. Seluruh tubuhku, sampai
setiap selnya, merasakan dunia ini. Aku merasa telah mengingat sesuatu yang
sangat berharga, sesuatu yang telah aku lupakan setelah sekian lama.
Entah kenapa, aku merasakan air mataku mengalir. Aku merapatkan bibirku erat-
erat, mencoba menahannya, namun itu percuma. Air mataku tetapnmenetes.
Aku telah menjalani kehidupan yang tak jelas kacau, dan aku telah mati dalam
ketidakjelasan itu, tidak pernah berhasil lolos darinya. Oleh sebab itu, saat aku
terbangun di dunia ini, akubmengira ini mungkin merupakan hukuman dari
Tuhan.
Tapi ini bukan hukuman.
Aku tidak tahu di mana ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi aku yakin: ini adalah anugerah. Karena kebaikan-Nya, Dia telah
mengembalikan apa yang telah aku buang. Meski tanpa bukti apa pun, aku
sangat yakin tanpa keraguan bahwa ini adalah hadiah yang hangat dan penuh
kasih.
"Cantik sekali, bukan begitu, Will? Anak ku tersayang … " Kata Mary.
William. Will singkatnya. Itu adalah namaku.
Ini adalah nama ketiga yang diberikan padaku.
Nama ku sebelum aku mati tertelan oleh lumpur. Yah, ini namaku. Tubuh mungil
ini adalah tubuhku. Tubuh dan nama yang terasa seperti milik orang lain
anehnya terasa cocok, seolah-olah inilah diriku yang sebenarnya.
"Ah … Ah …" aku mencoba bicara, sembari suaraku diisi dengan tangisan. Aku
tidak peduli meskipun pita suara ku yang belum sempurna mengeluarkan suara
yang tidak jelas.
Kukatakan pada diriku sendiri … Kali ini, aku akan melakukannya dengan
benar.
Saat Mary memelukku dengan erat, aku terbakar dengan tekad. Tidak ada yang
masuk akal bagiku. Aku tidak tahu seperti apa dunia ini, atau kenapa aku
dilahirkan di sini. Tapi aku punya cukup waktu untuk memahami hal-hal itu.
Pengetahuan ku sangat dangkal dan aku tidak memiliki keahlian, namun aku
memilik banyak waktu yang diperlukan untuk belajar. Aku sudah bosan, hanya
bisa menyerah dan memeluk lututku sendiri. Aku tidak peduli meskipun aku
akan gagal. Aku tidak peduli berapa banyak rintangan yang harus aku hadapi.
Kali ini … Kali ini, aku akan hidup. Aku akan hidup dengan benar di dunia ini!
Aku meneriakkan tekadku dengan tangisan seorang bayi.